Antisipasi
Ancaman pada Ekspor
Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Ilmu Ekonomi di UGM
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012
Krisis global mulai berpengaruh terhadap
kinerja ekspor Indonesia. Kendati total neraca perdagangan Indonesia pada
Februari 2012 surplus 0,7 miliar dollar AS, neraca perdagangan nonmigas hanya
surplus 0,9 miliar dollar AS dan neraca perdagangan migas defisit 0,2 miliar
dollar AS.
Ada beberapa faktor utama di balik turunnya
kinerja perdagangan ini. Pertama, ekspor nonmigas Februari 2012 mencapai 12,34
miliar dollar AS atau turun 0,70 persen dibandingkan dengan Januari 2012.
Selama 2011-2012, ekspor nonmigas yang turun meliputi industri, pertanian, dan
pertambangan. Produk persusuan (turun hingga 41 persen), diikuti produk
tembaga, kapas, karet dan barang dari karet, kopi-teh-rempah, besi dan baja,
kimia organik, pupuk, aluminium, gelas dan peralatannya, keramik, pulp dan
limbahnya, mainan dan peralatan olahraga, tembakau, kertas, serta pakaian.
Permintaan negara maju mitra dagang utama
Indonesia (AS, Uni Eropa, Jepang) turun karena resesi. Akibatnya, para
eksportir dan pebisnis Indonesia mulai menggarap pasar lain, terutama China.
Ekspor nonmigas Indonesia ke China meningkat
pesat pada 2009-2011. Februari 2012 ekspor ke China mencapai 1,58 miliar dollar
AS, disusul Jepang (1,48 miliar dollar AS), Amerika Serikat (1,20 miliar dollar
AS), dan Uni Eropa (1,50 miliar dollar AS). Ekspor nonmigas Indonesia ke China
didominasi komoditas pertanian (kelapa sawit, kopra, karet) serta pertambangan
(batubara, nikel, aluminium).
Kedua, apresiasi kurs rupiah selama 2011
menurunkan ekspor nonmigas yang padat karya. Kurs rupiah terhadap dollar AS
sempat menguat hingga Rp 8.508 (Juli 2011), terkuat di bawah Presiden SBY.
Ketiga, menurunnya ekspor nonmigas karena
banyak perusahaan yang tutup akibat krisis global ataupun kalah bersaing dengan
produk serupa negara lain. Sejak tahun 2000, China dan Vietnam mengungguli
Indonesia—terutama 30 besar komoditas ekspor nonmigas kita, termasuk tekstil,
furnitur, garmen, dan sepatu. Menurut survei Kementerian Perindustrian, 2011,
hanya 7 persen produk manufaktur Indonesia yang kuat melawan China.
Keempat, impor Indonesia pada Februari 2012
naik 2,74 persen atau 14,95 miliar dollar AS dibandingkan dengan Januari 2012
yang besarnya 14,55 miliar dollar AS. Impor nonmigas Februari 2012 malah turun
0,65 persen dibandingkan dengan Januari 2012, dari 11,54 miliar dollar AS
menjadi 11,46 miliar dollar AS. Namun, impor migas naik pada Februari
dibandingkan dengan Januari 2012, yakni sebesar 15,68 persen atau 3,49 miliar
dollar AS dari 3,42 miliar dollar AS.
Reorientasi
Kebijakan
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan,
tahun 2012 prioritas Kementerian Perdagangan mencakup peningkatan ekspor dan
peningkatan daya beli masyarakat. Kebijakan perdagangan luar negeri diarahkan
pada peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas. Peningkatan daya saing itu
melalui diversifikasi pasar dan produk serta peningkatan kualitas, didukung
stabilitas harga, kelancaran arus barang, dan iklim usaha.
Masalah mendasar perdagangan kita adalah
menurunnya kinerja perdagangan dan lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia.
Pemerintah perlu menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan rumah” terkait dengan rantai
ekspor dan sejumlah faktor penyebab ekonomi biaya tinggi.
Pertama, biaya mengurus kontainer di
pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih ditambah biaya parkir dan
lewat kontainer yang memberatkan. Asosiasi Logistik Indonesia menyebut biaya
logistik di Indonesia mengganggu daya saing Indonesia dalam perdagangan
internasional karena sebesar 25-30 persen dari produk domestik bruto.
Kedua, biaya pungutan liar (pungli) yang
minimal 7,5 persen dari biaya ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang,
jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perizinan, baik di pusat maupun daerah.
Ketiga, industri Indonesia menghadapi masalah
masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen
untuk seluruh industri, sebesar 28-90 persen. Masalah industri lainnya mencakup
lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak
yang bertipe ”tukang jahit” dan ”tukang rakit”.
Keempat, studi Mudrajad Kuncoro (2011) dan
Tri Widodo (2009) menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif kelompok
produk. Pola keunggulan komparatif ASEAN ternyata mengikuti Jepang karena: (1)
ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk tradisional
yang berbasis pertanian dan sumber daya alam; (2) penanaman modal asing
langsung Jepang ke ASEAN mengikuti pola ”angsa terbang” sehingga terjadi
perubahan spesialisasi dari berbasis buruh murah menjadi berbasis tenaga kerja
terampil dan teknologi.
Kelima, karena 80 persen ekspor nonmigas
adalah produk industri manufaktur, pembangunan industri perlu diarahkan untuk:
(1) mewujudkan industri yang berdaya saing; (2) mengaitkan pengembangan
industri kecil dan menengah; (3) menciptakan struktur industri yang sehat; (4)
pengembangan industri di luar Jawa.
Keenam, hingga 2010 Indonesia telah menghapus
93,39 persen pos tarif (6.683 dari 7.156 pos tarif di jalur normal) dan 100
persen tahun 2012. Namun, Indonesia menghadapi dua jalur sensitif, yakni daftar
sensitif (sensitive list) dan daftar sangat sensitif (highly sensitive list).
Ada 304 produk yang masuk dalam kelompok
daftar sensitif (HS 6 digit), yakni (1) barang jadi kulit (tas, dompet); (2)
alas kaki (sepatu sport, kasual, kulit); (3) kacamata; (4) alat musik (tiup,
petik, gesek); (5) mainan-boneka; (6) alat olahraga; (7) alat tulis; (8) besi
dan baja; (9) spare part; (10) alat angkut; (11) glokasida dan alkaloid nabati;
(12) senyawa organik; (13) antibiotik; (14) kaca; serta (15) barang-barang
plastik. Sementara produk yang masuk kategori daftar sangat sensitif ada 47
produk (HS 6 digit), yakni (1) pertanian, seperti beras, gula, jagung, dan
kedelai; (2) industri tekstil dan produk tekstil; (3) otomotif; dan (4) ceramic
tableware. Hal yang harus diperhatikan adalah bea masuk bagi produk-produk
tersebut.
Indonesia juga harus bersiap menyongsong
tahapan keunggulan komparatif yang lebih tinggi, yaitu ke sektor padat
teknologi dan padat tenaga ahli yang justru menanjak pertumbuhannya (setidaknya
pertumbuhan nilai ekspornya 50 persen dan nilai ekspornya minimum 100 juta
dollar AS). Di antara produk ekspor yang naik daun adalah barang-barang
elektronik, kimia, dan mesin non-elektronik, termasuk peralatan telekomunikasi
serta komputer dan komponennya. Menariknya, hampir semua produk tersebut
memiliki rasio impor kurang dari 1 yang menunjukkan betapa produk-produk
tersebut tidak memiliki kadar kandungan impor yang tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar