Koalisi
Tanpa PKS
Syamsuddin Haris, Profesor Riset LIPI
SUMBER : KOMPAS, 12 April 2012
Akibat penolakan atas rencana pemerintah
menaikkan harga BBM, Partai Keadilan Sejahtera tampaknya benar-benar
dikeluarkan dari keanggotaan Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik
Pendukung Pemerintah.
Apa dampaknya bagi dinamika koalisi, kabinet,
dan relasi Presiden-DPR? Secara matematis sebenarnya relatif tidak ada
perubahan mendasar dalam formasi koalisi jika PKS akhirnya didepak. Keluarnya
PKS yang mencakup 57 kursi DPR memang berdampak pada berkurangnya total
kekuatan parpol koalisi di DPR, yakni dari 423 (75,5 persen) menjadi 366 kursi
(65,4 persen).
Namun, formasi kekuatan parpol koalisi
sebesar 65,4 persen tersebut, jika solid, jelas masih cukup besar untuk
mendukung kebijakan pemerintah di parlemen. Persoalannya, apakah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono selaku pemimpin koalisi bisa mengelola potensi
dukungan dari lima parpol anggota Setgab, yakni Partai Demokrat (148 kursi),
Partai Golkar (106), PAN (46), PPP (38), dan PKB (28)?
Di sisi lain, kekuatan parpol oposisi di DPR
kini bertambah dengan bergabungnya PKS sehingga menjadi 149 kursi (34,6
persen), mencakup PDI-P (94 kursi), PKS (57), Gerindra (26), dan Partai Hanura
(17). Kehadiran PKS di kubu oposisi tentu bakal mempertinggi dinamika politik
DPR karena kesenjangan kekuatan koalisi-oposisi kini relatif berkurang.
Setgab Koalisi
Secara teoretis, semakin sedikit jumlah
parpol koalisi, justru semakin baik. Bukan hanya lantaran fragmentasi politik
dan polarisasi ideologisnya berkurang, melainkan juga karena lebih mudah
dikelola. Karena itu, dikeluarkannya PKS malah mengurangi resistensi politik
secara internal koalisi.
Hanya saja, didepaknya PKS akan berdampak
pada perubahan dinamika internal Setgab Koalisi karena parpol yang dipimpin
Luthfi Hasan Ishaaq ini dikenal kritis dalam menyikapi berbagai pilihan
kebijakan pemerintah sebelum diputuskan di parlemen. Selain itu, PKS juga
hampir selalu mempertanyakan efektivitas Setgab Koalisi karena dianggap hanya jadi
forum menyeragamkan sikap politik parpol anggota koalisi. Tidak mengherankan
jika dalam berbagai kesempatan para petinggi PKS menyatakan ”siap” jika mereka
harus dikeluarkan dari koalisi yang mekanisme internalnya ditata ulang
pasca-skandal Bank Century.
Konsekuensi logis lain dari terdepaknya PKS
adalah semakin sentralnya posisi Partai Golkar sebagai faktor penentu dinamika
internal Setgab Koalisi. Sebagai ”saudara tua” Partai Demokrat, Golkar-lah yang
selama ini cenderung mengendalikan dinamika internal koalisi, seperti tampak
pada kesuksesan partai beringin menggiring koalisi menunda kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM), yang akhirnya menjadi keputusan rapat paripurna DPR
beberapa waktu lalu.
Implikasi berikut jika PKS diceraikan dari
koalisi adalah keniscayaan bagi Presiden SBY merombak kembali Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) jilid II. Tiga menteri dari PKS—Menteri Komunikasi dan
Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono, serta Menteri Sosial
Salim Segaf Al’ Jufrie—harus dicari penggantinya. Meskipun kinerja ketiganya
mungkin cukup baik, karena jatah posisi menteri PKS adalah kompensasi politik
berkoalisi dengan SBY, mereka pun harus dicopot.
Barangkali isu perombakan kabinet inilah yang
justru lebih ”seksi” dan panas ketimbang soal perpisahan PKS dari koalisi.
Parpol anggota koalisi, khususnya Golkar dan Demokrat, jelas mengincar
posisi-posisi menteri yang ditinggalkan PKS. Golkar hampir pasti mengklaim
”berjasa” dalam mengegolkan Ayat (6a) Pasal 7 RUU APBN-P 2012 dalam Rapat Paripurna
DPR. Di sisi lain, Demokrat selaku pemimpin koalisi bisa jadi beranggapan
Golkar tidak berhak menambah jatah menteri karena tidak ”berkeringat” dalam
mengusung SBY pada Pemilu 2009.
Isu perombakan kabinet tentu menjadi lebih
ramai jika Mahkamah Konstitusi akhirnya memenuhi sebagian atau semua tuntutan
uji materi terhadap keberadaan wakil menteri (wamen) yang dianggap bertentangan
dengan konstitusi. Kalaupun gugatan soal wamen ditolak, sekurang-kurangnya
media bakal diramaikan tuntutan pencopotan Wamen Hukum dan HAM Denny Indrayana,
yang diduga melakukan penamparan terhadap sipir penjara di Pekanbaru, Riau.
Relasi Presiden-DPR
Di luar dampak politik yang dikemukakan di
atas, soal lebih krusial pasca-pencopotan PKS dari koalisi adalah kemungkinan
semakin tingginya dinamika relasi Presiden-DPR. Meski kekuatan parpol oposisi
hanya bertambah 57 kursi dari PKS, sikap kritis PKS diduga bakal bertambah
”kencang” ketika sepenuhnya berada di luar pemerintah. Apalagi, obsesi PKS ke
depan adalah menjadi parpol tiga besar pada Pemilu 2014.
Itu artinya, melalui parlemen, PKS akan
memaksimalkan fungsi parlementernya untuk meraih simpati dan dukungan elektoral
secara optimal. Karena itu, meski kehilangan tiga posisi menteri, pencopotan
dari Setgab Koalisi justru bisa menjadi ”berkah terselubung” bagi PKS jika
mereka mampu mengelolanya secara tepat dan cerdas.
Barangkali koreksi parlementer PKS ini bakal
mempertinggi dinamika relasi Presiden-DPR. Soalnya bukan apa-apa, parpol
”saudara tua” yang tampak ”manis” dan memetik banyak untung dari koalisi (baca:
Golkar) sewaktu-waktu sikap politiknya dapat berubah menjadi oposisi seperti
tampak selama ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar