Jumat, 20 April 2012

Ekonomi-Politik Subsidi


Ekonomi-Politik Subsidi
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Aepi), Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : KORAN TEMPO, 19 April 2012


Kata "subsidi" menjadi tema seru seiring dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Kendati rencana kenaikan batal per 1 April, harga BBM toh tetap berpeluang naik. Pemerintah diberi wewenang menyesuaikan harga BBM apabila dalam kurun enam bulan berjalan harga minyak mentah dunia naik atau turun lebih dari 15 persen dari asumsi harga minyak di APBN-P 2012. Pembahasan kenaikan harga BBM secara formal sudah selesai. Tetapi, dari panggung perpolitikan Indonesia, kian jelas keberadaan lubang hitam (black holes) berikut ini: eksekutif dan legislatif menganggap nasib APBN jauh lebih penting untuk diselamatkan ketimbang nasib rakyat yang konon disebut pemilik sah Republik ini.

Dengan dalih ada lapisan rakyat tertentu yang terlalu dimanjakan, tiba-tiba kata subsidi seolah menjadi barang yang haram dan harus dijauhi, bahkan mesti dicampakkan. Lebih menyesakkan lagi, yang dianggap subsidi itu ternyata pengeluaran pemerintah yang dipakai untuk membantu rakyat mendapatkan BBM murah. Mengapa aneka pos pengeluaran APBN buat kenikmatan para politikus dan wakil rakyat di DPR, berupa uang komunikasi, uang sidang dan makan, tunjangan jabatan, dana taktis, biaya studi banding ke luar negeri, dan pelbagai fasilitas kenikmatan lain yang hasilnya tidak pernah dilaporkan kepada rakyat, tak dimaknai sebagai subsidi yang juga bisa dipangkas habis?

Dalam UUD 1945 tidak ada kata "dibantu", "disubsidi", atau "pemerintah membantu rakyat". Yang ada, seperti saya tulis di Koran Tempo, 9 Maret 2012 ("Ekonomi-Politik Kompensasi Kenaikan Harga BBM"), konstitusi mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang layak, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (pasal 31ayat1 dan 2), dan hak untuk dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (pasal 34 ayat 1). Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28h ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 1), dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28c ayat 1).

Barangkali rakyat, yang diwakili mahasiswa maupun buruh, tidak akan marah jika pemerintah konsekuen dan tidak pandang bulu menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi tanpa pandang bulu. Tetapi sepertinya pemerintah justru tidak konsekuen, karena sama sekali tidak ada tanda-tanda akan menghapus subsidi yang sebenarnya tidak perlu. Salah satunya adalah bunga dana rekapitalisasi perbankan akibat krisis tahun 1998 sebesar Rp 600 triliun yang sampai sekarang belum terselesaikan. Tiap tahun APBN tersedot sekitar Rp 60 triliun untuk membayar bunga rekapitalisasi itu.

Sumber pembayaran bunga rekapitalisasi itu berasal dari pajak rakyat. Di bank-bank yang mendapatkan rekapitalisasi, bunga rekapitalisasi masuk sisi pendapatan yang ikut menentukan besar-kecilnya keuntungan yang didapat bank tiap tahun. Termasuk yang ikut menerima adalah Bank Danamon, yang 2 April lalu 67,37 persen sahamnya dibeli bank Singapura, DBS, senilai Sin$ 9,1 miliar (Rp 45 triliun). Padahal, saat BUMN milik pemerintah Singapura, Temasek, mengambil-alih Bank Danamon dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional, harganya hanya SGD 459 juta. Sekarang mereka bisa menjualnya 20 kali lipat dari harga awal. DPR juga tidak pernah lagi mempersoalkan bunga rekapitalisasi yang hanya dinikmati segelintir pemilik bank, termasuk dari asing. Pemerintah pun menganggap tak perlu dicari pemecahannya.

Subsidi sebetulnya bukan sesuatu yang haram. Subsidi bukan sebuah kejahatan. Bahkan subsidi menjadi keharusan sebagai bagian dari tugas negara untuk mengentaskan mereka yang miskin. Subsidi merupakan hal yang lazim di negara-negara kesejahteraan (welfare state). Tetapi, di negara liberal dan pro-pasar, subsidi juga tetap diberikan. Pemberian subsidi sangat ketat, melewati proses seleksi yang amat meletihkan, dan antre dalam kurun waktu tertentu. Untuk melihat apakah subsidi digunakan sebagaimana mestinya untuk meraih kesejahteraan, secara rutin petugas mendatangi sasaran subsidi, mencatat, dan melakukan inspeksi apakah betul penerima subsidi masih layak dibantu.

Ada sejumlah pelajaran dari pemberian subsidi di negara maju (Kasali, 2012). Pertama, subsidi tidak boleh menjadi alat mendongkrak popularitas pemimpin, baik itu para politikus maupun penguasa. Kedua, subsidi disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi dengan prinsip good governance. Ketiga, subsidi tidak boleh dilakukan secara massal, apalagi bila subsidi bisa menjadi substitusi bagi masyarakat yang kaya untuk mengambil hak kaum papa. Keempat, subsidi diberikan secara selektif, dan dibatasi. Kelima, subsidi dilakukan dengan pendampingan cukup. Artinya selain untuk pengecekan kelayakan, barang subsidi juga tidak boleh untuk digunakan di luar dari yang seharusnya.

Bagaimana subsidi di Indonesia? Sebagian besar mekanisme subsidi bersifat terbuka. Ada dua konsekuensi skema subsidi semacam ini. Pertama, efektivitas subsidi rendah. Kedua, sebagai akibatnya, subsidi sebagai alat pemerataan dan sarana menegakkan keadilan tidak tercapai. Subsidi BBM, misalnya, bisa dinikmati secara bebas, baik oleh orang kaya maupun miskin, baik untuk kerja maupun aktivitas pelesiran. Selain itu, cakupan subsidi kecil, dan kelembagaannya tidak didesain dengan baik. Yang celaka, tidak pernah ada check dan recheck apakah subsidi mencapai sasaran dan digunakan sebagaimana layaknya. Ini terjadi pada banyak subsidi, salah satunya Bantuan Langsung Tunai. Karena karakteristik semacam itu, subsidi tidak hanya bersifat sementara, ad hoc, dan fragmentaris, tetapi juga selalu dimuati nafsu politik untuk menjaga popularitas.

Rakyat yang buta akan logika ekonomi yang amat rumit tetapi paham ukuran-ukuran keadilan pasti akan memprotes kebijakan subsidi yang sangat tidak adil. Rencana menaikkan harga BBM untuk mencabut subsidi pasti berakibat pada kenaikan harga-harga umum. Hal itu pasti memberatkan kehidupan rakyat. Tetapi meneruskan pemberian subsidi kepada orang-orang kaya eks-konglomerat, segelintir perbankan, bahkan dari asing, yang jumlahnya luar biasa besar, akan menjadi tragedi nasional yang menusuk hati rakyat. Sebagai pengemudi negara, pemerintah bisa menjadi tertuduh atas ketidakadilan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar