Kamis, 04 Maret 2021

 

Jalaluddin Rakhmat dan Islam Mazhab Cinta

 Ahmad Najib Burhani  ;  Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dan Profesor Riset di LIPI

                                                     KOMPAS, 19 Februari 2021

 

 

                                                           

Islam Cinta atau Mazhab Cinta merupakan tagline dan slogan yang sering dipakai Haidar Bagir, tokoh Islam dan pendiri penerbit Mizan, dalam Twitter dan dakwah keislamannya belakangan ini.

 

Islam Mazhab Cinta juga telah menjadi judul dari buku karya Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia (2015) dan buku Gugun el-Guyanie, Islam Mazhab Cinta: Dari Dogma Menuju Paradigma (2008).

 

Islam jenis ini pula yang merupakan model keislaman yang selalu dipromosikan Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal, aktivis dan pemikir Muslim yang meninggal di Bandung, Jawa Barat, Senin (15/2/2021).

 

Makna dari Islam Cinta atau Mazhab Cinta adalah sebuah corak keislaman yang bersahabat dengan seluruh umat manusia, yang mencari titik temu bukan hanya dengan berbagai kelompok dalam Islam yang kadang berseberangan, melainkan juga antaragama. Islam Cinta adalah Islam yang menekankan pada dimensi-dimensi rohaniah, spiritualitas, dan kasih sayang (rahman dan rahim).

 

Dari mana ajaran ini digali? Dari mutiara-mutiara ajaran tasawuf atau spiritualitas Islam, seperti dari Ibn ’Arabi, Suhrawardi, Rabi’a al-’Adawiyya, Mansur al-Hallaj, Mulla Sadra, dan Al-Ghazali. Jika fikih (hukum Islam) lebih banyak berbicara tentang perbedaan (khilafiyah), ketidaksepakatan, dan pertentangan, maka tasawuf lebih menekankan pada hubb (cinta), ’isyq (rindu), ittihad (persatuan), hulul (penyatuan), dan sejenisnya.

 

Kang Jalal berdakwah tentang Islam Mazhab Cinta ini sejak 1980-an, baik melalui buku-buku keislaman yang ditulisnya maupun melalui aktivitas dakwah di masjid dan forum-forum lain. Di antara buku yang ditulisnya adalah Islam Aktual (1994), Islam Alternatif (1995), Kuliah-kuliah Tasawuf (2000), Dahulukan Akhlak di atas Fiqh (2003), Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (2006), dan Meraih Cinta Ilahi (2008).

 

Latar belakang dari penekanan pada tasawuf dan cinta ini tentu saja berangkat dari perselisihan antarumat Islam dan kebencian sebagian dari mereka terhadap perbedaan. Ini terutama terkait perbedaan antarmazhab dan golongan, seperti antara Sunni dan Syiah atau Sunni dan Ahmadiyah. Bahkan, dulu, perselisihan itu sangat tajam, terutama di akar rumput, termasuk antara ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam hal-hal ritual yang sebetulnya tak terlalu prinsipiil (furu’iyah).

 

Kang Jalal, yang berangkat dari tradisi NU dan kemudian pernah menjadi aktivis Muhammadiyah, melihat adanya berbagai kesalahpahaman dari sebagian umat Islam terhadap Syiah. Padahal, mereka ini adalah saudara seagama yang dalam sejarah bisa hidup berdampingan selama ratusan tahun, seperti yang terjadi di Mesir dan Irak. Namun, perbedaan kedua kelompok ini kadang dibesar-besarkan untuk kepentingan politik tertentu.

 

Dalam karya dan dakwahnya, Kang Jalal mencoba mengoreksi kesalahpahaman tentang Syiah dan menjembatani kedua kelompok itu melalui jalur tasawuf, Islam Mazhab Cinta. Ia di antaranya mendirikan Pusat Kajian Tasawuf Tazkiya Sejati bersama keluarga Wakil Presiden Sudharmono.

 

Apa yang dilakukan Kang Jalal dengan Islam Cinta-nya itu menjadi semakin relevan saat ini ketika kaum takfiri (kelompok yang mudah mengafirkan orang lain) dan kelompok mutathorrifin (radikal) yang dengan entengnya menuduh orang lain radikal, merajalela di masyarakat, termasuk di kampus-kampus ternama.

 

Berkembangnya kelompok-kelompok keras seperti itu membuat dialog menjadi mampat dan alternatif-alternatif pemikiran baru menjadi tersumbat. Ketika seseorang yang memiliki pemikiran berbeda lantas dituduh sesat atau kafir, maka akan terjadi kemandekan ijtihad dan terhambatnya pemikiran kritis.

 

Seperti yang dilakukan Kang Jalal, upaya menjembatani perbedaan antara Sunni dan Syiah serta mengikis kelompok takfiri ini juga telah menjadi keputusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015.

 

Dalam rekomendasi terkait isu-isu keumatan nomor dua, ”Membangun Dialog Sunni- Syiah” disebutkan bahwa ”Akar konflik Sunni-Syiah sangat kompleks, antara lain karena masalah kesenjangan ekonomi, imbas konflik politik di Irak, Suriah, dan Yaman, serta persaingan pengaruh politik-keagamaan antara Iran dan Arab Saudi di negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia.

 

Pertentangan semakin tajam ketika ditarik ke ranah teologis dan sejarah pertumpahan darah di antara pengikut Sunni-Syiah di masa silam (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-47, halaman 113).

 

Pentingnya dialog

 

Untuk mengatasi perbedaan antara Sunni dan Syiah ini, lantas Muhammadiyah menekankan peran dialog.

 

Dialog ini penting demi ”meningkatkan saling memahami persamaan dan perbedaan, komitmen untuk persamaan dan menghormati perbedaan, serta membangun kesadaran historis bahwa selain konflik, kaum Sunni dan Syiah memiliki sejarah kohabitasi dan kerja sama yang konstruktif dalam membangun peradaban Islam” (halaman 113-114).

 

Selain mempromosikan Islam Cinta dan Syiah di Indonesia, Kang Jalal juga berperan ”meng-Indonesia-kan” atau ”me-Nusantara-kan” Syiah itu sendiri. Karena penekanannya pada tasawuf dan persatuan, Kang Jalal berusaha menghindari konflik dengan umat Islam lain.

 

Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi) yang didirikan tahun 2000 sebagai wadah bagi komunitas Syiah Indonesia atau komunitas pencinta ahlulbait (keluarga Nabi Muhammad), misalnya, sengaja tak memiliki masjid khusus Syiah dan mereka melakukan shalat berjemaah dengan umat Islam lain. Mereka juga diminta tak beribadah dengan cara yang berbeda dari yang dilakukan masyarakat pada umumnya.

 

Sikap ini kadang dilihat oleh mereka yang membenci sebagai taqiyyah (kepura-puraan). Namun, bagi Kang Jalal, seperti dalam laporan BBC (20/8/2013), taqiyyah seperti ini penting untuk menghindari konflik dan mencoba beradaptasi dengan masyarakat.

 

Sama seperti kelompok Islam lain, ataupun agama lain, memang ada kelompok keras dan eksklusif dalam Syiah. Mereka yang suka serudak-seruduk ini, dalam bahasa Kang Jalal, adalah kelompok greenhorn, belum berpengalaman atau masih hijau. Jika tanduknya sudah grey (abu-abu), mereka akan bisa menahan diri.

 

Kelompok greenhorn ini yang kadang mencipta citra buruk bagi Syiah secara umum atau menimbulkan Syiah-fobia. Meminjam bahasa Olivier Roy, kelompok-kelompok radikal itu telah melakukan apa yang disebutnya ”islamisation de la radicalisation” atau Islamization of radicalism.

 

Dalam konteks tulisan ini, mereka melakukan Syiah-isasi radikalisme atau menjadikan ajaran Syiah sebagai dalih dari radikalisme. Fenomena seperti ini merupakan pekerjaan kita bersama, bukan hanya Kang Jalal.

 

Kang Jalal telah melaksanakan perannya dan tugasnya sudah purna. Kita yang perlu melanjutkan.

 

Selamat kembali ke haribaan Allah, Kang Jalal! Engkau pasti sangat berbahagia sekarang ini karena telah berjumpa dengan Kanjeng Nabi Muhammad dan keluarganya yang sangat engkau cintai. Adalah tugas kami untuk melanjutkan misimu dalam mendakwahkan ”Islam Cinta”, ”Islam Alternatif”, Islam yang menghargai perbedaan dan mengasihi umat manusia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar