Sang Pengeluh
Saldi Isra, Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas
Hukum Universitas Andalas
SUMBER : KOMPAS, 02 April 2012
Dalam kunjungan kenegaraan di Beijing, China,
Presiden Yudhoyono kembali mengeluh dan menyesalkan anggota kabinet yang tidak
melakukan pembelaan dan masih diam saja ketika dikritik.
Pokok keluhan SBY, anggota kabinet yang
cenderung berdiam diri atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak awal
April ini. Sebagaimana dilansir harian Kompas (26/3), isyarat yang dapat dibaca
dari aksi diamnya menteri: ada masalah antara Presiden dan anggota kabinet.
Lebih dari itu, keluhan terbuka SBY meneguhkan gejala yang berkembang selama
ini: terbelahnya soliditas di jajaran kabinet.
Bahkan, jika dilacak lebih jauh ke belakang,
keluhan terhadap anggota kabinet (baik karena disebabkan kinerja maupun alasan
kekompakan) paling sering dikemukakan SBY ke ruang publik. Misalnya,
pertengahan 2011 SBY mengeluh soal lambannya tidak lanjut instruksi yang
diberikan kepada menteri. Tak tanggung-tanggung, SBY menyebutkan bahwa hanya
kurang dari 50 persen instruksinya yang dijalankan anggota kabinet.
Tak lama berselang, hanya hitungan hari
sebelum membancuh kabinet, SBY kembali berkeluh kesah yang mengesankan beberapa
menteri jadi beban pemerintah sekaligus jadi beban Presiden. Setelah itu, belum
berjarak dua bulan, SBY muncul dengan keluhan lain: sistem pelaporan cepat di
kabinet acap tak berjalan baik (Kompas, 26/3).
Selain kinerja dan kekompakan anggota
kabinet, keluhan SBY merambah pula ke ranah pemberantasan korupsi.
Sebagai Presiden yang merengkuh dukungan
pemilih dengan kalimat mahasakti ”Saya
akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”, menjadi sulit
dimengerti ketika SBY mengeluh bahwa pemberantasan korupsi sangat sulit, berat,
butuh waktu, dan kerja semua pihak.
Tak Bernyali
Sebagai Presiden dengan dukungan pemilih
sangat tinggi, sulit menerima dan membenarkan untaian panjang keluhan itu.
Terkait dengan soal kinerja dan kekompakan anggota kabinet, misalnya, keluh
kesah yang disampaikan ke ruang publik menggambarkan betapa Presiden SBY gagal
menunjukkan kuasa konstitusional seorang presiden dalam desain sistem
presidensial.
Jamak diketahui, dalam sistem presidensial,
presiden memiliki hak prerogatif menilai keberlanjutan posisi menteri di
jajaran kabinet. Jika memang ada di antara menteri yang merusak kinerja kabinet
secara keseluruhan, dengan instrumen hak prerogatif SBY dapat melakukan
evaluasi kapan saja diperlukan. Dalam hal ini, Pasal 17 Ayat (1) dan (2) UUD
1945 menyatakan, ”Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara dan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
presiden.”
Dengan kuasa konstitusional yang demikian,
tak dapat dipersalahkan jika sejumlah pihak bergumam sinis atas keluh kesah SBY
soal kinerja dan kekompakan jajaran kabinet. Oleh karena itu, masalah mendasar
yang sesungguhnya dihadapi SBY tidak pada desain konstitusional, tetapi lebih
pada kekuatan personal untuk berada di titik sentral
konsekuensi logis yang
mungkin sulit dihindarkan dalam praktik sistem presidensial.
Sebagaimana dipahami, meskipun masa jabatan
presiden didesain dengan masa edar tetap, praktik sistem presidensial acap
hadir dengan pola hubungan eksekutif dan legislatif yang relatif tak stabil.
Guna menghadapi kemungkinan instabilitas itu, para pengkaji sistem presidensial
hampir selalu menempatkan personalitas seorang presiden sebagai salah satu
faktor kunci. Biasanya seorang presiden dengan karakter kuat menjadi lebih
mampu menghadapi paradoks yang muncul dalam praktik sistem presidensial.
Sulit dibantah, keluhan atas kinerja dan
kekompakan anggota kabinet adalah buah dari sikap dan pilihan SBY sendiri.
Sekalipun mendapatkan dukungan besar pemilih (60,8 persen) pada Pemilu 2009,
SBY gagal menjadikan angka itu sebagai modal membangun pemerintah yang solid.
Sejak awal nyali SBY meluruh untuk membentuk kabinet dengan dukungan parpol
pas-terbatas. Boleh jadi, persoalan nyali pula yang memaksa SBY membentuk
koalisi kedodoran dengan dukungan partai politik hampir mendekati angka 80
persen.
Bahkan, ketika mengeluh atas kinerja dan
kekompakan sejumlah menteri, yang dilakukan tidak mengganti mereka yang
berkinerja rendah, tetapi mengangkat sejumlah wakil menteri. Sekalipun pilihan
mengangkat wakil menteri untuk ”melapis” sejumlah menteri dibenarkan oleh
undang-undang, langkah demikian tetap saja tak mampu menyelesaikan masalah
sesungguhnya.
Yang terbentang di hadapan kita, karena
kehilangan nyali, SBY justru melakukan eksperimentasi yang dalam batas tertentu
kian memperumit masalah. Kini, yang kita saksikan, SBY benar-benar tengah
berenang di dalam perangkap yang ia bangun sendiri. Celakanya, ketika
kesempatan keluar dari keluhan atas kinerja dan kekompakan jajaran kabinet,
misalnya ketika merombak kabinet Oktober lalu, nyali untuk ”melangkah” lebih
jauh kian lenyap ditelan bumi. Jika memiliki nyali untuk melakukan perubahan
besar, keluhan saat kunjungan melakukan kenegaraan di Beijing tak perlu keluar
lagi dari Presiden SBY.
Selain persoalan di atas, banyak kalangan
menilai, keluhan demi keluhan sengaja dibuka ke publik agar segala macam kritik
terhadap kinerja pemerintah tak dipandang sebagai kesalahan SBY semata, tetapi
juga karena persoalan serius di jajaran anggota kabinet. Jika penilaian
demikian benar, berarti SBY tak mau ambil risiko dan tanggung jawab atas
kinerja pemerintah.
Cuci Tangan
Padahal, dalam logika sistem pemerintahan
presidensial, kinerja pemerintah menjadi tanggung jawab presiden. Karena logika
pertanggungjawaban demikian, keluhan terhadap kinerja dan kekompakan menteri
menjadi urusan ”dapur” kabinet.
Ibarat petuah lama, membawa persoalan
demikian ke ruang publik sama saja dengan ”mencabik
baju di dada”, ”menepuk air di dulang
terpecik ke muka sendiri”. Tegasnya, seorang presiden tidak boleh cuci
tangan atas kinerja anggota kabinet sendiri.
Dalam berbagai kejadian, SBY kelihatan enggan
menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk mengambil tanggung jawab
langsung. Terkait dengan hal ini, Teten Masduki pernah mengemukakan presiden
acap kali mengeluh tak puas atas kinerja penegakan hukum. Namun, SBY lebih
memilih membentuk Satuan Tugas Mafia Hukum ketimbang campur tangan langsung
membenahi institusi kepolisian dan kejaksaan yang berada langsung di bawah
kekuasaannya.
Pertanyaan besar yang menggantung di kepala
banyak orang: mungkinkah negeri ini keluar dari tumpukan dan impitan persoalan
jikalau pemimpinnya lebih banyak berkeluh kesah? Pertanyaan ini begitu
menggelitik karena di tengah lilitan persoalan saat ini, harusnya rakyat yang
mengeluh, bukan pemimpin. Mr. President, jangan tambah beban rakyat,
berhentilah menjadi sang pengeluh! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar