Ekonomi
Perikanan
dan
Identitas Benua Maritim
Bustanul Arifin, Guru Besar Unila dan Ekonom
Senior Indef, Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012
Ekonomi perikanan Indonesia menghadapi ujian
berat setelah berbagai faktor eksternal kian sulit ditanggulangi nelayan. Di
tingkat makro, pencurian ikan oleh kapal asing dan fenomena penangkapan ikan
yang berlebihan (overfishing)
di beberapa zona tangkap di perairan Indonesia akan mengurangi hasil tangkapan,
menambah biaya produksi, serta akan menurunkan pendapatan rumah tangga dan
kesejahteraan nelayan.
Persoalan klasik di tingkat mikro, mulai dari
sarana produksi hingga penguasaan alat tangkap, masih belum dapat diselesaikan
sepenuhnya. Akses permodalan bagi nelayan terhadap sumber pendanaan usaha
perikanan tangkap dan perikanan budidaya juga masih rendah. Belum banyak berubah
dari keadaan pada masa Orde Baru.
Perubahan iklim yang membuat kondisi cuaca
kian sulit diduga dan sering tidak bersahabat juga menyulitkan nelayan.
Fenomena terkini adalah wacana kenaikan harga bahan bakar minyak yang telah
melonjakkan harga solar di kawasan pesisir.
Tingkat kesejahteraan nelayan, yang secara
kasar tergambar melalui nilai tukar nelayan (NTN), cenderung turun sejak Juni
2011. NTN Maret 2012 yang sedikit naik menjadi 105,22 tentu masih jauh
dibandingkan dengan NTN Juni 2011 sebesar 106,81.
Sektor perikanan adalah salah satu andalan
pada strategi pembangunan ekonomi berbasis benua maritim (maritime-continent
based economy) yang coba digulirkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada masa jabatan kedua ini. Presiden tentu paham, perubahan strategi
pembangunan ekonomi yang cukup radikal ini pasti tidak mudah dilaksanakan.
Perubahan ini masih memerlukan teladan dari
pemimpin dan politisi untuk mengubah pola pikir sangat signifikan. Misalnya, di
tingkat lapangan, nelayan membutuhkan intervensi kebijakan dan langkah
afirmatif yang dapat segera langsung dirasakan manfaatnya, setidaknya mampu
menghela persoalan kehidupan nelayan yang semakin sulit.
Rekam jejak (track
record) nelayan dan sektor pertanian Indonesia sebenarnya baik. Nelayan
memiliki karakter budaya maritim yang lebih lugas, terbuka, adaptif terhadap
perubahan, tangguh, dan tidak gampang mengeluh.
Walaupun nelayan tidak menerima subsidi dan
bantuan langsung sebesar yang diterima petani, pekebun, dan peternak, mereka
tidak cengeng dan terus melaut menyambung hidup. Budaya maritim lebih
demokratis, tidak memaksakan kehendak, saling menghargai antarwarga negara, dan
sebagainya.
Sektor perikanan adalah satu-satunya sektor
dalam lingkup pertanian yang mencapai laju pertumbuhan tertinggi, stabil di
atas 5 persen per tahun, ketika semua sektor ekonomi mengalami kontraksi pada
krisis moneter 1998. Sektor perikanan memang pernah bermasalah pada awal era
otonomi daerah karena koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah masih belum menemukan bentuk terbaiknya dan terdapat gangguan diplomasi
ekonomi pada tingkat perdagangan internasional.
Kasus udang yang dipersulit masuk Amerika
Serikat karena mengganggu kehidupan penyu hijau sempat memengaruhi kinerja
sektor perikanan. Kontroversi manajemen perikanan budidaya udang skala besar di
Lampung yang melibatkan konglomerat besar dan bermasalah juga sempat menekan
pertumbuhan perikanan sampai 4 persen.
Pada saat krisis ekonomi 2008 pun, kinerja
sektor perikanan tetap stabil di atas 5 persen per tahun karena secara hakikat
sektor ini memang cukup tangguh dan strategis. Produksi perikanan tangkap tahun
2010 mencapai 5,4 juta ton. Naik 7,87 persen dari produksi 5,0 juta ton tahun
2009.
Capaian total produksi masih berkisar 10 juta
ton karena produksi perikanan budidaya masih sedikit di bawah 5 juta ton.
Permasalahan teknis budidaya, sosial-ekonomis, dan lingkungan hidup di sektor
ini tidak dapat dipecahkan secara baik segera.
Beberapa jalan keluar yang harus segera
diambil untuk memajukan ekonomi perikanan dan kehidupan nelayan adalah sebagai
berikut.
Pertama, segera identifikasi dan tentukan
prioritas memetakan potensi perikanan budidaya yang mencapai 8,3 juta hektar
untuk budidaya laut, 2,2 juta hektar untuk budidaya air tawar, serta 1,3 juta
hektar untuk budidaya air umum, payau, dan lainnya. Pemerintah pusat memberikan
panduan/direktif umum bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang perlu
mengembangkan potensi itu sesuai kapasitasnya.
Kedua, reformasi birokrasi, perbaikan
kelembagaan, dan peningkatan kapasitas administrasi pemerintahan harus sampai
ke tingkat daerah. Para abdi negara dituntut untuk mampu dan peduli terhadap
kondisi lapangan, seperti kecukupan dan kualitas pakan, teknik budidaya,
dukungan permodalan dan pembiayaan, bukan sekadar mendata untuk kepentingan
proyek.
Ketiga, tindak lanjut nota kesepahaman antara
Gubernur Bank Indonesia serta Menteri Kelautan dan Perikanan dalam urusan
permodalan sektor perikanan. Misalnya, komitmen perbankan dalam Program Wira
Usaha Bahari melalui kredit usaha rakyat perlu lebih fleksibel di lapangan.
Petugas bank dituntut untuk lebih paham karakter sosial-ekonomi nelayan, yang
sebenarnya tangguh tersebut. Di sinilah urgensinya petugas pendamping
perikanan.
Keempat, bantuan permodalan khusus untuk kapal
nelayan dan sarana tangkap paling tidak mencapai bobot mati 10 ton ke atas agar
kapasitas tangkap naik signifikan. Nelayan bisa melaut lebih jauh, ke zona
ekonomi eksklusif dan perairan internasional.
Terakhir, di tingkat paling strategis,
perubahan visi dan budaya para pemimpin, untuk melihat lautan atau dunia
maritim sebagai sumber kemakmuran dan penghubung, bukan sebagai pemisah,
gugusan kepulauan yang tersebar di Nusantara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar