Pengelolaan
Keuangan Partai
Muhammad Aziz Hakim, Hakim Pengurus
PP GP Ansor
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012
Wakil rakyat yang terhormat paling fasih
menjelaskan mengenai transparansi dan akuntabilitas manakala bersinggungan
dengan isu-isu reformasi birokrasi. Padahal, partai politik sebagai ”rumah
asal” para wakil rakyat itu justru jauh dari kata transparan dan akuntabel,
terutama menyangkut keuangan partai.
Kehendak untuk memiliki partai yang
profesional, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan sudah lama
dikampanyekan, terutama oleh aktivis pemilu dan pemerhati partai politik.
Sayangnya, kampanye itu tak terjawab. Hal ini terbukti dengan regulasi yang tak
cukup memadai dalam konteks pengaturan keuangan partai.
Niat baik dari legislator tidak pernah muncul
manakala membahas pengelolaan keuangan partai. Isu ini kalah seksi ketimbang
ambang batas, sistem pemilu, dan sebagainya. Pembahasan RUU Pemilu yang mulai
masuk tahap akhir tidak memberikan ruang yang memadai dalam membahas
pengelolaan keuangan partai, dalam hal ini dana kampanye. Alhasil, keuangan
partai masih berada pada wilayah gelap yang sangat potensial menimbulkan
perilaku korup kader partai.
Keuangan partai dapat dibagi dalam dua
klasifikasi. Pertama, keuangan partai di luar dana kampanye yang diatur oleh UU
No 2/2008 tentang Partai Politik jo UU No 2/2011 tentang Perubahan UU No
2/2008. Kedua, dana kampanye partai yang diatur UU No 10/2008 tentang Pemilu
dan UU perubahan pemilu yang sebentar lagi disahkan.
Terdapat beberapa celah hukum dalam regulasi
yang mengatur pengelolaan keuangan partai tersebut. Pertama, tiadanya batasan
sumbangan anggota partai. Sumber keuangan partai adalah iuran anggota,
sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan APBN/APBD. Salah satu celah hukum
adalah ketentuan Pasal 35 Ayat (1) huruf (a) UU No 2/2008 yang mengategorikan
sumbangan perseorangan anggota partai termasuk dalam bagian sumbangan yang sah
menurut hukum. Sejatinya, ketentuan ini tidak bermasalah jika ada batasan
sumbangan yang diberikan. Ia jadi masalah karena pelaksanaannya diatur AD/ART
partai. Hal ini membuka peluang bagi anggota partai memberikan sumbangan secara
tidak terbatas.
Ketentuan hampir sama terdapat pada
pengaturan dana kampanye partai dalam UU No 10/2008. Sumber dana kampanye
berasal dari partai politik, calon dari partai bersangkutan, dan sumbangan yang
sah menurut hukum dari pihak lain (Pasal 129 Ayat 2). UU No 10/2008 hanya
mengatur pembatasan sumbangan dari pihak lain. Tak ada ketentuan eksplisit
mengenai pembatasan dana kampanye calon anggota legislatif. Hal inilah yang
mendorong calon anggota legislatif berlomba-lomba menghamburkan uang untuk
memperoleh suara, terutama ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu dengan
mekanisme perolehan suara terbanyak.
Kedua, laporan dana kampanye baru menyentuh
partai. Hal ini terkait desain sistem pemilu. Dengan sistem pemilu proporsional
daftar terbuka dan penentuan anggota legislatif dengan suara terbanyak,
ketentuan UU No 10/2008 mengenai laporan dana keuangan sudah tak memadai lagi.
UU ini sama sekali tak menyentuh laporan dana kampanye calon anggota legislatif
secara individu. Padahal, para calon itu lebih banyak mengeluarkan dana untuk kampanye
pribadinya dibandingkan dengan dana yang disumbangkan ke partai.
Ketiga, tak adanya sanksi yang berat terkait
hasil audit keuangan, bahkan jika audit keuangan mendapat opini ”tidak wajar”
atau bahkan ”pernyataan tidak memberikan pendapat”. Pasal 13 huruf i UU No
2/2011 mengatur mengenai kewajiban partai untuk melaporkan kepada pemerintah
mengenai penggunaan dana bantuan dari APBN/APBD.
Sanksi terhadap tidak adanya laporan
penggunaan dana ini adalah sanksi administratif berupa diberhentikannya dana
bantuan APBN/APBD kepada partai yang bersangkutan (Pasal 47 Ayat 3). Adapun
ketentuan mengenai audit keuangan partai diatur pada Pasal 34A yang memuat
mengenai mekanisme pelaporan dan audit keuangan. Baik UU No 2/2008 maupun UU No
2/2011 tidak mengatur mengenai sanksi berat atas hasil audit partai.
Terkait audit dana kampanye juga hampir sama:
tidak ada sanksi sekalipun mendapat opini ”tidak wajar” atau bahkan ”pernyataan
tidak memberikan pendapat”. Partai wajib melaporkan dana kampanye paling lama
15 hari sesudah pemungutan suara (Pasal 135 Ayat 1 UU No 10/2008). Sanksi
terhadap ketentuan ini adalah tidak ditetapkannya calon anggota legislatif
sebagai calon terpilih (Pasal 138 Ayat 3). Dengan ketentuan ini, manakala
sebuah partai sudah melaporkan penerimaan dan penggunaan dana kampanyenya,
sudah bebas dari sanksi tersebut, seburuk apa pun hasil audit terhadap dana
kampanye.
Partai akuntabel
Mengingat akar persoalan gelapnya pendanaan
partai terletak pada pengelolaan keuangan partai yang tidak akuntabel, perlu dilakukan
beberapa langkah. Pertama, restrukturisasi perangkat regulasi mengenai
pengelolaan keuangan partai. Celah-celah hukum harus ditutup dalam rangka
”memaksa” partai secara serius membenahi mekanisme pengelolaan keuangan
partainya. Harus ada regulasi yang mengatur batasan sumbangan anggota partai
ataupun calon anggota legislatif. Pelaporan dana kampanye partai juga harus
memuat laporan dana individual calon anggota legislatif. Selanjutnya, mekanisme
audit harus dirombak. Sudah saatnya pembuktian terbalik dalam audit keuangan
partai diterapkan.
Hal lain yang penting adalah adanya reward
and punishment terhadap hasil audit partai. Partai yang mendapat opini ”wajar
tanpa pengecualian” layak dihargai sebagai partai akuntabel. Sebaliknya, partai
yang mendapat opini ”tidak wajar” atau bahkan ”pernyataan tidak memberikan
pendapat” harus diberi sanksi berat. Jika terkait penggunaan dana APBN dan
terbukti ada korupsi sistemik, sanksi yang tepat adalah pembubaran partai yang
bersangkutan. Adapun menyangkut dana kampanye, sanksi yang tepat adalah
diskualifikasi semua calon anggota legislatif terpilih dari partai tersebut.
Kedua, mengoptimalkan potensi partai yang
ada. Salah satu sumber keuangan yang luput dari garapan partai adalah iuran
anggota. Tidak ada partai yang memiliki mekanisme baku dan profesional terhadap
penarikan iuran anggota. Padahal, jika potensi ini dioptimalkan, banyak manfaat
yang diperoleh, di antaranya rasa kepemilikan kader terhadap partai dan
tuntutan pengurus partai untuk transparan dalam mengelola iuran anggota
tersebut.
Ketiga, hemat, efektif, dan kreatif. Kampanye
partai adalah soal memasarkan ide dan gagasan partai dengan harapan banyak
orang yang tertarik dan pada akhirnya menjatuhkan pilihan kepada partai
tersebut. Artinya, kampanye adalah pemasaran alias marketing. Oleh karena itu,
penting bagi partai untuk merumuskan strategi efektif nan hemat dalam bentuk
program kreatif yang mampu menjawab kebutuhan rakyat.
Jika ketiga langkah ini dilakukan, partai
yang akuntabel, transparan, dan profesional bermunculan di negeri ini. Pada
akhirnya, tumbuhlah demokrasi sejati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar