Sabtu, 07 April 2012

Sidak Bukan Solusi


Sidak Bukan Solusi
Ahmad Yani, Wakil Ketua Fraksi PPP, Anggota Komisi III DPR RI   
SUMBER : SINDO, 07 April 2012



Meski niatnya baik dan bertujuan memberantas kejahatan, setiap kebijakan dan tindakan para pejabat selayaknya dilakukan secara baik, terencana, dan sistematis.
Hal ini sejalan dengan analisis Paul Craig Roberts dan Lawrence Stratton (2000) dalam bukunya, The Tyranny of Good Intentions: How Prosecutors and Bureaucrats Are Trampling the Constitution in The Name of Justice, bahwa praktik-praktik penegakan hukum dan para penegak hukum telah menginjak- injak konstitusi negara dan hak-hak konstitusional warga negara yang dilakukan atas nama keadilan!

Karena ambisidannafsupublisitaspara penegak hukum, pencari keadilan, dan orang-orang yang belum terbukti bersalah atau tidak tak lagi dipedulikan. Tindakan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang untuk kesekian kalinya melakukan inspeksi mendadak (sidak) hanyalah untuk menyebut suatu contoh. Kejadian terakhir, sang Wamen bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan sidak ke Lapas Pekanbaru guna mencari dan membekuk pelaku pidana narkoba.

Dalam sidak kali ini terjadi insiden pemukulan. Namun yang lebih penting adalah benarkah tindakan sidak tersebut tidak ber-tentangan dengan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 17 bahwa tiga narapidana yang diberitakan dibawa keluar adalah untuk kepentingan penyerahan berkas perkara atau rekonstruksi atau pemeriksaan di sidang pengadilan?

Lebih penting lagi,apakah model sidak dan berbagai langkah terobosan lainnya adalah solusi penegakan hukum? Untuk menjawabnya, kita dapat mengevaluasinya dari aspek efektivitas atau ketercapaian tujuan, terutama untuk penegakan hukum dan pencegahan terulangnya kesalahan/pidana. Dalam kasus temuan sel mewah, tampaknya telah terjadi upaya perbaikan manajemen, ruang, dan fasilitas lapas.

Ketertiban semakin terjaga. Namun, sidak Satgas terbukti tidak efektif. Wamenkumham sendiri yang membuktikannya karena setelah dua tahun sidak ke sel Ayin, dia melakukan model serupa meski kasusnya berbeda. Terulangnya kesalahan aparat menunjukkan kegagalan pencapaian tujuan sidak. Sidak terhadap sel Nazaruddin juga diragukan efektivitasnya kecuali jika tujuannya sekadar pencitraan.

Jika melihat upaya pembongkaran semua kasus Nazaruddin, sidak terbukti tidak efektif dan tidak sejalan dengan strategi pemberantasan korupsi secara komprehensif dan sistematik. Terobosan lain dengan melangkahi UU Pemasyarakatan serta PP No 28/2006 dan PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan–– di mana seorang pejabat pemerintah membatalkan secara lisan atas hak pembebasan bersyarat bagi warga binaan yang telah ditetapkan secara tertulis––juga terbukti gagal. Meski pejabat tersebut menyebut tindakannya sebagai upaya melawan korupsi, kejahatan tersebut tetap terjadi di mana-mana, termasuk di lembaga yang seharusnya dapat dibina dan diawasi pejabat tersebut dengan baik.

Benahi Sistem

Sidak ke Lapas Pekanbaru dalam upaya memberantas narkoba juga takkan efektif kecuali hanya untuk pencitraan pemerintah. Niat itu susah disangkal karena telah mengundang banyak wartawan. Padahal, yang namanya sidak tentu harus terencana dengan baik dan dirahasiakan dari siapa pun. Bagaimana mungkin tindakan ke Lapas Pekanbaru disebut sidak jika aspek publisitas lebih ditonjolkan ketimbang membongkar aktor intelektual penyebarluasan narkoba di lapas-lapas?

Apakah pemerintah tidak belajar dari kasus penyebaran narkoba di Lapas Nusa kambangan atau Kerobokan,Bali? Selain itu, model sidak adalah bukti kegagalan kepemimpinan dan manajemen pemerintahan. Seorang pemimpin disebut gagal jika tidak memercayai anak buah dapat menunaikan tugasnya. Indikasinya, dia harus berkali-kali melakukan terobosan prosedural semacam sidak. Pemimpin juga gagal bila perintahnya tidak dijalankan dengan baik.

Kualitas dan kapasitas manajemen juga patut dikeluhkan. Dalam kasus Ayin sudah terlihat ada persoalan kelebihan kapasitas lapas, kekurangan rasio sipir terhadap warga binaan, kurangnya fasilitas pembinaan dan pengawasan seperti kamera pengawas (CCTV), rendahnya integritas aparat, dan sebagainya. Mengapa kasus keterlibatan aparat lapas dalam suatu tindakan pidana harus terulang dan harus dibongkar dengan cara yang sama pula?

Selayaknya, pemerintah tidak perlu melanjutkan model sidak. Cukuplah DPR yang menjalankan pengawasan dengan model sidak. Karena DPR memang tidak mungkin melaksanakan pengawasan melekat dan terus menerus. DPR bukan bagian dari birokrasi sehingga tidak mungkin mengarahkan dan memerintahkan aparat eksekutif secara langsung dari hari ke hari untuk dapat mencapai tujuan organisasi.

Sebaiknya, pemerintah membina aparatnya, baik secara moralitas, intelektualitas maupun kapabilitas dalam bekerja dan menunaikan tugas. Pemimpin harus dapat mengarahkan, memuji bagi yang berhasil, dan menindak siapa pun yang gagal dan membangkang. Itu harus dilakukan dalam suatu manajemen perubahan (change management) yang efektif dan berkelanjutan.

Yang diutamakan diubah adalah sumber daya manusianya, dan karena itu perlu pendekatan yang manusiawi, komunikatif, dan berempati. Pemimpin dan manajemen juga harus mampu menunjukkan keteladanan. Tanpa itu, arahan dan kebijakan akan dilecehkan bawahan. Apalagi, dalam konteks penegakan hukum, pemberantasan korupsi, narkoba, dan berbagai kejahatan lainnya sangat memerlukan tindakan nyata dari diri seorang pemimpin sehingga dapat diteladani anak buah dan menginspirasi mereka untuk berbuat baik dan benar tanpa harus diawasi sewaktu-waktu dan terus-menerus.

Jika pemimpin hanya bisa memerintah,tapi tidak mampu menunjukkan keteladanan, model kepemimpinan mereka akan cenderung diktator, mengutamakan kekerasan dan kekuatan, mengancam dan menakut-nakuti. Masalahnya, kepemimpinan diktator bukan saja akan mendorong perlawanan dari bawahan dan mengakibatkan kegagalan reformasi birokrasi, tapi juga seperti memutar jarum jam ke belakang di saat demokrasi, reformasi, dan hak asasi manusia masih ditelan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar