Ekonomi-Politik
Subsidi
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(Aepi), Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : KORAN TEMPO, 19 April 2012
Kata "subsidi" menjadi tema seru
seiring dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Kendati
rencana kenaikan batal per 1 April, harga BBM toh tetap berpeluang naik.
Pemerintah diberi wewenang menyesuaikan harga BBM apabila dalam kurun enam
bulan berjalan harga minyak mentah dunia naik atau turun lebih dari 15 persen
dari asumsi harga minyak di APBN-P 2012. Pembahasan kenaikan harga BBM secara
formal sudah selesai. Tetapi, dari panggung perpolitikan Indonesia, kian jelas
keberadaan lubang hitam (black holes) berikut ini: eksekutif dan
legislatif menganggap nasib APBN jauh lebih penting untuk diselamatkan
ketimbang nasib rakyat yang konon disebut pemilik sah Republik ini.
Dengan dalih ada lapisan rakyat tertentu yang
terlalu dimanjakan, tiba-tiba kata subsidi seolah menjadi barang yang haram dan
harus dijauhi, bahkan mesti dicampakkan. Lebih menyesakkan lagi, yang dianggap
subsidi itu ternyata pengeluaran pemerintah yang dipakai untuk membantu rakyat
mendapatkan BBM murah. Mengapa aneka pos pengeluaran APBN buat kenikmatan para
politikus dan wakil rakyat di DPR, berupa uang komunikasi, uang sidang dan
makan, tunjangan jabatan, dana taktis, biaya studi banding ke luar negeri, dan
pelbagai fasilitas kenikmatan lain yang hasilnya tidak pernah dilaporkan kepada
rakyat, tak dimaknai sebagai subsidi yang juga bisa dipangkas habis?
Dalam UUD 1945 tidak ada kata
"dibantu", "disubsidi", atau "pemerintah membantu
rakyat". Yang ada, seperti saya tulis di Koran Tempo, 9 Maret 2012
("Ekonomi-Politik Kompensasi Kenaikan Harga BBM"), konstitusi
mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang layak, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan (pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (pasal 31ayat1 dan 2),
dan hak untuk dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (pasal 34
ayat 1). Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28h
ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 1),
dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28c ayat 1).
Barangkali rakyat, yang diwakili mahasiswa
maupun buruh, tidak akan marah jika pemerintah konsekuen dan tidak pandang bulu
menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi tanpa pandang bulu. Tetapi
sepertinya pemerintah justru tidak konsekuen, karena sama sekali tidak ada
tanda-tanda akan menghapus subsidi yang sebenarnya tidak perlu. Salah satunya
adalah bunga dana rekapitalisasi perbankan akibat krisis tahun 1998 sebesar Rp
600 triliun yang sampai sekarang belum terselesaikan. Tiap tahun APBN tersedot
sekitar Rp 60 triliun untuk membayar bunga rekapitalisasi itu.
Sumber pembayaran bunga rekapitalisasi itu
berasal dari pajak rakyat. Di bank-bank yang mendapatkan rekapitalisasi, bunga
rekapitalisasi masuk sisi pendapatan yang ikut menentukan besar-kecilnya
keuntungan yang didapat bank tiap tahun. Termasuk yang ikut menerima adalah
Bank Danamon, yang 2 April lalu 67,37 persen sahamnya dibeli bank Singapura,
DBS, senilai Sin$ 9,1 miliar (Rp 45 triliun). Padahal, saat BUMN milik
pemerintah Singapura, Temasek, mengambil-alih Bank Danamon dari Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, harganya hanya SGD 459 juta. Sekarang mereka
bisa menjualnya 20 kali lipat dari harga awal. DPR juga tidak pernah lagi
mempersoalkan bunga rekapitalisasi yang hanya dinikmati segelintir pemilik
bank, termasuk dari asing. Pemerintah pun menganggap tak perlu dicari
pemecahannya.
Subsidi sebetulnya bukan sesuatu yang haram.
Subsidi bukan sebuah kejahatan. Bahkan subsidi menjadi keharusan sebagai bagian
dari tugas negara untuk mengentaskan mereka yang miskin. Subsidi merupakan hal
yang lazim di negara-negara kesejahteraan (welfare state). Tetapi, di
negara liberal dan pro-pasar, subsidi juga tetap diberikan. Pemberian subsidi
sangat ketat, melewati proses seleksi yang amat meletihkan, dan antre dalam
kurun waktu tertentu. Untuk melihat apakah subsidi digunakan sebagaimana
mestinya untuk meraih kesejahteraan, secara rutin petugas mendatangi sasaran
subsidi, mencatat, dan melakukan inspeksi apakah betul penerima subsidi masih
layak dibantu.
Ada sejumlah pelajaran dari pemberian subsidi
di negara maju (Kasali, 2012). Pertama, subsidi tidak boleh menjadi alat
mendongkrak popularitas pemimpin, baik itu para politikus maupun penguasa.
Kedua, subsidi disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi dengan prinsip good
governance. Ketiga, subsidi tidak boleh dilakukan secara massal, apalagi
bila subsidi bisa menjadi substitusi bagi masyarakat yang kaya untuk mengambil
hak kaum papa. Keempat, subsidi diberikan secara selektif, dan dibatasi.
Kelima, subsidi dilakukan dengan pendampingan cukup. Artinya selain untuk
pengecekan kelayakan, barang subsidi juga tidak boleh untuk digunakan di luar
dari yang seharusnya.
Bagaimana subsidi di Indonesia? Sebagian
besar mekanisme subsidi bersifat terbuka. Ada dua konsekuensi skema subsidi
semacam ini. Pertama, efektivitas subsidi rendah. Kedua, sebagai akibatnya,
subsidi sebagai alat pemerataan dan sarana menegakkan keadilan tidak tercapai.
Subsidi BBM, misalnya, bisa dinikmati secara bebas, baik oleh orang kaya maupun
miskin, baik untuk kerja maupun aktivitas pelesiran. Selain itu, cakupan
subsidi kecil, dan kelembagaannya tidak didesain dengan baik. Yang celaka,
tidak pernah ada check dan recheck apakah subsidi mencapai
sasaran dan digunakan sebagaimana layaknya. Ini terjadi pada banyak subsidi,
salah satunya Bantuan Langsung Tunai. Karena karakteristik semacam itu, subsidi
tidak hanya bersifat sementara, ad hoc, dan fragmentaris, tetapi juga
selalu dimuati nafsu politik untuk menjaga popularitas.
Rakyat yang buta akan logika ekonomi yang
amat rumit tetapi paham ukuran-ukuran keadilan pasti akan memprotes kebijakan
subsidi yang sangat tidak adil. Rencana menaikkan harga BBM untuk mencabut
subsidi pasti berakibat pada kenaikan harga-harga umum. Hal itu pasti
memberatkan kehidupan rakyat. Tetapi meneruskan pemberian subsidi kepada
orang-orang kaya eks-konglomerat, segelintir perbankan, bahkan dari asing, yang
jumlahnya luar biasa besar, akan menjadi tragedi nasional yang menusuk hati
rakyat. Sebagai pengemudi negara, pemerintah bisa menjadi tertuduh atas
ketidakadilan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar