Jumat, 05 Maret 2021

 

Fatamorgana Surplus BPJS Kesehatan

 Hasbullah Thabrany ; Mantan Anggota Penyusun UU SJSN, Pensiunan Guru Besar UI, Ketua Umum Perkumpulan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia

                                                        KOMPAS, 05 Maret 2021

 

 

                                                           

Pertengahan Februari 2021, Presiden Joko Widodo melantik jajaran Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.

 

Tantangan besar bagi direksi dan dewan pengawas baru adalah konsisten mematuhi amanat UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

 

Di negara maju, hak penduduk atas pelayanan kesehatan telah dilaksanakan jauh lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia. Namun, pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satu program SJSN, tidak berjalan baik karena banyak pejabat negara yang masih belum sepenuhnya memahami dan menghayati JKN.

 

Pola pikir komersial masih mendominasi pembenahan JKN. Pelayanan kesehatan berkualitas belum cukup dipahami dan dilaksanakan konsisten.

 

Salah satu contoh, subsidi energi mencapai Rp 108 triliun, yang dapat diselundupkan dan lebih banyak salah sasaran. Jauh lebih besar dari subsidi iuran JKN yang hanya Rp 51 triliun. Padahal, UUD tidak pernah menyebut ”hak BBM atau hak energi bagi setiap orang”.

 

Penyimpangan konsep

 

Pemahaman JKN yang belum lengkap menyebabkan terjadinya penyimpangan kebijakan operasional JKN. Banyak pejabat negara sering bicara tentang fiskal terbatas. Negara harus mencari dana untuk memenuhi hak penduduk. Banyak belanja negara yang tidak konsisten dengan amanat UUD 1945. Untuk itu, negara diberi hak memungut paksa iuran JKN yang pemungutannya didelegasikan kepada BPJS Kesehatan.

 

Sebagaimana PPh 21, pungutan wajib iuran JKN berbasis upah/pendapatan. Namun, banyak pejabat negara berpola pikir asuransi komersial, berpendapat segmen berisiko tinggi harus bayar iuran lebih banyak. Keliru! Yang berpendapatan tinggilah yang wajib mengiur lebih banyak.

 

Ada pejabat atau akademisi yang bicara ”iuran PBI sudah lebih” atau iuran pekerja ”sudah lebih dari klaimnya”. Penetapan batas upah Rp 12 juta per bulan untuk iuran JKN menyebabkan gotong royong tidak optimal. Konsep dan aturan UU SJSN tentang JKN yang berbasis asuransi sosial mengharuskan iuran tidak dikaitkan dengan klaim segmen peserta.

 

Defisit JKN selama enam tahun disikapi menyimpang dengan tudingan moral hazard dan fraud fasilitas kesehatan dan peserta PBPU sebagai penyebab. Defisit terjadi karena pendapatan lebih kecil dari belanja. Namun, reaksi pejabat dan kebijakan sebagaimana Perpres No 64/2020 adalah mengurangi beban biaya JKN dengan usulan mengurangi manfaat JKN.

 

Peninjauan kebutuhan dasar kesehatan dan kelas rawat inap standar lebih disikapi sebagai upaya pengurangan belanja JKN. Satu lagi penyimpangan pelaksanaan JKN. Padahal, penyelesaian defisit yang rasional justru menaikkan pendapatan JKN, bukan dengan mengurangi belanja. Pemisahan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS juga penyimpangan konsep pembiayaan publik.

 

Banyak pejabat menyatakan, defisit JKN karena ”manfaat JKN terlalu luas”. Faktanya, belanja publik untuk kesehatan di Indonesia hanya 1,4 persen PDB. Di Thailand, Vietnam, dan China sudah di kisaran 3 persen PDB dan rata-rata dunia 5,8 persen PDB.

 

Penyimpangan prinsip JKN juga tecermin dari usulan direksi BPJS Kesehatan mengeluarkan pengobatan TBC, HIV, layanan kehamilan dan persalinan dari manfaat JKN. Hal itu bertentangan dengan UU SJSN yang mengatur manfaat dasar JKN ”sesuai kebutuhan medis”.

 

Semua pelayanan medis yang terbukti efektif dan berbiaya paling murah menjadi hak peserta. Untuk itu, UU SJSN telah dilengkapi sistem pembayaran prospektif kapitasi dan CBG yang memaksa fasilitas kesehatan menjadi sangat efisien.

 

Fatamorgana surplus

 

Di ujung jabatannya, Dirut BPJS Kesehatan menyampaikan berita yang terkesan menggembirakan ”surplus arus kas Rp 18,7 triliun”. Surplus itu semu, bagai fatamorgana. Belum semua tagihan tahun 2020 dibayar.

 

Surplus terjadi karena peserta JKN takut ke fasilitas kesehatan akibat pandemi Covid-19. Banyak dokter juga mengurangi waktu praktiknya. Klaim surplus arus kas itu bagai seorang gubernur mengaku mengatasi banjir pada musim panas. Surplus JKN juga terjadi karena kenaikan iuran, tetapi belum diikuti dengan kenaikan tarif fasilitas kesehatan.

 

Direksi baru menerima beban psikologis ganda berupa ”kesan dapat luncuran surplus” dan tuntutan kenaikan tarif kapitasi dan CBG yang dalam tujuh tahun tidak pernah disesuaikan. Ledakan utilisasi pascapandemi Covid-19 akan meningkatkan jumlah klaim.

 

Penyesuaian tarif untuk mengoreksi akumulasi inflasi tujuh tahun akan meningkatkan biaya klaim minimal 25 persen. Kenaikan tarif 25 persen belum memadai untuk meningkatkan kualitas layanan. Namun, masih banyak peserta JKN yang tidak memanfaatkan.

 

Contoh, jumlah persalinan dalam klaim JKN, normal maupun sesar, hanya 25 persen dari jumlah persalinan. Jika semua peserta JKN menggunakan haknya, defisit akan segera terjadi lagi.

 

Belanja JKN per kapita pada 2018 hanya sekitar Rp 500.000, sementara data Akun Kesehatan Nasional 2018 menunjukkan belanja kesehatan per kapita penduduk Indonesia sudah Rp 1,7 juta. Artinya, peran JKN kurang dari 30 persen dari total belanja kesehatan. Padahal, cakupan sudah mencapai hampir 80 persen penduduk.

 

Selain itu, direksi baru harus mempersiapkan implementasi Pasal 24 UU SJSN yang mengatur tarif ditetapkan berdasar kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan. Kesepakatan tarif merupakan mekanisme bayaran yang berkeadilan yang harus ditaati.

 

Kenaikan iuran JKN akibat kenaikan upah tidak diikuti penyesuaian tarif kapitasi dan CBG selama tujuh tahun. Besaran bayaran kapitasi untuk pelayanan dokter umum masih sama, Rp 10.000 per kapita per bulan. Besaran bayaran JKN untuk tiap perawatan di RS masih konstan pada rata-rata Rp 4,6 juta/perawatan. Jika dikoreksi terhadap inflasi, tarif kapitasi dan CBG JKN di awal tahun 2021 turun 25-30 persen dibandingkan dengan tarif 2014.

 

Terjadi penyimpangan dan ketidakadilan JKN terhadap fasilitas kesehatan yang dituntut melayani lebih baik, tetapi dibayar semakin sedikit. Inilah beban berat direksi baru. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar