Biden,
Dunia, dan Indonesia Dian Wirengjurit ; Analis Geopolitik dan Masalah
Internasional |
KOMPAS,
03 Maret
2021
Pasca-pelantikan Presiden Amerika Serikat
Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris pada 20 Januari 2021, dunia
menantikan kebijakan luar negeri duo Demokrat itu. Di masa Presiden Barack Obama, Indonesia
begitu ”tersanjung” ketika ”anak Menteng pulang kampung” pada 9-10 November
2010. Namun, harapan Obama akan memberikan perhatian lebih ternyata sekadar
romantisisme dan masyarakat sudah terhibur dengan sekali kunjungan ”saya suka
bakso”, dalam 8 tahun masa presidensinya. Platform
Partai Demokrat Sering dilupakan bahwa kebijakan global AS
dalam memperjuangkan kepentingannya pada prinsipnya tetap didasarkan platform
partai. Dalam platform yang disetujui pada 18 Agustus 2020, Demokrat dengan
pilar liberalismenya mengusung tema ”Renewing American Leadership”, dengan
subtema, antara lain, revitalisasi diplomasi, transformasi angkatan
bersenjata, memajukan kepentingan ekonomi dan perdagangan global. Platform ini jelas merupakan upaya
”mereparasi” konservatisme Partai Republik dan mengakhiri kebijakan American
First-nya Donald Trump, yang sangat kontroversial pelaksanaannya. Menurut Ian Bremmer dalam bukunya,
Superpower: Three Choices for America’s Role in the World (2015), AS memiliki
tiga pilihan dalam politik luar negerinya. Pertama, Independent America,
yaitu membebaskan AS dari beban global dan memperbaiki kondisi dalam negeri,
dengan memberdayakan segala potensi dan memimpin lewat contoh (by example). Kedua, Moneyball America, yakni menyadari
bahwa AS tak dapat menghadapi semua tantangan internasional. AS harus fokus
pada prioritas berdasarkan peluang dan mempertahankan kepentingannya apabila
terancam. AS akan mengutamakan membantu sekutunya (ally) demi keamanan dan
kesejahteraan, tanpa memaksakan nilai-nilainya. Ketiga, Indispensable America, yakni
keyakinan bahwa hanya AS yang dapat mempertahankan nilai-nilai di mana
stabilitas global tergantung; tetapi hal ini adalah yang paling mahal
(costly). Mengingat ”warisan” yang ditinggalkan
Trump, Biden-Harris diperkirakan akan mengambil pilihan kedua. Sesuai
platform partai, salah satu prioritas yang mendesak adalah memobilisasi dunia
untuk mengatasi tantangan-tantangan yang sifatnya transnasional. Untuk itu,
AS akan ”kembali” mengedepankan multilateralisme dan menggandeng PBB dan
organisasi internasional, dalam menyelesaikan masalah dunia. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, AS juga
akan kembali memberdayakan WHO dan memenuhi kewajibannya dalam pendanaan,
termasuk untuk contigency fund for emergencies. Dalam konteks perubahan
iklim, AS akan kembali bergabung ke Kesepakatan Paris, dengan meratifikasi
Amendemen Kigali dari Protokol Montreal, dan mendanai Green Climate Fund. Yang menarik, dalam upaya merevitalisasi
diplomasi, Biden-Harris akan fokus pada pemberdayaan sekutu (reinventing
alliance) yang merupakan mitra tak tergantikan (irreplaceable cornerstone)
dalam keamanan global. Kebijakan
luar negeri Biden Dengan platform seperti itu, kebijakan luar
negeri Biden akan tecermin dari tiga faktor penentu persaingan negara adidaya
(AS, Rusia, dan China): politik-keamanan, ekonomi, dan diplomasi. Pertama, mengingat lingkup keamanan
globalnya, sekutu Eropa, khususnya NATO, yang beranggotakan 30 negara
merupakan ”natural partner”; bukan hanya untuk keamanan Eropa, melainkan
lebih luas hingga ke Timur Tengah, misalnya dalam menghadapi Taliban atau
NIIS. Sementara di kawasan hotspot, AS pasti
memprioritaskan Israel, Arab Saudi, dan negara Teluk (Timur Tengah); Korea
Selatan dan Jepang (Semenanjung Korea); dan India (Asia Selatan). Hal
menariknya, di kawasan Asia Pasifik, di mana Laut China Selatan (LCS) menjadi
isu kontroversial, Thailand, Filipina, Taiwan, dan Australia disebut khusus. Di Asia Tenggara, meskipun AS akan
menggandeng ASEAN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetap perlu diingat
bahwa secara tidak langsung negeri Paman Sam itu merupakan penjamin ”payung
keamanan” Five Powers Defence Arrangements. Keberadaan sekitar 800 pangkalan
militer di sekitar 70 negara tentunya menjadi indikasi prioritas AS. Kedua, di bidang ekonomi, kebijakan AS akan
berpedoman pada kepentingan nasional dan sekutunya, dalam perang dagang
dengan China. ”American Strength”—keterbukaan masyarakat, ekonomi yang
dinamis, dan kekuatan sekutu— pasti diandalkan untuk menerapkan nilai-nilai
bersama. AS akan menggerakkan sekutu di seluruh dunia untuk melawan China dan
negara yang dianggap mengganggu norma internasional. Ketiga, di bidang diplomasi, pemberdayaan
259 perwakilan diplomatik AS (kedutaan besar dan konsulat jenderal) di 169
dari 193 anggota PBB akan dilakukan berdasarkan prioritas kepentingan di
atas. AS sadar tantangannya tak mudah karena China memiliki 276 perwakilan
diplomatik. Rusia dengan sekitar 240 perwakilan berada di urutan kelima, di
bawah Inggris dan Jepang (BBC-Lowy Institute, 27/11/2020). Posisi
Indonesia Dari ketiga faktor itu, dapat diukur
seberapa penting kedudukan Indonesia. Memang sering disalahkaprahkan bahwa AS
(bahkan juga China dan Rusia) menganggap Indonesia mitra strategis; tetapi
tentunya tidak dalam pengertian politik-militer, seperti dengan sekutu
sesungguhnya. Sudah diketahui, ketiga adidaya itu sangat
berminat dan berkepentingan menjadikan Indonesia mitra strategis. Namun,
mereka mungkin cukup senang dengan status quo Indonesia sebagai negara
non-blok. Konsekuensinya, sulit diperkirakan di mana
posisi ”penting” Indonesia dalam prioritas kebijakan luar negeri
Biden-Harris, kecuali di bidang HAM, yang jadi ”pakem” tradisional Demokrat.
Bagi Indonesia, tulus atau basa-basi pernyataan ini sebenarnya tak terlalu
penting. Yang pasti, AS tak akan membiarkan Indonesia jatuh ke salah satu
kubu. Politik luar negeri bebas aktif memberikan keleluasaan bagi Indonesia
bermanuver di antara ketiga adidaya. Yang penting manuver itu memberi kontribusi
bagi keamanan dan stabilitas internasional dan, lebih lagi, membawa manfaat
bagi pembangunan nasional. Akhirnya, platform Partai Demokrat 2020
setebal 92 halaman ini isinya memang merupakan upaya ”bebèrès” Biden-Harris
atas ”kekacauan” yang ditinggalkan Trump. Platform partai menggabungkan berbagai
nilai dan aspirasi yang disampaikan konstituen dengan harapan akan menjadi ”harga
atas kesetiaan mereka”; meski ada kalangan masyarakat yang tidak terlalu
percaya. Platform itulah pegangan kredibel bagi prediksi arah kebijakan
Biden-Harris. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar