Akhiri
Diskriminasi dan Kriminalisasi Buruh Migran
Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant Care
SUMBER : KOMPAS, 12 April 2012
Jika tidak ada aral melintang dan manuver
politik, Sidang Paripurna DPR pada Kamis (12/4) ini akan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang mengenai Pengesahan Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai
Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya menjadi
undang-undang.
Pengesahan itu menandai keikutsertaan
Indonesia sebagai bagian dari instrumen internasional utama perlindungan buruh
migran dalam kerangka mekanisme hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Keikutsertaan Indonesia menjadi bagian dari
konvensi ini memang sejak lama ditunggu. Meski berbagai media di Indonesia
hampir setiap hari telah mengabarkan derita buruh migran, hampir tidak ada
respons yang signifikan dari pemerintah. Pemerintah bahkan berdalih bahwa
jumlah buruh migran yang bermasalah tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
dengan jumlah buruh migran yang bekerja.
Dengan berkilah dan berkukuh soal angka,
tampaklah bahwa pemerintah memang abai terhadap kompleksitas permasalahan buruh
migran. Pemerintah sangat fasih jika bicara soal jumlah remitans yang mengalir
dan pertumbuhan angka buruh migran setiap tahun, tetapi menjadi kelu jika
digugat tentang jumlah buruh migran yang diperkosa, mati sia-sia, terancam
hukuman mati, bekerja tanpa gaji yang layak, dan terutama apa yang kemudian
dilakukan pemerintah.
Agenda Lama
Memang tak ada alasan lagi bagi Pemerintah
Indonesia untuk tidak segera meratifikasi konvensi ini. Sudah dua kali
Pemerintah Indonesia mengagendakan ratifikasi dalam Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM 1998-2003 dan RANHAM 2004-2009), tetapi ternyata itu
hanya janji.
Langkah Pemerintah Indonesia untuk hanya
menandatangani (bukan meratifikasi) konvensi pada tanggal 22 September 2004
lebih pada sekadar langkah politis. Saat itu, Indonesia mengajukan lamaran
sebagai anggota Dewan HAM PBB dan bukan sebagai komitmen serius untuk
menegakkan hak asasi buruh migran Indonesia. Terbukti pada saat yang hampir
bersamaan, DPR mengesahkan UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dari pembacaan kritis terhadap produk akhir
legislatif periode 1999-2004, tampak jelas bahwa UU ini lebih banyak mengandung
dimensi eksploitatif ketimbang protektif terhadap buruh migran Indonesia.
Pemerintah Tidak Peduli
Selama ini, buruh migran
Indonesia mengalami berbagai macam persoalan yang bersumber dari
ketidakpedulian pemerintah terhadap hak asasi buruh migran Indonesia. Bahkan,
justru pemerintah yang mengembangkan cara pandang diskriminatif terhadap buruh
migran Indonesia. Pemerintahlah yang mengategorikan entitas buruh migran
sebagai buruh formal-informal, terampil-tidak terampil (skilled- unskilled), dan legal-ilegal.
Memilah buruh migran dalam dikotomi
formal-informal jelas sangat bias jender dan diskriminatif. Mereka yang
dikategorikan kerja di sektor formal adalah yang bekerja ”bukan” sebagai
pekerja rumah tangga dan artinya laki-laki. Sementara yang bekerja di sektor
informal adalah mereka (mayoritas perempuan) yang menjadi pekerja rumah tangga
(PRT). Informalisasi sektor kerja tak lebih dari permakluman bahwa negara boleh
tidak menjangkau dan tidak melindungi mereka.
Dalam perkembangan terakhir, dikotomi
formal-informal tidak relevan lagi seiring dengan kemunculan Konvensi ILO 189
tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini menegaskan bahwa
pekerja rumah tangga tercakup dalam hukum perburuhan.
Dikotomi skilled-unskilled
juga punya kandungan bias jender dan diskriminatif. Kategorisasi ini
menempatkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja unskilled (tak terampil) dan pekerja non-PRT adalah pekerja
terampil.
Kaum feminis punya peran membongkar cara
pandang ini. Jika memasak yang merupakan bagian dari pekerjaan rumah tangga
dianggap unskilled, mengapa laki-laki
pemasak (chef) dikategorikan pekerja skilled. Pemilahan ini juga membuat
negara merasa risi melindungi mereka dan lebih cenderung ingin melarang mereka
bekerja di sektor yang dianggap unskilled
ini. Realitasnya, mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor yang
dianggap unskilled.
Dikotomi legal-ilegal memiliki unsur
kriminalisasi. Pemilahan berlangsung saat pemerintah memulai kebijakan
industrialisasi penempatan buruh migran dan hanya mengakui PJTKI (sekarang
Pelaksana Penempatan TKI Swasta/PPTKIS) sebagai satu-satunya lembaga yang punya
legitimasi menempatkan buruh migran ke luar negeri. Sementara migrasi berbasis
kultural yang sudah berlangsung beratus-ratus tahun dikriminalisasi sebagai
buruh migran ilegal.
Dalam realitasnya, penempatan buruh migran
melalui PPTKIS tidak terjamin aman. Pemilahan ini juga membuat pemerintah
(boleh) tidak bertanggung jawab jika ada masalah yang dihadapi oleh buruh
migran (yang dianggap) ilegal.
Hapus Dikotomi Kebijakan
Dengan meratifikasi Konvensi Internasional
mengenai Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, pemerintah
harus menghapus kebijakan-kebijakan yang berbasis cara pandang dikotomis.
Konvensi ini menggugurkan segala bentuk
diskriminasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi buruh migran serta menjadi dasar
perlindungan HAM dalam tata kelola migrasi pekerja antarbangsa.
Dalam konteks politik luar negeri,
meratifikasi konvensi akan memperkuat legitimasi Pemerintah Indonesia dalam
memperjuangkan kepentingan buruh migran Indonesia di arena diplomasi regional
(ASEAN), bilateral, dan multilateral. Hingga saat ini, Indonesia merupakan
sedikit dari negara-negara di Asia yang telah lengkap meratifikasi konvensi-konvensi
pokok dan inti dalam mekanisme perlindungan hak asasi manusia.
Tentu saja, ratifikasi konvensi bukan
satu-satunya payung perlindungan buruh migran. Langkah ini baru tapak awal dan
harus diikuti dengan langkah-langkah lebih maju selanjutnya pada tahapan
harmonisasi kebijakan nasional dan implementasi konvensi. Tahapan ini bisa
dimulai dengan merevisi total UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri dengan perspektif perlindungan HAM
seperti yang terkandung dalam konvensi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar