Sabtu, 14 April 2012

Sejahtera versi Cameron

Sejahtera versi Cameron
Ismatillah A Nu’ad, Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina
SUMBER : SUARA MERDEKA, 14 April 2012


SALAH satu pesan dari kuliah umum Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron di Universitas Al-Azhar Jakarta (12/4) menegaskan betapa pentingnya bagi Indonesia menjadikan demokrasi sebagai modal dasar menuju negara kesejahteraan. Indonesia yang tumbuh menjadi negara demokratis sejak reformasi 1998 perlu diingatkan bahwa tujuan demokrasi adalah kesejahteraan bagi rakyat mengingat demokrasi bukanlah tujuan.

Menafsirkan pernyataan Cameron, sebenarnya mudah saja untuk mengatakan sebuah negara sudah sejahtera atau belum. Indikasinya, penduduk mendapatkan tempat tinggal layak, negara memberikan pelayanan publik yang baik seperti fasilitas kesehatan, birokrasi yang ramah, kebutuhan pokok yang terjangkau, dan seterusnya. Rakyat juga memperoleh hak ekonomi dan tak lupa, hak politik. Jika hak-hak dasar itu belum terpenuhi, dipastikan praktik demokrasi Indonesia belumlah diperuntukkan bagi nilai-nilai kesejahteraan.

Hasil riset Legatum Institute 2010, lembaga yang bermarkas di Dubai misalnya, pernah melansir indeks berjudul ’’Legatum Prosperity Index’’, dan salah satu simpulannya sangat menarik. Disebutkan, Jepang dan Korsel lebih sejahtera dari China yang punya kekuatan ekonomi terbesar dan terkuat di Asia.

Menurut Legatum, karena semata-mata kesejahteraan tak melulu dinilai dari materi dan ekonomi. China memang lebih maju secara ekonomi dari Jepang dan Korsel, namun rakyatnya tak mendapatkan hak politik yang wajar.

Mafhum jika Cameron menegaskan pentingnya mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan. Kita tahu, Inggris termasuk salah satu negara paling sejahtera di Benua Biru, selain Nordik atau Skandinavia.

Demikian pula negara-negara yang tergabung dalam serikat commonwealth (negara bekas jajahan Inggris), bisa dikatakan sangat sejahtera. Sebut saja negeri jiran Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Malaysia misalnya, saat ini tumbuh pesat, kemajuan ekonominya di atas Indonesia. Ekspansi perusahaan-perusahaan besarnya merambah negara kita, semisal Petronas. Kemajuan itu bisa dilihat dari ekspansi korporasi Malaysia di bidang perbankan, perkebunan, otomotif,  minyak dan gas, properti dan lain-lain. Mobil produk Malaysia pun sudah masuk Indonesia, seperti Proton. Pertumbuhan ekonomi negeri jiran itu menjadi daya tarik bagi orang-orang kita untuk mengisi kesempatan kerja di sana.

Sementara, Indonesia masih terus didera persoalan ekonomi. Pemerintah boleh saja mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih maju dari tahun-tahun lalu, namun faktanya tak berbanding lurus. Kesalahan regulasi yang menyebabkan rakyat tak sejahtera bukan hanya kesalahan mekanisme sistem melainkan juga kesalahan penentu kebijakan yang mengelola negara. Kesalahan pemerintah terletak pada dua arah.

Pertama; secara mekanisme-sistem pembangunan, dan kedua; kebijakan yang ada dikhianati atau tercoreng oleh praktik banalitas dan manipulasi yang dilakukan para penentu kebijakan. Itulah sebabnya, pernyataan Cameron sangat tegas, bahwa korupsi menghilangkan hak ekonomi dan politik warga negara.

Perang melawan korupsi yang dilakukan pemerintah selama ini masih dilematis, satu sisi ingin memerangi korupsi tapi di sisi lain inner circle di pemerintahan dan partai yang berkuasa dipenuhi berbagai kasus hukum akibat korupsi. Korupsi merupakan masalah besar bagi bangsa ini yang belum tuntas diberantas, padahal sangat menghambat pembangunan demokrasi yang bermuara pada nilai-nilai kesejahteraan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar