Relevansi
Simbolisme ”Kayon” dalam Pembangunan Purnawan Andra ; Staf Direktorat Pengembangan dan
Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud |
KOMPAS,
07 Maret
2021
Kita mengenal ”kayon”, bentukan bahan kulit
yang melambangkan gunung dalam pewayangan itu. Di dalamnya tergambar pohonan
rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi menyembul dalam
ukiran yang renik: sesuatu yang teduh. Di kerimbunan yang agung itu, seperti hidup
sebuah wilayah kehidupan yang lain, yang berlangsung tenang dan syahdu—ada
burung merak di antara harimau, banteng dan kera, juga gapura dengan tempat
kunci berbentuk teratai. Simbolisme yang dikandungnya melampaui imaji yang
kerap dibayangkan tentang kualitas hidup secara horisontal dan vertikal. Gambaran itu kerap membawa kita
membayangkan tentang Indonesia, zamrud khatulistiwa yang begitu indah, subur,
dan kaya. Ia adalah tanah surga di mana ”Tongkat kayu dan batu bisa jadi
tanaman. Ikan dan udang pun akan menghampiri”. Dalam pergelaran wayang, kayon dimainkan
dalang untuk menandai peristiwa penting. Ia juga dimainkan saat ada kenyataan
yang bertentangan dengan kehidupan manusia, keadaan yang tak henti-hentinya
berubah dan resah. Suatu saat kayon bisa bergerak sedemikian
rupa untuk menggambarkan kegelisahan alam: hujan badai, angin ribut, ataupun
gelegar halilintar. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip…. Manusia tengah
menghadapi sebuah peristiwa dramatis. Seperti kondisi Indonesia yang tengah
menghadapi berbagai macam bentuk bencana sejak awal tahun 2021 ini.
Kecelakaan pesawat, gunung berapi yang kembali aktif dan erupsi, gempa bumi,
hingga bencana alam banjir dan tanah longsor terjadi. Ratusan jiwa menjadi korban serta tak
terhitung kerugian moril dan materiil yang dialami. Kesemuanya itu
berlangsung ketika pandemi covid-19 masih terus meminta korban. Alam seperti sedang gelisah, tak jenak
sehingga terus bergerak dan beraktivitas. Bumi yang tadinya tenang, indah,
dan memesona dengan segala aktivitas dan bentang alamnya kini seperti tengah
merencanakan sesuatu yang tak pernah bisa kita duga. Anomali cuaca ekstrem, angin puting
beliung, hujan lebat berkepanjangan, hingga pergeseran lempeng bumi menjadi
aktivitas yang kadang tak terdeteksi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun, banyaknya bencana yang terjadi di
Indonesia sebenarnya menjadi refleksi bahwa bencana itu bukan murni fenomena
alam tanpa campur tangan manusia. Dalam perspektif etika lingkungan, bencana
alam bukan masalah teknis, melainkan krisis moral yang bukan hanya mengenai
perilaku manusia terhadap lingkungan, tapi juga tentang relasi di antara
semua kehidupan alam semesta. Aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak
sengaja dan dilakukan secara terus-menerus berdampak buruk memicu atau
mempercepat terjadinya bencana. Selama ini kita memanfaatkan dan mengolah
berbagai wujud kekayaan alam untuk dikonsumsi demi kebutuhan hidup. Manusia
mengambil apa yang dimiliki dan disediakan alam untuk kehidupannya. Tapi, pada
saat yang sama, konsumsi ini tidak diimbangi dengan konservasi dan
pelestarian demi kebutuhan jangka panjang. Perluasan dan pengalihan lahan dilakukan
tanpa kompromi. Alhasil, degradasi lingkungan, kepunahan aneka jenis flora
dan fauna, merebaknya konflik sosial, serta hilangnya pendapatan negara
mengemuka. Indonesia berubah dari megadiversity menjadi megaextinction.
Keserakahan manusia eksploitatif dan berorientasi bisnis tanpa
memperhitungkan kerugian ekologis di masa mendatang. Seperti bencana banjir yang terjadi di
Kalimantan, diakibatkan curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir
menambah efek masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus
sehingga mengakibatkan terjadinya bencana ekologi. Jika dulu Kalimantan lebat hutannya, kini
berubah menjadi perkebunan sawit dan tambang batu bara. Begitu juga tanah
longsor di Sumedang. Alih lahan yang tidak terkontrol dalam hasrat konsumtif
tanpa memperhitungkan kondisi dan dampak lingkungan menjadi faktor utama
penyebab terjadinya bencana. Paradigma pembangunan yang selama ini
terkonsentrasi pada sektor ekonomi harus diubah karena toh jejak ekologi yang
dihasilkannya telah terbukti kontraproduktif sehingga tak bisa terus
dilanjutkan. Pengetahuan tentang dampak kerusakan
lingkungan perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bukan malah
dikompromikan. Orientasi tata ruang bukan hanya membangun perumahan, pabrik
dan membuka perkebunan, tapi menyelamatkan lingkungan. Maka, etika biosentrisme yang memahami
bahwa manusia dan semesta sebagai sebuah kesatuan yang organismik sangat
relevan untuk menjaga lingkungan hidup. Dalam etika lingkungan, alam
mempunyai nilai intrinsik yang lepas dari kepentingan manusia. Alam adalah
sistem sosial yang perlu dihormati, dipatuhi, dan diperlakukan sejajar dalam
kehidupan bersama di bumi. Visi ini harus dikedepankan demi
menumbuhkan kepedulian dan usaha penyelamatan terhadap lingkungan. Bukan
semata demi kepentingan manusia saja, tapi juga memberikan perhatian yang
seimbang terhadap semua komponen lingkungan dan seluruh komunitas ekologis. Pandangan ini sebenarnya telah ada dalam
berbagai bentuk kearifan dan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat.
Peradaban Nusantara mengakui prinsip harmoni antara makrokosmos (jagat raya
alam seisinya) dan mikrokosmos (jagat manusia). Ruwatan, larungan, bersih
desa, dan konsep Tri Hita Karana menjadi contohnya. Dan, dalam berbagai kesempatan itu, kayon
juga kerap dimainkan dengan dinamis untuk menandai pergantian babak, adegan,
ataupun cerita dalam siklus hidup yang kembali stabil dan seimbang. Dan, ketika tancep kayon, hal itu
menandakan bahwa seluruh cerita dan derita kemanusiaan telah berakhir dan
berubah menjadi kehidupan yang harmonis dan berkualitas antara seluruh
penghuni alam semesta. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar