Rabu, 11 April 2012

Haruskah Paranoid pada TV Swasta?


Haruskah Paranoid pada TV Swasta?
Morissan, Kandidat PhD pada School of Communication, Universiti Sains Malaysia
SUMBER : SINDO, 11 April 2012


Sejak diberlakukan 10 tahun yang lalu, Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 telah berperan penting meningkatkan jumlah lembaga penyiaran televisi (TV) dan radio di Tanah Air secara signifikan.

Hal yang paling mencolok adalah munculnya banyak stasiun TV lokal di berbagai penjuru Tanah Air yang jumlahnya kini diperkirakan telah mencapai lebih dari 200 stasiun. Namun, selama perjalanannya sejak dilahirkan hingga kini, undang-undang (UU) ini telah menimbulkan banyak perdebatan dalam pelaksanaannya. Belakangan ini muncul ide untuk melakukan revisi terhadap UU ini.

DPR saat ini dikabarkan tengah menampung masukan dari berbagai pihak bagi kemungkinan rencana revisi UU Penyiaran ini. Salah satu isu mengemuka yang membayangi rencana revisi UU Penyiaran adalah isu kepemilikan, terutama masalah konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran, khususnya kepemilikan pada lembaga penyiaran televisi swasta. Perhatian tertuju pada fenomena perubahan kepemilikan dan kontrol terhadap stasiun TV nasional.

Jika pada awalnya terdapat 10 lembaga penyiaran televisi swasta yang dikontrol oleh 10 pemilik, sekarang 10 lembaga penyiaran itu dikontrol oleh ‘hanya’ lima pemilik.Para penentang khawatir perkembangan ini akan mengancam demokratisasi media,mengancam prinsip keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), dan keragaman isi media (diversity of content).

Terlebih menjelang pertarungan politik Pemilu 2014, sebagian pihak merasa khawatir, pemilik media akan dapat dengan mudah mengendalikan opini publik untuk kepentingan pemilik, atau partai politik tertentu yang dekat dengan pemilik media tertentu. Pertanyaan sekarang, apakah kekhawatiran ini beralasan?

Pengaruh Media

Studi media massa yang membahas pengaruh atau efek media terhadap opini publik telah dilakukan para ahli komunikasi berpuluh tahun lamanya di berbagai negara. Di Indonesia pandangan para sarjana komunikasi mengenai pengaruh media pada masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok: kritis dan positivis.

Kelompok kritis mendasarkan pemikirannya pada gagasan Karl Marx dan para pengikutnya yang cenderung memandang negatif media karena efeknya yang besar, dan dianggap sebagai kepanjangan tangan pemilik modal untuk “menindas” masyarakat. Pemikiran ini merupakan mayoritas di Indonesia.

Sayangnya, pemikiran para tokoh kritis mulai dari era Frankfurt School hingga tokoh-tokoh seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jaqcues Derrida, hingga Vincent Moco ternyata tidak didukung atau kurang ditunjang dengan data-data atau bukti ilmiah. Dengan kata lain, mereka lebih banyak hanya berwacana tanpa ditunjang data empiris dan objektif.

Sebaliknya, kelompok positivis mendasarkan pemikirannya berdasarkan berbagai hasil penelitian ilmiah selama puluhan tahun sehingga menghasilkan berbagai teori terkenal di bidang media dan komunikasi massa seperti teori penggunaan dan kepuasan media atau uses-and-gratification theory (oleh Katz, Blumler, dan Gurevitch), agenda setting (McComb dan Shaw), kultivasi (Gerbner), perubahan sikap (Hovland), dan sebagainya.

Para pemikir yang masuk dalam kelompok ini memandang media massa, termasuk televisi, memberikan pengaruh terbatas (minimal) pada masyarakat demokratis. Teori-teori yang mereka kemukakan tidak menunjukkan ada pengaruh besar media televisi kepada penonton. Hal ini karena penonton televisi bersifat bebas dan aktif dalam menggunakan media; latar belakang dan sifat individu menentukan kebutuhan mereka terhadap media.

Media juga harus bersaing dengan media lain dan sumber kepuasan lain untuk menarik perhatian penonton. Pandangan yang menyatakan bahwa politisi atau partai politik yang menguasai media massa, khususnya televisi, pasti akan memenangkan pertarungan politik (pemilu) merupakan pandangan yang seringkali keliru.

Kasus korupsi oleh Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat, mengingatkan kita pada bagaimana ketika itu Andi Mallarangeng yang menguasai dan mendominasi iklan kampanye di berbagai stasiun televisi terpaksa harus mengakui kekalahannya merebut posisi ketua umum dari para pesaing yang jumlah iklannya jauh lebih kecil. Fakta juga menunjukkan bahwa banyak calon gubernur, bupati/wali kota peserta pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mengeluarkan iklan lebih besar ternyata harus kalah dengan pesaing lain yang dana iklannya lebih kecil.

Posisi TV Swasta

UU Penyiaran di Indonesia, dan peraturan di bidang penyiaran di berbagai negara di dunia, mengakui keberadaan televisi swasta dan diberi sifat komersial oleh negara. Di negara demokratis mana pun televisi swasta ada. Di Indonesia lembaga penyiaran dibagi ke dalam empat kategori: swasta, publik, komunitas, dan berlangganan. Pembagian semacam ini juga berlaku di banyak negara. Tujuan utama lembaga penyiaran swasta adalah mendapatkan pemasang iklan.

Kepentingan publik hanya dapat dipuaskan selama kepentingan itu sejalan dengan kepentingan pemasang iklan. Dengan alasan inilah, mengapa banyak negara memiliki stasiun televisi dan radio publik untuk mengimbangi “pengaruh” televisi komersial. Politisi atau orang yang terkait dengan partai politik dilarang keras memegang jabatan di lembaga penyiaran publik. Namun, hal ini tidak berlaku di lembaga penyiaran swasta.

Siapa pun boleh mendirikan dan memiliki lembaga penyiaran swasta termasuk politisi atau tokoh partai politik. Ada yang mengatakan, media yang dimiliki figur politisi jelas sangat rentan dimanfaatkan mendukung kepentingan politik pribadi atau kelompok.Pernyataan ini kurang tepat.Yang tepat adalah media yang dimiliki figur politisi memang akan dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan politik pribadi atau kelompok.

Tentu saja para politisi pemilik lembaga penyiaran, atau politisi yang dekat dengan pemilik lembaga penyiaran, akan memanfaatkan media mereka untuk mencapai tujuan politik mereka. Namun perlu diketahui, hal ini normalnormal saja di negara demokrasi.

Pengalaman Negara Lain

Di Italia politisi dan pengusaha media, Silvio Berlusconi, memanfaatkan jaringan media massa yang dimilikinya untuk mendukung kampanye pemilu sehingga dia terpilih sebagai perdana menteri. Perusahaan media Berlusconi, Mediaset, memiliki tiga stasiun televisi nasional yang ditonton 45% penonton TV Italia. Berlusconi juga memiliki surat kabar besar, Giornale, dan majalah berita, Panorama.

Berlusconi melakukan kampanye besar-besaran lewat iklan di ketiga jaringan TV-nya. Partai politiknya,Forza Italia, memenangkan pemilu dan menjadi partai yang menduduki peringkat pertama dengan 21% suara populer. Berlusconi diangkat menjadi perdana menteri pada 1994. Inilah keuntungan politisi yang memiliki jaringan media massa. Di lain pihak politisi yang tidak memiliki media akan mendekati pemilik media atau sebaliknya pemilik media akan mendekati politisi.

Di Inggris raja media Rupert Murdoch memanfaatkan jaringan media miliknya untuk mendukung dua perdana menteri, Margaret Thatcher dan John Major.Keduanya dari Partai Konservatif. Dukungan diberikan selama pemerintahan mereka yaitu sejak akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Ketika Tony Blair dari Partai Buruh menguasai pemerintahan, Murdoch dan medianya mengalihkan dukungannya kepada partai politik yang berkuasa ketika itu.

Hubungan mesra ini berakhir ketika salah satu surat kabar milik Murdoch, The Sun, secara terang-terangan menyatakan menarik dukungannya kepada Partai Buruh yang berkuasa dan mengalihkannya kepada David Cameron dari Partai Konservatif yang berkuasa saat ini. Kedua contoh di Italia dan Inggris tersebut menunjukkan hubungan media dengan politik merupakan sesuatu yang lumrah di negara-negara demokrasi.

Hubungan tarik ulur media dan politik merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Di Indonesia kedekatan hubungan pemilik media dengan partai politik juga bukan sesuatu yang aneh. Pandangan beberapa kalangan yang mengkhawatirkan terjadi penggalangan opini publik sebagai akibat dari konsolidasi dan akuisisi kepemilikan media massa terasa berlebihan jika tidak ingin dikatakan paranoid.

Masyarakat dianggap tidak memiliki kemampuan berpikir dan melakukan analisis sendiri. Masyarakat dianggap tidak mampu untuk memilah media mana yang objektif dan independen, dan media mana media yang memiliki agenda politik.Inilah demokrasi, jangan paranoid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar