Kartini Muda
dalam Pornografi
Tri Mistatik, Aktivis
Lingkar Studi Islam Surabaya
SUMBER
: JAWA POS, 21 April 2012
INDONESIA menduduki peringkat
pertama pengakses situs porno. Aib ini disampaikan sendiri oleh Kepala Humas
dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo Gatot S. Dewa Broto. Satu setengah
tahun lalu di urutan ketujuh, kini nomor satu (detiknet, 14/3/2012).
Lengkap sudah keterpurukan moralitas bangsa ini. Tak heran, ada wakil rakyat
(oknum anggota DPR) yang sedang rapat ''memikirkan nasib rakyat" justru
sibuk dan asyik melihat situs porno.
Usia penonton pornografi ini makin muda; menyerang anak-anak kita. Elly Risman Musa, psikolog pemerhati anak-anak, mengatakan anak SD kelas IV atau, bahkan, di bawahnya sudah melihat gambar porno. Kini mudah saja anak-anak melihat dari HP yang memang sekarang bisa dengan mudah mengakses dan menyimpan gambar porno. Seolah-olah ''bersama kita bisa" melihat dan mengakses tontonan porno.
Di negara superbebas pun pornografi adalah masalah. The Commission on Obscenity and Pornography di Amerika Serikat dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terpaan erotis -walau singkat- mampu membangkitkan gairah seks kebanyakan pria maupun wanita. Selain itu, ia menimbulkan reaksi-reaksi emosional seperti resah, impulsif, agresif, dan gelisah. Pornografi jelas bukan hiburan yang bersifat netral.
Menurut Donald Hilton Jr.MD., ahli bedah saraf dari San Antonio AS, di antara semua kasus kecanduan, pornografi merupakan kasus yang penanganannya tersulit, melebihi kecanduan narkoba. Bagaimana bila kecanduan pornografi tidak ditangani secara medis? Jangankan menangani, merasa bersalah saja tidak. Apalagi pengakses situs porno menganggap itu sebagai hiburan. Ironis, aktivitas yang memalukan dianggap hiburan.
Persis perdagangan narkoba, ketergantungan itulah yang diinginkan penyedia situs porno. Sebab, dari situlah income deras mengalir. Internet memang bagai mata pedang yang bisa menikam penggunanya bila tidak piawai menggunakannya. Namun, penyedia situs porno betul-betul licik menyerang penguna internet (terutama pemula) dengan tayangan iklan yang bisa menerobos kapan pun dan di mana pun. Iklan situs porno yang menyusup ke mana-mana jelas melanggar HAM. Bayangkan, untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat, sehat, dan bermutu, (pengguna internet) dikotori iklan yang berselera rendah.
Berangkat dari hal itu, ada beberapa sekolah yang tidak berani memberikan tugas yang diunduh dari internet karena "kemahakuasaan situs porno" di negeri ini. Lebih baik menghindari risiko meski sangat banyak sisi positif dapat diunduh dari internet.
Hal yang tak terbantah bila terpaan erotis pornografi mampu menjadi afrodisiak, pembangkit gairah seks baik buat merangsang fantasi sendiri maupun untuk merangsang orang lain, mensitumulasi internal maupun eksternal.
Pada sisi fantasi, yang ditimbulkan pornografi jauh lebih berbahaya daripada pornografi itu sendiri. Dengan melihat lawan jenis saja, otak yang sudah kecanduan sudah berfantasi negatif. Kontrol rendah.
(Karena itu, tidak salah bila pengguna rok mini menggugat, bukan karena rok mini yang mengundang tindak kejahatan seksual, tetapi "otak mini" yang berimajinasi. Tetapi, rok mini tanpa dibahasakan pun betul-betul merupakan pemandangan "mini nilai").
Layaknya anak-anak SD yang tertawa cekikikan melihat pornografi, yang walaupun menyumpah-nyumpah tetap saja melihat. Setali tiga uang. Pelaku, penyedia, dan pengakses sama saja, bersekutu terhadap peredaran pornografi. Barangkali karena adanya anonimitas inilah yang, menurut Zimbardo, membuat pelaku, penyedia, dan pengakses kehilangan tanggung jawab moral. Sudah menjadi rahasia umum, pecandu pornografi menyalurkan hasrat dengan tangannya sendiri, mengalami disharmonisasi dengan pasangannya yang disebabkan fantasi tidak sehat.
Kelongsoran Nilai Ekstrem
Ketua Yayasan Hot Line Pendidikan Jawa Timur Isa Anshori mengatakan, 45 persen di antara 700 pelajar SMP beranggapan bahwa mereka sudah boleh berhubungan intim. Bahkan, 14 persen di antara mereka sudah melakukan (Jawa Pos, 11 Februari 2012).
Pornografi jelas berdampak kepada pergeseran nilai, bahkan kelongsoran nilai. Dan yang paling ekstrem adalah human trafficking. Menurut Kasubdit 111 Renata Ditreskrimum Polda Jatim AKBP Wiji Suwartini, tren saat ini menunjukkan korban yang justru rela dijual, mencari orang yang bisa menyalurkan. Polisi mengalami kesulitan menjerat pelaku lewat korban karena kadang mereka mengaku, ya mengaku, tidak mengalami penderitaan akibat trafficking; tidak menderita psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, atau sosial. Justru itu dianggap "pekerjaan" (ingat istilah PSK) dan "pekerjaan" tersebut dianggap bisa membuat enjoy.
Kalau sudah seperti itu, bagaimana mereka dikatakan sebagai "korban" dan bagaimana polisi menegakkan UU No 21 Tahun 2007 Pasal 2 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang? Berdasar catatan penyidik, korban trafficking didominasi perempuan usia 20 tahun. Usia matang untuk mengerti tanggung jawab atas diri sendiri. Kartini pasti menangis bila masih sugeng.
Bagaimana nasib bangsa jka "kartini" sebagai tiang negara mengalami keruntuhan nilai akibat pornografi. Ir Soekarno dalam Soeara Indonesia Moeda, 1928, mengatakan, "Iboe-iboe besar ataoe ketjil, iboe-iboe sadar ataoe lalai, ... itoelah boeat sebagian berisi djawabnya soal Indonesia akan loehoer ataoe Indonesia akan hantjoer."
Tak perlu menunggu datangnya godot. Memang dengan adanya database yang mengerikan itu, akhirnya dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi yang diketuai Menko Kesra Agung Laksono yang beranggota 11 menteri, Kapolri, jaksa agung, serta ketua Komisi Penyiaran dan Lembaga Sensor.
Generasi muda adalah anak-anak kita. Meminjam ucapan Hillary Clinton, "perlu orang sekampung untuk membesarkan seorang anak". Anak terintegrasi dengan lingkungannya. Tak cukup hanya memperhatikan, perlu berbagi wacana dan wawasan dengan masyarakat sekitar, para orang tua, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Semua elemen masyarakat harus bersinergi. Ketahanan masyarakat akar rumput inilah yang membuat "nyanyian cabul pornografi" menjadi sunyi dan menjadi angin lalu. Petinggi yang kehilangan gigi pun akan garang menghadang sikap hidup permisif. ●
Usia penonton pornografi ini makin muda; menyerang anak-anak kita. Elly Risman Musa, psikolog pemerhati anak-anak, mengatakan anak SD kelas IV atau, bahkan, di bawahnya sudah melihat gambar porno. Kini mudah saja anak-anak melihat dari HP yang memang sekarang bisa dengan mudah mengakses dan menyimpan gambar porno. Seolah-olah ''bersama kita bisa" melihat dan mengakses tontonan porno.
Di negara superbebas pun pornografi adalah masalah. The Commission on Obscenity and Pornography di Amerika Serikat dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terpaan erotis -walau singkat- mampu membangkitkan gairah seks kebanyakan pria maupun wanita. Selain itu, ia menimbulkan reaksi-reaksi emosional seperti resah, impulsif, agresif, dan gelisah. Pornografi jelas bukan hiburan yang bersifat netral.
Menurut Donald Hilton Jr.MD., ahli bedah saraf dari San Antonio AS, di antara semua kasus kecanduan, pornografi merupakan kasus yang penanganannya tersulit, melebihi kecanduan narkoba. Bagaimana bila kecanduan pornografi tidak ditangani secara medis? Jangankan menangani, merasa bersalah saja tidak. Apalagi pengakses situs porno menganggap itu sebagai hiburan. Ironis, aktivitas yang memalukan dianggap hiburan.
Persis perdagangan narkoba, ketergantungan itulah yang diinginkan penyedia situs porno. Sebab, dari situlah income deras mengalir. Internet memang bagai mata pedang yang bisa menikam penggunanya bila tidak piawai menggunakannya. Namun, penyedia situs porno betul-betul licik menyerang penguna internet (terutama pemula) dengan tayangan iklan yang bisa menerobos kapan pun dan di mana pun. Iklan situs porno yang menyusup ke mana-mana jelas melanggar HAM. Bayangkan, untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat, sehat, dan bermutu, (pengguna internet) dikotori iklan yang berselera rendah.
Berangkat dari hal itu, ada beberapa sekolah yang tidak berani memberikan tugas yang diunduh dari internet karena "kemahakuasaan situs porno" di negeri ini. Lebih baik menghindari risiko meski sangat banyak sisi positif dapat diunduh dari internet.
Hal yang tak terbantah bila terpaan erotis pornografi mampu menjadi afrodisiak, pembangkit gairah seks baik buat merangsang fantasi sendiri maupun untuk merangsang orang lain, mensitumulasi internal maupun eksternal.
Pada sisi fantasi, yang ditimbulkan pornografi jauh lebih berbahaya daripada pornografi itu sendiri. Dengan melihat lawan jenis saja, otak yang sudah kecanduan sudah berfantasi negatif. Kontrol rendah.
(Karena itu, tidak salah bila pengguna rok mini menggugat, bukan karena rok mini yang mengundang tindak kejahatan seksual, tetapi "otak mini" yang berimajinasi. Tetapi, rok mini tanpa dibahasakan pun betul-betul merupakan pemandangan "mini nilai").
Layaknya anak-anak SD yang tertawa cekikikan melihat pornografi, yang walaupun menyumpah-nyumpah tetap saja melihat. Setali tiga uang. Pelaku, penyedia, dan pengakses sama saja, bersekutu terhadap peredaran pornografi. Barangkali karena adanya anonimitas inilah yang, menurut Zimbardo, membuat pelaku, penyedia, dan pengakses kehilangan tanggung jawab moral. Sudah menjadi rahasia umum, pecandu pornografi menyalurkan hasrat dengan tangannya sendiri, mengalami disharmonisasi dengan pasangannya yang disebabkan fantasi tidak sehat.
Kelongsoran Nilai Ekstrem
Ketua Yayasan Hot Line Pendidikan Jawa Timur Isa Anshori mengatakan, 45 persen di antara 700 pelajar SMP beranggapan bahwa mereka sudah boleh berhubungan intim. Bahkan, 14 persen di antara mereka sudah melakukan (Jawa Pos, 11 Februari 2012).
Pornografi jelas berdampak kepada pergeseran nilai, bahkan kelongsoran nilai. Dan yang paling ekstrem adalah human trafficking. Menurut Kasubdit 111 Renata Ditreskrimum Polda Jatim AKBP Wiji Suwartini, tren saat ini menunjukkan korban yang justru rela dijual, mencari orang yang bisa menyalurkan. Polisi mengalami kesulitan menjerat pelaku lewat korban karena kadang mereka mengaku, ya mengaku, tidak mengalami penderitaan akibat trafficking; tidak menderita psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, atau sosial. Justru itu dianggap "pekerjaan" (ingat istilah PSK) dan "pekerjaan" tersebut dianggap bisa membuat enjoy.
Kalau sudah seperti itu, bagaimana mereka dikatakan sebagai "korban" dan bagaimana polisi menegakkan UU No 21 Tahun 2007 Pasal 2 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang? Berdasar catatan penyidik, korban trafficking didominasi perempuan usia 20 tahun. Usia matang untuk mengerti tanggung jawab atas diri sendiri. Kartini pasti menangis bila masih sugeng.
Bagaimana nasib bangsa jka "kartini" sebagai tiang negara mengalami keruntuhan nilai akibat pornografi. Ir Soekarno dalam Soeara Indonesia Moeda, 1928, mengatakan, "Iboe-iboe besar ataoe ketjil, iboe-iboe sadar ataoe lalai, ... itoelah boeat sebagian berisi djawabnya soal Indonesia akan loehoer ataoe Indonesia akan hantjoer."
Tak perlu menunggu datangnya godot. Memang dengan adanya database yang mengerikan itu, akhirnya dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi yang diketuai Menko Kesra Agung Laksono yang beranggota 11 menteri, Kapolri, jaksa agung, serta ketua Komisi Penyiaran dan Lembaga Sensor.
Generasi muda adalah anak-anak kita. Meminjam ucapan Hillary Clinton, "perlu orang sekampung untuk membesarkan seorang anak". Anak terintegrasi dengan lingkungannya. Tak cukup hanya memperhatikan, perlu berbagi wacana dan wawasan dengan masyarakat sekitar, para orang tua, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Semua elemen masyarakat harus bersinergi. Ketahanan masyarakat akar rumput inilah yang membuat "nyanyian cabul pornografi" menjadi sunyi dan menjadi angin lalu. Petinggi yang kehilangan gigi pun akan garang menghadang sikap hidup permisif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar