Senin, 02 April 2012

Sang Pengeluh (306)


Sang Pengeluh
Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas
SUMBER : KOMPAS, 02 April 2012



Dalam kunjungan kenegaraan di Beijing, China, Presiden Yudhoyono kembali mengeluh dan menyesalkan anggota kabinet yang tidak melakukan pembelaan dan masih diam saja ketika dikritik.

Pokok keluhan SBY, anggota kabinet yang cenderung berdiam diri atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak awal April ini. Sebagaimana dilansir harian Kompas (26/3), isyarat yang dapat dibaca dari aksi diamnya menteri: ada masalah antara Presiden dan anggota kabinet. Lebih dari itu, keluhan terbuka SBY meneguhkan gejala yang berkembang selama ini: terbelahnya soliditas di jajaran kabinet.

Bahkan, jika dilacak lebih jauh ke belakang, keluhan terhadap anggota kabinet (baik karena disebabkan kinerja maupun alasan kekompakan) paling sering dikemukakan SBY ke ruang publik. Misalnya, pertengahan 2011 SBY mengeluh soal lambannya tidak lanjut instruksi yang diberikan kepada menteri. Tak tanggung-tanggung, SBY menyebutkan bahwa hanya kurang dari 50 persen instruksinya yang dijalankan anggota kabinet.

Tak lama berselang, hanya hitungan hari sebelum membancuh kabinet, SBY kembali berkeluh kesah yang mengesankan beberapa menteri jadi beban pemerintah sekaligus jadi beban Presiden. Setelah itu, belum berjarak dua bulan, SBY muncul dengan keluhan lain: sistem pelaporan cepat di kabinet acap tak berjalan baik (Kompas, 26/3).

Selain kinerja dan kekompakan anggota kabinet, keluhan SBY merambah pula ke ranah pemberantasan korupsi.

Sebagai Presiden yang merengkuh dukungan pemilih dengan kalimat mahasakti ”Saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”, menjadi sulit dimengerti ketika SBY mengeluh bahwa pemberantasan korupsi sangat sulit, berat, butuh waktu, dan kerja semua pihak.

Tak Bernyali

Sebagai Presiden dengan dukungan pemilih sangat tinggi, sulit menerima dan membenarkan untaian panjang keluhan itu. Terkait dengan soal kinerja dan kekompakan anggota kabinet, misalnya, keluh kesah yang disampaikan ke ruang publik menggambarkan betapa Presiden SBY gagal menunjukkan kuasa konstitusional seorang presiden dalam desain sistem presidensial.

Jamak diketahui, dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif menilai keberlanjutan posisi menteri di jajaran kabinet. Jika memang ada di antara menteri yang merusak kinerja kabinet secara keseluruhan, dengan instrumen hak prerogatif SBY dapat melakukan evaluasi kapan saja diperlukan. Dalam hal ini, Pasal 17 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan, ”Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.”

Dengan kuasa konstitusional yang demikian, tak dapat dipersalahkan jika sejumlah pihak bergumam sinis atas keluh kesah SBY soal kinerja dan kekompakan jajaran kabinet. Oleh karena itu, masalah mendasar yang sesungguhnya dihadapi SBY tidak pada desain konstitusional, tetapi lebih pada kekuatan personal untuk berada di titik sentral 
konsekuensi logis yang mungkin sulit dihindarkan dalam praktik sistem presidensial.

Sebagaimana dipahami, meskipun masa jabatan presiden didesain dengan masa edar tetap, praktik sistem presidensial acap hadir dengan pola hubungan eksekutif dan legislatif yang relatif tak stabil. Guna menghadapi kemungkinan instabilitas itu, para pengkaji sistem presidensial hampir selalu menempatkan personalitas seorang presiden sebagai salah satu faktor kunci. Biasanya seorang presiden dengan karakter kuat menjadi lebih mampu menghadapi paradoks yang muncul dalam praktik sistem presidensial.

Sulit dibantah, keluhan atas kinerja dan kekompakan anggota kabinet adalah buah dari sikap dan pilihan SBY sendiri. Sekalipun mendapatkan dukungan besar pemilih (60,8 persen) pada Pemilu 2009, SBY gagal menjadikan angka itu sebagai modal membangun pemerintah yang solid. Sejak awal nyali SBY meluruh untuk membentuk kabinet dengan dukungan parpol pas-terbatas. Boleh jadi, persoalan nyali pula yang memaksa SBY membentuk koalisi kedodoran dengan dukungan partai politik hampir mendekati angka 80 persen.

Bahkan, ketika mengeluh atas kinerja dan kekompakan sejumlah menteri, yang dilakukan tidak mengganti mereka yang berkinerja rendah, tetapi mengangkat sejumlah wakil menteri. Sekalipun pilihan mengangkat wakil menteri untuk ”melapis” sejumlah menteri dibenarkan oleh undang-undang, langkah demikian tetap saja tak mampu menyelesaikan masalah sesungguhnya.

Yang terbentang di hadapan kita, karena kehilangan nyali, SBY justru melakukan eksperimentasi yang dalam batas tertentu kian memperumit masalah. Kini, yang kita saksikan, SBY benar-benar tengah berenang di dalam perangkap yang ia bangun sendiri. Celakanya, ketika kesempatan keluar dari keluhan atas kinerja dan kekompakan jajaran kabinet, misalnya ketika merombak kabinet Oktober lalu, nyali untuk ”melangkah” lebih jauh kian lenyap ditelan bumi. Jika memiliki nyali untuk melakukan perubahan besar, keluhan saat kunjungan melakukan kenegaraan di Beijing tak perlu keluar lagi dari Presiden SBY.

Selain persoalan di atas, banyak kalangan menilai, keluhan demi keluhan sengaja dibuka ke publik agar segala macam kritik terhadap kinerja pemerintah tak dipandang sebagai kesalahan SBY semata, tetapi juga karena persoalan serius di jajaran anggota kabinet. Jika penilaian demikian benar, berarti SBY tak mau ambil risiko dan tanggung jawab atas kinerja pemerintah.

Cuci Tangan
Padahal, dalam logika sistem pemerintahan presidensial, kinerja pemerintah menjadi tanggung jawab presiden. Karena logika pertanggungjawaban demikian, keluhan terhadap kinerja dan kekompakan menteri menjadi urusan ”dapur” kabinet.

Ibarat petuah lama, membawa persoalan demikian ke ruang publik sama saja dengan ”mencabik baju di dada”, ”menepuk air di dulang terpecik ke muka sendiri”. Tegasnya, seorang presiden tidak boleh cuci tangan atas kinerja anggota kabinet sendiri.

Dalam berbagai kejadian, SBY kelihatan enggan menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk mengambil tanggung jawab langsung. Terkait dengan hal ini, Teten Masduki pernah mengemukakan presiden acap kali mengeluh tak puas atas kinerja penegakan hukum. Namun, SBY lebih memilih membentuk Satuan Tugas Mafia Hukum ketimbang campur tangan langsung membenahi institusi kepolisian dan kejaksaan yang berada langsung di bawah kekuasaannya.

Pertanyaan besar yang menggantung di kepala banyak orang: mungkinkah negeri ini keluar dari tumpukan dan impitan persoalan jikalau pemimpinnya lebih banyak berkeluh kesah? Pertanyaan ini begitu menggelitik karena di tengah lilitan persoalan saat ini, harusnya rakyat yang mengeluh, bukan pemimpin.     Mr. President, jangan tambah beban rakyat, berhentilah menjadi sang pengeluh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar