Pengarsipan
Total
Muhidin M Dahlan, Kerani di Warung Arsip Yayasan Indonesia
Buku
SUMBER
: KORAN TEMPO, 20 April 2012
Berita terbaru dari Yogyakarta soal
pemusnahan sekitar 6.000 arsip pemerintah nyaris menjadi cerita biasa. Seperti
setahun silam, terdengar samar-samar arsiparis UGM kembali memusnahkan
buku-buku tua yang "tak berguna". Pegawai-pegawai rendahan Balai
Pustaka terlampau biasa melempar koleksi-koleksi koran dan majalah tuanya ke
juragan bubur kertas sebelum dinyatakan pailit pada Februari 2012.
Alibi yang nyaris klasik mengiringi upacara
pemusnahan itu: kekurangan sumber daya manusia, miskin modal, dan terbatasnya
ruang tangkar arsip. Membaca sederet kenyataan itu seperti memalang usul-usul
baru yang segar dan inovatif. Misalnya, usul mewajibkan negara mengarsipkan
jutaan "kicauan" atau "status" warga negara per hari di
media sosial, seperti dilakukan Library of Congress sejak satu dekade silam.
Tapi, di tengah sikap amtenar yang tak
panjang akal (baca: kreatif) memperlakukan memori bangsanya sendiri, kita
selalu digembirakan oleh tindakan segelintir komunitas yang menampilkan
kerja-kerja arsip dengan gayeng dan penuh minat.
Saya deretkan kroniknya. Pada 2009 akhir
Biennale Jogja menjadikan arsip sebagai gerakan kota menyeluruh. Komunitas-komunitas
"dipaksa" mengeluarkan arsipnya. Sejak 2011, Indonesian Visual Art
Archive (IVAA) mengeluarkan katalog arsip seni mereka yang kaya. Ikhtiar itu
memancing Indonesian Street Art Documentation di Jakarta turut membangun
dokumentasi atas "seni rupa jalanan". Pesta perayaan terkini tentu
saja di Galeri Nasional pada April 2012, ketika arsip personal Melani Setiawan
tentang dunia seni rupa Indonesia selama empat dekade diluncurkan.
Di luar dunia seni rupa itu, masyarakat dari
pelbagai minat memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya arsip dan
memamerkannya kepada publik lewat pameran dan diskusi. Dimulai dari peminat
soal-soal keris, batik, wayang, permainan tradisional, agraria, sepeda onthel,
buku, humor, hingga bahkan layang-layang.
Komunitas-komunitas itu pastilah menciptakan
dan memiliki arsip-arsip yang unik, semacam foto, notulensi rapat (cetak atau
audio), kontrak kerja, surat-menyurat tercetak dan digital, kaset atau file
video, kliping media massa, bahkan catatan SMS maupun rekaman percakapan-tulis
di media sosial.
Kegairahan itu bisa menjadi gerakan nasional
yang utuh dan sistemik, seperti yang terjadi di Kanada, jika negara memiliki
visi besar: Arsip Total. Pengertian "Arsip Total" di sini adalah
ikhtiar nasional menyatukan seluruh kerja kearsipan dari semua lini kebangsaan:
dari pemerintah, swasta, hingga ke ranah individu-individu.
Ini butuh dana besar, tentu saja. Berharap
hari-hari ini pemerintah mengeluarkan dana tanpa batas untuk proyek
"politik arsip" juga imaji keterlaluan. Tapi, dengan "cinta
buta" yang keras kepala ini, kita tak bosan-bosan mengingatkan pemangku
negara soal pentingnya "politik arsip" dengan meminjam kutipan
penulis seni Christine Cocca (2012: 12) ihwal kebijakan arsip Hindia Belanda
yang menjajah kita selama "350 tahun".
Pada medio abad ke-19, pemerintah Hindia
Belanda menugasi fotografer resmi mendokumentasikan monumen dan artefak di Jawa
yang seakan-akan dilakukan guna mendukung riset arkeologis. Penjajah
menggunakan kamera sebagai alat propaganda nilai-nilai kolonial yang vital dan
guna menangkap praktek-praktek kolonial secara tercetak di Nusantara dalam
rangka membangun kekaisaran berbasis pengetahuan kearsipan dan tak terpisahkan
dari rezim keamanan nasional.
Sepanjang abad ke-19 itu permainan utama
ekspansi imperial adalah permainan kepemilikan dominasi spasial, di mana ada
pihak dengan kapasitas lebih besar mengontrol arus informasi melalui arsip.
Ketika arsip fotografi yang didapatkan dari 100 institusi itu didaringkan saat
ini, kita bisa membaca sebagai ilustrasi dari monumen ingatan bagi orang
Belanda bagaimana misi-misi fotografis ini membantu bagi ekspansi politik dan
ekonomi. Tampak ribuan citra Hindia Belanda manusia, lanskap, pedesaan,
upacara-upacara, momen.
Terkaget-kaget kita kemudian bahwa arsip
bukan semata soal usaha menyimpan, tapi juga soalpenggunaannya untuk
kepentingan ekonomi bangsa yang lebih luas. Alibi arsiparis yang menjadi
"abdi dalem" pemerintah, bahwa mereka kekurangan sumber daya alam dan
modal, memang sebaiknya dikubur melebihi kedalaman galian mata bor terkutuk PT
Minarak Lapindo.
Kita, misalnya, patut memaksa Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia membeli semua buku yang ditulis dalam bahasa
Indonesia dengan cara menyambangi hingga ke kabupaten terkecil. Jadi, amtenar-amtenar
PNRI itu tidak hanya duduk di kantor bermain gaple digital sambil menunggu
datangnya buku-buku dari penerbit. Beli semua buku itu. Yang tipis atau yang
tebal. Buku penulis terkenal atau pemula. Buku saleh atau salah. Sebab, jika
tidak, sebagaimana sistem yang bekerja di pasar loak Jakarta, buku-buku itu
masuk ke penjagalan dan dimusnahkan menjadi bubur kertas.
Ketika pemerintah mengeluarkan dana triliunan
rupiah untuk sensus penduduk, mengapa tak berpikir efisien dan jangka panjang
menggaet komunitas semacam Combine
Resources Yogya dan "siswa-siswa" Onno W. Purbo yang
pintar-pintar untuk melatih Karang Taruna membuat arsip desa berbasis digital.
Arsip desa itu tak hanya berguna untuk sensus, tapi juga untuk segala hal yang
terkait dengan usaha "penyejahteraan" warga. Dan, yang pasti, data
yang dikelola oleh warga sendiri lebih akurat ketimbang data yang dibikin
pemerintah pusat lewat "relawan-relawan" musiman bayarannya. ●
Filosofi Kearsipan dengan Perpustakaan berbeda. Kearsipan tercipta untuk kepentingan manajemen/organisasi sedangkan Perpustakaan tercipta untuk kepentingan masyarakat. Manajemen modern menuntut efisiensi dan efektifitas dalam segala bidang, termasuk Kearsipan. Makanya logis bila arsip-arsip yang tidak bernilai guna bagi kepentingan bangsa dan negara dimusnahkan. Semua buku Kearsipan terbitan dalam negeri maupun luar negeri pasti ada penyusutan arsip. Coba saudara Muhidin M. Dahlan dan pembaca lainnya baca buku "Records Management" karya penulis asing atau buku Kearsipan karya Budi Martono pasti tidak salah kaprah seperti ini. Tb Rifza Adriansyah, Arsiparis Penyelia pada Kementerian Kehutanan.
BalasHapusMestinya judul karya Muhidin M. Dahlan "Akuisisi Bahan Pustaka Total" karena isinya tentang cita-cita beliau agar seluruh tulisan anak bangsa terekam dan tersimpan di Perpustakaan Nasional RI atau terekam dan tersimpan dalam masyarakat/komunitas. Tb Rifza Adriansyah, Arsiparis Penyelia pada Kementerian Kehutanan.
BalasHapus