Senin, 16 April 2012

Antisipasi Ancaman pada Ekspor


Antisipasi Ancaman pada Ekspor
Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Ilmu Ekonomi di UGM
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012


Krisis global mulai berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia. Kendati total neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2012 surplus 0,7 miliar dollar AS, neraca perdagangan nonmigas hanya surplus 0,9 miliar dollar AS dan neraca perdagangan migas defisit 0,2 miliar dollar AS.

Ada beberapa faktor utama di balik turunnya kinerja perdagangan ini. Pertama, ekspor nonmigas Februari 2012 mencapai 12,34 miliar dollar AS atau turun 0,70 persen dibandingkan dengan Januari 2012. Selama 2011-2012, ekspor nonmigas yang turun meliputi industri, pertanian, dan pertambangan. Produk persusuan (turun hingga 41 persen), diikuti produk tembaga, kapas, karet dan barang dari karet, kopi-teh-rempah, besi dan baja, kimia organik, pupuk, aluminium, gelas dan peralatannya, keramik, pulp dan limbahnya, mainan dan peralatan olahraga, tembakau, kertas, serta pakaian.

Permintaan negara maju mitra dagang utama Indonesia (AS, Uni Eropa, Jepang) turun karena resesi. Akibatnya, para eksportir dan pebisnis Indonesia mulai menggarap pasar lain, terutama China.

Ekspor nonmigas Indonesia ke China meningkat pesat pada 2009-2011. Februari 2012 ekspor ke China mencapai 1,58 miliar dollar AS, disusul Jepang (1,48 miliar dollar AS), Amerika Serikat (1,20 miliar dollar AS), dan Uni Eropa (1,50 miliar dollar AS). Ekspor nonmigas Indonesia ke China didominasi komoditas pertanian (kelapa sawit, kopra, karet) serta pertambangan (batubara, nikel, aluminium).

Kedua, apresiasi kurs rupiah selama 2011 menurunkan ekspor nonmigas yang padat karya. Kurs rupiah terhadap dollar AS sempat menguat hingga Rp 8.508 (Juli 2011), terkuat di bawah Presiden SBY.

Ketiga, menurunnya ekspor nonmigas karena banyak perusahaan yang tutup akibat krisis global ataupun kalah bersaing dengan produk serupa negara lain. Sejak tahun 2000, China dan Vietnam mengungguli Indonesia—terutama 30 besar komoditas ekspor nonmigas kita, termasuk tekstil, furnitur, garmen, dan sepatu. Menurut survei Kementerian Perindustrian, 2011, hanya 7 persen produk manufaktur Indonesia yang kuat melawan China.

Keempat, impor Indonesia pada Februari 2012 naik 2,74 persen atau 14,95 miliar dollar AS dibandingkan dengan Januari 2012 yang besarnya 14,55 miliar dollar AS. Impor nonmigas Februari 2012 malah turun 0,65 persen dibandingkan dengan Januari 2012, dari 11,54 miliar dollar AS menjadi 11,46 miliar dollar AS. Namun, impor migas naik pada Februari dibandingkan dengan Januari 2012, yakni sebesar 15,68 persen atau 3,49 miliar dollar AS dari 3,42 miliar dollar AS.

Reorientasi Kebijakan

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, tahun 2012 prioritas Kementerian Perdagangan mencakup peningkatan ekspor dan peningkatan daya beli masyarakat. Kebijakan perdagangan luar negeri diarahkan pada peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas. Peningkatan daya saing itu melalui diversifikasi pasar dan produk serta peningkatan kualitas, didukung stabilitas harga, kelancaran arus barang, dan iklim usaha.

Masalah mendasar perdagangan kita adalah menurunnya kinerja perdagangan dan lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia. Pemerintah perlu menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan rumah” terkait dengan rantai ekspor dan sejumlah faktor penyebab ekonomi biaya tinggi.

Pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang memberatkan. Asosiasi Logistik Indonesia menyebut biaya logistik di Indonesia mengganggu daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional karena sebesar 25-30 persen dari produk domestik bruto.

Kedua, biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5 persen dari biaya ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perizinan, baik di pusat maupun daerah.

Ketiga, industri Indonesia menghadapi masalah masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri, sebesar 28-90 persen. Masalah industri lainnya mencakup lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe ”tukang jahit” dan ”tukang rakit”.

Keempat, studi Mudrajad Kuncoro (2011) dan Tri Widodo (2009) menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif kelompok produk. Pola keunggulan komparatif ASEAN ternyata mengikuti Jepang karena: (1) ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk tradisional yang berbasis pertanian dan sumber daya alam; (2) penanaman modal asing langsung Jepang ke ASEAN mengikuti pola ”angsa terbang” sehingga terjadi perubahan spesialisasi dari berbasis buruh murah menjadi berbasis tenaga kerja terampil dan teknologi.

Kelima, karena 80 persen ekspor nonmigas adalah produk industri manufaktur, pembangunan industri perlu diarahkan untuk: (1) mewujudkan industri yang berdaya saing; (2) mengaitkan pengembangan industri kecil dan menengah; (3) menciptakan struktur industri yang sehat; (4) pengembangan industri di luar Jawa.

Keenam, hingga 2010 Indonesia telah menghapus 93,39 persen pos tarif (6.683 dari 7.156 pos tarif di jalur normal) dan 100 persen tahun 2012. Namun, Indonesia menghadapi dua jalur sensitif, yakni daftar sensitif (sensitive list) dan daftar sangat sensitif (highly sensitive list).

Ada 304 produk yang masuk dalam kelompok daftar sensitif (HS 6 digit), yakni (1) barang jadi kulit (tas, dompet); (2) alas kaki (sepatu sport, kasual, kulit); (3) kacamata; (4) alat musik (tiup, petik, gesek); (5) mainan-boneka; (6) alat olahraga; (7) alat tulis; (8) besi dan baja; (9) spare part; (10) alat angkut; (11) glokasida dan alkaloid nabati; (12) senyawa organik; (13) antibiotik; (14) kaca; serta (15) barang-barang plastik. Sementara produk yang masuk kategori daftar sangat sensitif ada 47 produk (HS 6 digit), yakni (1) pertanian, seperti beras, gula, jagung, dan kedelai; (2) industri tekstil dan produk tekstil; (3) otomotif; dan (4) ceramic tableware. Hal yang harus diperhatikan adalah bea masuk bagi produk-produk tersebut.

Indonesia juga harus bersiap menyongsong tahapan keunggulan komparatif yang lebih tinggi, yaitu ke sektor padat teknologi dan padat tenaga ahli yang justru menanjak pertumbuhannya (setidaknya pertumbuhan nilai ekspornya 50 persen dan nilai ekspornya minimum 100 juta dollar AS). Di antara produk ekspor yang naik daun adalah barang-barang elektronik, kimia, dan mesin non-elektronik, termasuk peralatan telekomunikasi serta komputer dan komponennya. Menariknya, hampir semua produk tersebut memiliki rasio impor kurang dari 1 yang menunjukkan betapa produk-produk tersebut tidak memiliki kadar kandungan impor yang tinggi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar