Jumat, 20 April 2012

Menemukan Orientasi Pendidikan Kita

Menemukan Orientasi Pendidikan Kita
Dion Pare, Peminat Masalah Pendidikan
SUMBER : KORAN TEMPO, 19 April 2012


Pendidikan kita berjalan penuh dengan kerancuan atau, lebih tepat, kebingungan (confusion). Kerancuan itu terjadi karena pendidikan kita (formal) diberi tanggung jawab (beban) untuk memenuhi tiga misi sekaligus: pengembangan intelektual, pembentukan watak, dan pembentukan tenaga kerja. Karena tidak ada visi yang jelas dalam mengelola lembaga pendidikan formal, pelaksanaannya di lapangan menimbulkan kebingungan.
Kerancuan itu membuat pada satu waktu kita berbicara tentang pembentukan karakter, pada saat lain tentang pengembangan ilmu, lalu soal tenaga kerja. Ada kesan, ketiga hal itu tidak bisa disatukan dalam satu kegiatan. Visi tentang keterkaitan antara ketiganya tidak pernah dibuat jelas atau menjadi jelas di kalangan para teoretisi dan praktisi pendidikan.

Tulisan ini mencoba menjernihkan kebingungan pendidikan dengan memperlihatkan hubungan antara ketiga tujuan di atas. Penulis memulainya dengan mengambil contoh dalam sejarah kehidupan orang Indonesia dan kemudian menunjukkan di mana dasar atau ke mana orientasi pendidikan seharusnya.

Drost (2006) mengatakan, pembentukan moral orang muda hanya mungkin terjadi lewat interaksi informalnya dengan lingkungan hidupnya. Peran utama dalam hal moral berada di tangan orang tua atau keluarga. Keluarga mengajarkan berbagai nilai moral, perilaku, dan sikap. Di luar itu, masyarakat turut membantu. Salah satu bantuan masyarakat adalah pembentukan intelektualnya. Untuk tugas itu, sekolah berperan. Proses mengajar-belajar atau pembelajaran membantu pelajar mengembangkan potensi intelektual yang ada padanya. Tujuan utama pengajaran ialah agar intelektualitas setiap pelajar berkembang sepenuhnya sesuai dengan talenta.

Dikatakannya pula bahwa, lewat proses pembelajaran itu, nilai-nilai ditanamkan, namun bukan melalui penyampaian materi pengajaran tentang watak atau budi pekerti, melainkan melalui interaksi yang dikembangkan antara pengajar dan pelajar. Pengajar yang mengajar membentuk manusia muda menjadi pribadi dewasa merupakan kunci dalam proses pembelajaran. Guru yang mengajarkan mata ajarannya membentuk manusia dewasa.

Satu contoh pendidikan intelektual yang berdampak pada pembentukan watak dikemukakan oleh Prof Dr Slamet Iman Santoso. Pendiri Fakultas Psikologi UI itu bertutur tentang pendidikan yang diperolehnya dari zaman penjajahan, yang sering diberi cap "intelektualistis". Pria kelahiran Kejajar, Dieng, 7 September 1907, itu mulai bersekolah pada 1913 dan menyelesaikan pendidikan kedokteran (STOVIA) di Jakarta pada 1932. Selain menduduki berbagai jabatan, ia dikenal sebagai pendiri Fakultas Psikologi UI pada 1961.

Dalam refleksinya, ia menemukan bahwa pendidikan yang dijalaninya itu bertujuan membentuk kemampuan intelektual untuk "menguasai pengetahuan dan ilmu pengetahuan" (Santoso, 1987). Namun ia merasakan bahwa, melalui proses pendidikan itu, terjadi pula "proses mendidik watak" (behavior formation) tanpa kata. Hasil dari proses itu adalah "kebiasaan membaca sendiri (reading habits), belajar mengerti sendiri, berusaha mengulangi soal yang lampau (memory training), memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada diri sendiri, tidak membutuhkan backing oleh siapa pun, menjadi mandiri, jujur, terbuka, mengetahui batas kemampuan".

Ia berkata, hasil sampingan dari "pendidikan intelektualistis" adalah bahwa "kita menjadi manusia dengan beberapa sifat watak". Ia mendapatkan sejumlah keterampilan dari pendidikan yang diterimanya, yaitu keterampilan menulis, komunikasi sosial, dan kemampuan memahami konsep-konsep secara jelas, singkat, serta tepat. Ia merasakan manfaatnya dalam hal kedisiplinan, ketertiban, dan hemat.

Hal-hal ini terbentuk justru melalui interaksi dengan para guru yang berkualitas tinggi. Tentang para gurunya, ia menulis, "Guru datang lebih dini dan pulang paling akhir. Siswa tidak berbicara keras atau berkata-kata kasar atau kotor. Para guru mengerti jiwa anak dan membimbing jiwa tersebut dengan penuh ikut merasakan, ke arah disiplin yang dikehendaki. Mereka umumnya bertindak adil dan berwibawa tanpa paksaan. Mau tidak mau, kita merasa mereka benar dan kita nakal atau salah." Karena dilatih sekian lama (7 tahun), hal itu menjadi kebiasaan sepanjang perjalanan hidup. Pendidikan seperti itulah, katanya, yang melahirkan para pendiri bangsa ini. Satu-satunya kritik adalah bahwa pendidikan semacam itu tidak diperuntukkan bagi semua, tetapi hanya untuk sekelompok elite.

Uraian di atas tampaknya menegaskan kembali kebenaran yang dituturkan oleh Plato dan Aristoteles bahwa moral tidak bisa diajarkan. Moral terbentuk melalui praktek, bimbingan, atau cara tertentu, yang berlangsung "secara misterius" (Adler, 1988). Tugas pendidikan adalah menanamkan kebiasaan berpikir yang baik (intellectual virtue). Orang lebih memahami, memiliki pengetahuan, dan mencapai kebijaksanaan. Proses itu membantu orang untuk terbiasa (habitual) membuat pilihan yang baik tentang tujuan dan sarananya (moral virtue).

Pendidikan menekankan proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Pendidikan semacam itu pun bermanfaat dalam urusan praktis. Kemampuan berpikir merupakan hal-hal yang mendasar (the basic) untuk menghadapi berbagai persoalan dalam dunia yang terus berubah (Buchori, 1997).

Dunia yang terus berubah tidak bisa dihadapi dengan pengetahuan positif yang segera menjadi kedaluwarsa (Soedjatmoko, 1991). Hal yang terlalu praktis dan berjangka pendek tidak mampu menjawab persoalan-persoalan baru. Mantan rektor termuda dari Chicago University, Robert M. Hutchins (1967), berkata bahwa semakin maju suatu masyarakat dalam hal teknologi, semakin kurang bermanfaat pendidikan yang berpretensi praktis. "Pendidikan yang paling praktis adalah pendidikan yang paling teoretis." Dalam hal keterampilan kerja, orang bisa mengikuti suatu pelatihan dalam waktu yang relatif singkat atau on-the-job training. Karena itu, kita perlu mengkaji ulang orientasi pendidikan kita secara serius. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar