Menemukan
Orientasi Pendidikan Kita
Dion Pare, Peminat Masalah Pendidikan
SUMBER : KORAN TEMPO, 19 April 2012
Pendidikan kita berjalan penuh dengan
kerancuan atau, lebih tepat, kebingungan (confusion). Kerancuan itu
terjadi karena pendidikan kita (formal) diberi tanggung jawab (beban) untuk
memenuhi tiga misi sekaligus: pengembangan intelektual, pembentukan watak, dan
pembentukan tenaga kerja. Karena tidak ada visi yang jelas dalam mengelola
lembaga pendidikan formal, pelaksanaannya di lapangan menimbulkan kebingungan.
Kerancuan itu membuat pada satu waktu kita
berbicara tentang pembentukan karakter, pada saat lain tentang pengembangan
ilmu, lalu soal tenaga kerja. Ada kesan, ketiga hal itu tidak bisa disatukan
dalam satu kegiatan. Visi tentang keterkaitan antara ketiganya tidak pernah
dibuat jelas atau menjadi jelas di kalangan para teoretisi dan praktisi
pendidikan.
Tulisan ini mencoba menjernihkan kebingungan
pendidikan dengan memperlihatkan hubungan antara ketiga tujuan di atas. Penulis
memulainya dengan mengambil contoh dalam sejarah kehidupan orang Indonesia dan
kemudian menunjukkan di mana dasar atau ke mana orientasi pendidikan
seharusnya.
Drost (2006) mengatakan, pembentukan moral
orang muda hanya mungkin terjadi lewat interaksi informalnya dengan lingkungan
hidupnya. Peran utama dalam hal moral berada di tangan orang tua atau keluarga.
Keluarga mengajarkan berbagai nilai moral, perilaku, dan sikap. Di luar itu,
masyarakat turut membantu. Salah satu bantuan masyarakat adalah pembentukan
intelektualnya. Untuk tugas itu, sekolah berperan. Proses mengajar-belajar atau
pembelajaran membantu pelajar mengembangkan potensi intelektual yang ada
padanya. Tujuan utama pengajaran ialah agar intelektualitas setiap pelajar
berkembang sepenuhnya sesuai dengan talenta.
Dikatakannya pula bahwa, lewat proses
pembelajaran itu, nilai-nilai ditanamkan, namun bukan melalui penyampaian
materi pengajaran tentang watak atau budi pekerti, melainkan melalui interaksi
yang dikembangkan antara pengajar dan pelajar. Pengajar yang mengajar membentuk
manusia muda menjadi pribadi dewasa merupakan kunci dalam proses pembelajaran.
Guru yang mengajarkan mata ajarannya membentuk manusia dewasa.
Satu contoh pendidikan intelektual yang
berdampak pada pembentukan watak dikemukakan oleh Prof Dr Slamet Iman Santoso.
Pendiri Fakultas Psikologi UI itu bertutur tentang pendidikan yang diperolehnya
dari zaman penjajahan, yang sering diberi cap "intelektualistis".
Pria kelahiran Kejajar, Dieng, 7 September 1907, itu mulai bersekolah pada 1913
dan menyelesaikan pendidikan kedokteran (STOVIA) di Jakarta pada 1932. Selain
menduduki berbagai jabatan, ia dikenal sebagai pendiri Fakultas Psikologi UI
pada 1961.
Dalam refleksinya, ia menemukan bahwa
pendidikan yang dijalaninya itu bertujuan membentuk kemampuan intelektual untuk
"menguasai pengetahuan dan ilmu pengetahuan" (Santoso, 1987). Namun
ia merasakan bahwa, melalui proses pendidikan itu, terjadi pula "proses mendidik
watak" (behavior formation) tanpa kata. Hasil dari proses itu
adalah "kebiasaan membaca sendiri (reading habits), belajar
mengerti sendiri, berusaha mengulangi soal yang lampau (memory training),
memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada diri sendiri, tidak membutuhkan backing
oleh siapa pun, menjadi mandiri, jujur, terbuka, mengetahui batas
kemampuan".
Ia berkata, hasil sampingan dari
"pendidikan intelektualistis" adalah bahwa "kita menjadi manusia
dengan beberapa sifat watak". Ia mendapatkan sejumlah keterampilan dari
pendidikan yang diterimanya, yaitu keterampilan menulis, komunikasi sosial, dan
kemampuan memahami konsep-konsep secara jelas, singkat, serta tepat. Ia
merasakan manfaatnya dalam hal kedisiplinan, ketertiban, dan hemat.
Hal-hal ini terbentuk justru melalui
interaksi dengan para guru yang berkualitas tinggi. Tentang para gurunya, ia
menulis, "Guru datang lebih dini dan pulang paling akhir. Siswa tidak
berbicara keras atau berkata-kata kasar atau kotor. Para guru mengerti jiwa
anak dan membimbing jiwa tersebut dengan penuh ikut merasakan, ke arah disiplin
yang dikehendaki. Mereka umumnya bertindak adil dan berwibawa tanpa paksaan.
Mau tidak mau, kita merasa mereka benar dan kita nakal atau salah." Karena
dilatih sekian lama (7 tahun), hal itu menjadi kebiasaan sepanjang perjalanan
hidup. Pendidikan seperti itulah, katanya, yang melahirkan para pendiri bangsa
ini. Satu-satunya kritik adalah bahwa pendidikan semacam itu tidak
diperuntukkan bagi semua, tetapi hanya untuk sekelompok elite.
Uraian di atas tampaknya menegaskan kembali
kebenaran yang dituturkan oleh Plato dan Aristoteles bahwa moral tidak bisa
diajarkan. Moral terbentuk melalui praktek, bimbingan, atau cara tertentu, yang
berlangsung "secara misterius" (Adler, 1988). Tugas pendidikan adalah
menanamkan kebiasaan berpikir yang baik (intellectual virtue). Orang
lebih memahami, memiliki pengetahuan, dan mencapai kebijaksanaan. Proses itu
membantu orang untuk terbiasa (habitual) membuat pilihan yang baik
tentang tujuan dan sarananya (moral virtue).
Pendidikan menekankan proses pembelajaran
untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Pendidikan semacam itu pun bermanfaat
dalam urusan praktis. Kemampuan berpikir merupakan hal-hal yang mendasar (the
basic) untuk menghadapi berbagai persoalan dalam dunia yang terus berubah
(Buchori, 1997).
Dunia yang terus berubah tidak bisa dihadapi
dengan pengetahuan positif yang segera menjadi kedaluwarsa (Soedjatmoko, 1991).
Hal yang terlalu praktis dan berjangka pendek tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan baru. Mantan rektor termuda dari Chicago University, Robert
M. Hutchins (1967), berkata bahwa semakin maju suatu masyarakat dalam hal
teknologi, semakin kurang bermanfaat pendidikan yang berpretensi praktis.
"Pendidikan yang paling praktis
adalah pendidikan yang paling teoretis." Dalam hal keterampilan kerja,
orang bisa mengikuti suatu pelatihan dalam waktu yang relatif singkat atau on-the-job
training. Karena itu, kita perlu mengkaji ulang orientasi pendidikan kita
secara serius. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar