Kamis, 12 April 2012

Koalisi Tanpa PKS


Koalisi Tanpa PKS
Syamsuddin Haris, Profesor Riset LIPI
SUMBER : KOMPAS, 12 April 2012


Akibat penolakan atas rencana pemerintah menaikkan harga BBM, Partai Keadilan Sejahtera tampaknya benar-benar dikeluarkan dari keanggotaan Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah.

Apa dampaknya bagi dinamika koalisi, kabinet, dan relasi Presiden-DPR? Secara matematis sebenarnya relatif tidak ada perubahan mendasar dalam formasi koalisi jika PKS akhirnya didepak. Keluarnya PKS yang mencakup 57 kursi DPR memang berdampak pada berkurangnya total kekuatan parpol koalisi di DPR, yakni dari 423 (75,5 persen) menjadi 366 kursi (65,4 persen).

Namun, formasi kekuatan parpol koalisi sebesar 65,4 persen tersebut, jika solid, jelas masih cukup besar untuk mendukung kebijakan pemerintah di parlemen. Persoalannya, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku pemimpin koalisi bisa mengelola potensi dukungan dari lima parpol anggota Setgab, yakni Partai Demokrat (148 kursi), Partai Golkar (106), PAN (46), PPP (38), dan PKB (28)?

Di sisi lain, kekuatan parpol oposisi di DPR kini bertambah dengan bergabungnya PKS sehingga menjadi 149 kursi (34,6 persen), mencakup PDI-P (94 kursi), PKS (57), Gerindra (26), dan Partai Hanura (17). Kehadiran PKS di kubu oposisi tentu bakal mempertinggi dinamika politik DPR karena kesenjangan kekuatan koalisi-oposisi kini relatif berkurang.

Setgab Koalisi

Secara teoretis, semakin sedikit jumlah parpol koalisi, justru semakin baik. Bukan hanya lantaran fragmentasi politik dan polarisasi ideologisnya berkurang, melainkan juga karena lebih mudah dikelola. Karena itu, dikeluarkannya PKS malah mengurangi resistensi politik secara internal koalisi.

Hanya saja, didepaknya PKS akan berdampak pada perubahan dinamika internal Setgab Koalisi karena parpol yang dipimpin Luthfi Hasan Ishaaq ini dikenal kritis dalam menyikapi berbagai pilihan kebijakan pemerintah sebelum diputuskan di parlemen. Selain itu, PKS juga hampir selalu mempertanyakan efektivitas Setgab Koalisi karena dianggap hanya jadi forum menyeragamkan sikap politik parpol anggota koalisi. Tidak mengherankan jika dalam berbagai kesempatan para petinggi PKS menyatakan ”siap” jika mereka harus dikeluarkan dari koalisi yang mekanisme internalnya ditata ulang pasca-skandal Bank Century.

Konsekuensi logis lain dari terdepaknya PKS adalah semakin sentralnya posisi Partai Golkar sebagai faktor penentu dinamika internal Setgab Koalisi. Sebagai ”saudara tua” Partai Demokrat, Golkar-lah yang selama ini cenderung mengendalikan dinamika internal koalisi, seperti tampak pada kesuksesan partai beringin menggiring koalisi menunda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang akhirnya menjadi keputusan rapat paripurna DPR beberapa waktu lalu.

Implikasi berikut jika PKS diceraikan dari koalisi adalah keniscayaan bagi Presiden SBY merombak kembali Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II. Tiga menteri dari PKS—Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono, serta Menteri Sosial Salim Segaf Al’ Jufrie—harus dicari penggantinya. Meskipun kinerja ketiganya mungkin cukup baik, karena jatah posisi menteri PKS adalah kompensasi politik berkoalisi dengan SBY, mereka pun harus dicopot.

Barangkali isu perombakan kabinet inilah yang justru lebih ”seksi” dan panas ketimbang soal perpisahan PKS dari koalisi. Parpol anggota koalisi, khususnya Golkar dan Demokrat, jelas mengincar posisi-posisi menteri yang ditinggalkan PKS. Golkar hampir pasti mengklaim ”berjasa” dalam mengegolkan Ayat (6a) Pasal 7 RUU APBN-P 2012 dalam Rapat Paripurna DPR. Di sisi lain, Demokrat selaku pemimpin koalisi bisa jadi beranggapan Golkar tidak berhak menambah jatah menteri karena tidak ”berkeringat” dalam mengusung SBY pada Pemilu 2009.

Isu perombakan kabinet tentu menjadi lebih ramai jika Mahkamah Konstitusi akhirnya memenuhi sebagian atau semua tuntutan uji materi terhadap keberadaan wakil menteri (wamen) yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kalaupun gugatan soal wamen ditolak, sekurang-kurangnya media bakal diramaikan tuntutan pencopotan Wamen Hukum dan HAM Denny Indrayana, yang diduga melakukan penamparan terhadap sipir penjara di Pekanbaru, Riau.

Relasi Presiden-DPR

Di luar dampak politik yang dikemukakan di atas, soal lebih krusial pasca-pencopotan PKS dari koalisi adalah kemungkinan semakin tingginya dinamika relasi Presiden-DPR. Meski kekuatan parpol oposisi hanya bertambah 57 kursi dari PKS, sikap kritis PKS diduga bakal bertambah ”kencang” ketika sepenuhnya berada di luar pemerintah. Apalagi, obsesi PKS ke depan adalah menjadi parpol tiga besar pada Pemilu 2014.

Itu artinya, melalui parlemen, PKS akan memaksimalkan fungsi parlementernya untuk meraih simpati dan dukungan elektoral secara optimal. Karena itu, meski kehilangan tiga posisi menteri, pencopotan dari Setgab Koalisi justru bisa menjadi ”berkah terselubung” bagi PKS jika mereka mampu mengelolanya secara tepat dan cerdas.

Barangkali koreksi parlementer PKS ini bakal mempertinggi dinamika relasi Presiden-DPR. Soalnya bukan apa-apa, parpol ”saudara tua” yang tampak ”manis” dan memetik banyak untung dari koalisi (baca: Golkar) sewaktu-waktu sikap politiknya dapat berubah menjadi oposisi seperti tampak selama ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar