Jumat, 20 April 2012

Haji dan Kesejahteraan


Haji dan Kesejahteraan
Zainun Ahmadi, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
SUMBER : KORAN TEMPO, 20 April 2012



Presiden Yudhoyono dalam acara syukuran Hari Lahir Ke-22 Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), 9 April 2012, di Solo, mengatakan jumlah calon haji hingga 13 Maret 2012, yang mencapai 1,7 juta pendaftar, mengindikasikan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi terus membaik.

Sementara selama ini pemerintah merasa cukup menilai perekonomian nasional dari pujian di luar negeri atau lembaga internasional, kini penilaian disempurnakan sendiri terhadap (anggapan) hasil pertumbuhan ekonomi yang membawa kesejahteraan, sehingga membuat pendaftaran ibadah haji membludak. Klaim semacam ini tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Adalah hak pemerintah untuk memilih indikator penilai kesejahteraan dengan menyebut, misalnya, angka pengangguran terbuka terus turun, ekonomi tumbuh pesat, misi modernisasi melalui industrialisasi sesuai dengan harapan, dan liberalisasi perdagangan telah berjalan baik. Tetapi juga merupakan hak rakyat untuk menentukan penilaian terhadap kebijakan pemerintah, apakah sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea keempat Pembukaan, yang menyatakan "untuk memajukan kesejahteraan umum", apakah telah dihayati? Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, juga pasal tentang perekonomian yang harus disusun sebagai usaha bersama dan seterusnya, apakah telah dilaksanakan secara konsekuen?

Dari data Badan Pusat Statistik 2011, dapat diketahui konfigurasi pengeluaran per kapita per bulan dari tiap strata kelas masyarakat. Misalnya, dibagi dalam 10 kelas (desil), akan dijumpai kelompok pengeluaran terendah pertama dan kedua masing-masing Rp 153.000 dan Rp 204.000 dengan tingkat pertumbuhan 9,08 dan 8,25 persen. Sebaliknya, kelompok pengeluaran tertinggi pertama dan kedua sekitar Rp 1,48 juta dan Rp 768.000, dengan tingkat besaran pertumbuhannya 15.36 persen dan 18.77 persen. Artinya, mereka yang berada pada kelompok dengan pengeluaran besar akan selalu mengalami kenaikan pendapatan yang semakin besar pula, dan ini yang mengakibatkan gap antara si kaya dan si miskin kian lebar jika terjadi turbulensi ekonomi.

Turbulensi itu bergerak secara dramatis, dan menciptakan aset ekonomi yang menumpuk hanya pada segelintir individu atau korporasi, melahirkan 40 orang paling kaya di Indonesia yang menguasai aset setara dengan 10,3 persen dari produk domestik bruto. Turbulensi itu memicu beragam masalah serius berupa konflik sosial dan horizontal, kerusakan lingkungan yang tidak terkendali, serta tindakan kriminal dan kekerasan lain. Turbulensi itu terus bergolak sehingga menjauhkan politik dari kedaulatan, menempatkan perekonomian tidak lagi berpijak di atas kaki sendiri, dan mendesain kebudayaan jauh dari kepribadian bangsa.

Di tengah karut-marut keadaan demikian dan diprovokasi undang-undang penyelenggaraan ibadah haji (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008), 1,7 juta anggota masyarakat teperdaya mendaftarkan diri sebagai calon anggota jemaah haji reguler. Dengan ketentuan pendaftaran harus menyerahkan setoran awal Rp 25 juta, kini uang yang terkumpul di rekening Menteri Agama tidak kurang dari Rp 38 triliun dan cukup disimpan dalam tabungan, giro, deposito, dan sukuk negara. Jika dihitung daftar tunggu 1,7 juta dan kuota maksimal 221 ribu tiap masa haji, seorang calon haji yang baru mendaftar hari ini memerlukan waktu sekurangnya 8 tahun untuk bisa berangkat menunaikan ibadah haji. Hanya di Indonesia fenomena ini terjadi.

Data calon haji 2010 menunjukkan 98,1 persen belum pernah menunaikan ibadah haji. Hal ini membuktikan bahwa mayoritas mereka adalah golongan menengah ke bawah, berbeda dengan golongan menengah-atas yang cenderung memilih jalur haji khusus (ONH Plus, non-reguler). Niat dan tekad golongan menengah bawah, yang rentan terhadap turbulensi ekonomi, itu diwujudkan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit dana untuk berhaji, dari menjual ternak, sawah, tanah, rumah, perhiasan, bahkan menabung sebelum pensiun. Bagi mereka, setoran awal Rp 25 juta bukan jumlah kecil, bukan karena sudah sejahtera, tetapi semata-mata panggilan ibadah haji.

Usia mereka di atas 60 tahun (47,7 persen), wanita (54,7 persen), dan hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar (33 persen). Mereka sabar menanti bertahun-tahun. Padahal, jika saja pemerintah mau berupaya memperoleh kuota secara benar, pada 2011 sudah bisa memberangkatkan sedikitnya 235 ribu calon haji, dihitung satu per mil dari jumlah penduduk muslim, yang berdasarkan sensus 2010 berjumlah 238 juta jiwa. Sudah bertahun-tahun kuota haji Indonesia tidak berubah pada kisaran 211 ribu saja, adapun pada 2010 dan 2011 menjadi 221 ribu karena "kebaikan" pemerintah Saudi menambah kuota 10 ribu.

Padahal, jika saja cerdas, melalui usulan ke OKI dan memanfaatkan hubungan baik dengan Saudi, pemerintah bisa meminta kuota negara-negara seperti Cina, Rusia, dan India, yang tidak (bisa) banyak memberangkatkan penduduknya untuk berhaji. Bahkan tahun lalu, dengan mengingat jutaan daftar tunggu, pemerintah seharusnya mampu meyakinkan Saudi untuk bersedia mengalihkan kuota haji dari negara-negara Timur Tengah yang sedang bergolak, seperti Mesir, Libya, Suriah, dan sebagainya. Pemerintah cuma berdiam diri, barangkali memang menikmati karena, semakin banyak daftar tunggu calon haji, semakin besar uang terkumpul, dan semakin besar bunga bank yang bisa dipetik.

Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Haji mensyaratkan penerimaan setoran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan. Artinya, jika tidak menabrak undang-undang ini, daftar tunggu calon haji tidak akan pernah menembus 1,7 juta. Masyarakat dibuat paranoid, seolah jika tidak mendaftar--dengan setoran awal Rp 25 juta--tidak akan bisa berangkat haji. Paranoia telah memaksa diri mereka mendaftarkan seluruh anggota keluarga besarnya, dan pemerintah hanya pasif menerima tanpa inisiatif mencari terobosan penambahan kuota secara signifikan, atau menghentikan pendaftaran untuk sementara.

Pemerintah seperti sengaja tidak menerbitkan peraturan mengenai manajemen pengelolaan dana setoran awal, sehingga leluasa tidak memisahkan antara jumlah dana pokok simpanan dan bunga. Jadilah bunga dipergunakan untuk membiayai operasionalisasi indirect cost pelaksanaan haji, padahal mestinya diambil dari APBN sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU Haji. Orientasi materi telah menjauhkan kebijakan pemerintah dari prinsip tata kelola haji yang nirlaba (pasal 2), sehingga menabrak UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Antikorupsi 2003 bahwa terhadap dana publik, jika disalahgunakan, harus dianggap sebagai kejahatan (pasal 17).

Diperlukan kemauan politik dan keseriusan pemerintah untuk mengurai daftar tunggu 1,7 juta tersebut, jika komitmen kesejahteraan diposisikan secara sentral-substantif. Pembiaran nasib (calon) haji dan penumpukan dana setoran awal hanya akan mereduksi kesejahteraan mereka menjadi marginal-residual. Sesungguhnya, jutaan daftar tunggu calon haji bukanlah cermin kesejahteraan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar