Sebuah
Dakwaan yang Melukai Banyak Orang
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai
Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 13
Maret 2017
Sidang perdana kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Kamis (9/3), ibarat senapan mesin yang memuntahkan peluru ke
berbagai arah dan sudah mencederai banyak orang.
Kini menjadi tugas para jaksa penuntut Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuktikan apakah semua nama yang disebut
itu memang layak dilukai reputasi dan kredibilitasnya. Sudah terbukti bahwa
penyelesaian proyek e-KTP melenceng jauh dari target waktu. Bahkan tidak ada
yang tahu kapan proyek ini akan rampung.
Artinya, jelas bahwa ada masalah besar dalam proyek ini.
Negara diduga menanggung rugi sangat besar. Karena itu, langkah KPK membawa
kasus ini ke Pengadilan Tipikor Jakarta patut diacungi jempol. Kasus dugaan
korupsi proyek e-KTP sudah menjalani sidang perdana. Sidang itu menghadirkan
dua terdakwa, yakni mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri
Sugiharto dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Irman.
Tidak hanya faktor puluhan nama besar yang mengejutkan
berbagai kalangan. Ternyata, nilai proyek yang diduga dikorupsi pun membuat
berbagai pihak terperangah. Sebab, dari Rp5,9 triliun nilai proyek, hanya 51%
yang benar-benar digunakan untuk kebutuhan proyek. Sedangkan 49% lainnya
konon dibagibagikan ke sejumlah oknum di Kemendagri, anggota DPR, dan
keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Korupsi skala jumbo, berjamaah pula. Namun, dalam konteks
pembuktian, kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ini menjadi tantangan yang
tidak ringan bagi KPK. Proyek ini sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu.
Kemudian, tentang aliran dana hasil korupsi proyek ini, belum jelas benar
apakah KPK juga memiliki bukti kuat yang bersumber dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau alat bukti lain.
Faktor lain yang juga cukup menentukan adalah berkurangnya
jumlah saksi. Dua anggota Komisi II DPR yang tahu detail pembahasan dan
penganggaran proyek ini pada 2009 sudah meninggal dunia. Keduanya adalah
Burhanuddin Napitupulu dan Mustoko Weni. Bahkan sebuah peristiwa digambarkan
di dalam dakwaan seolaholah saksi yang sudah meninggal dunia itu masih hidup
dan ikut membagi-bagi uang.
Gubernur hingga Menteri
Ketika membacakan dakwaan, jaksa penuntut umum (JPU)
memaparkan puluhan nama dan sejumlah institusi yang diduga menerima dana
hasil korupsi proyek e-KTP. Selain mantan menteri dan mantan ketua DPR,
puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 juga disebut menerima fee
dari dana yang dianggarkan dalam proyek e- KTP. Di antara mereka ada yang
kini menjabat menteri dan gubernur.
Wajar jika sejumlah orang yang disebutkan dalam dakwaan
itu tidak bisa menerima begitu saja dan langsung membuat bantahan. Masuk akal
karena mereka merasa sebagai korban pembunuhan karakter. Oleh mereka, dakwaan
yang dibacakan di Pengadilan Tipikor itu dimaknai sebagai tuduhan. Oleh
karena dakwaan itu dipublikasikan secara luas, secara personal masing-masing
sudah merasa dilukai.
Mereka sadar bahwa bertitik tolak dari publikasi dakwaan
itu, publik akan mencibir dan menuduh mereka sebagai orang-orang yang ikut
menikmati dana hasil korupsi proyek e-KTP. Begitulah risikonya ketika sebuah
nama dikaitkan pada sebuah kasus korupsi. Tentu saja KPK juga sudah menyimak
bantahan dari sejumlah orang itu. Sudah barang tentu bantahan sejumlah orang
itu harus direspons KPK melalui proses pembuktian.
Melihat derasnya penghakiman publik terhadap namanama yang
disebut dalam dakwaan itu, Presiden Joko Widodo pun angkat bicara. Presiden
juga sangat kecewa karena proyek e- KTP bermasalah. Seperti diketahui,
seorang menteri pada Kabinet Kerja juga disebut dalam dakwaan itu. Menyikapi
hal ini, Presiden minta masyarakat menjunjung tinggi asas praduga tidak
bersalah dalam perkara dugaan korupsi proyek e-KTP.
Selain itu, Presiden juga mengimbau masyarakat untuk
menyerahkan sepenuhnya proses hukum perkara tersebut kepada KPK dan
Pengadilan Tipikor. Bahwa proyek e-KTP sarat masalah memang sudah terlihat
indikasinya sejak awal.
Indikasi pertama adalah kisruh tentang mekanisme
pembiayaan proyek ini. Kisruh ini memunculkan isu tentang beda sikap dua
menteri keuangan atas skema pembiayaan tahun jamak atau multiyears 2011-2012.
Kedua, ketika proyek ini mulai dieksekusi, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sudah melihat indikasi tentang potensi pelanggaran pada aspek
penganggaran proyek e-KTP.
Entah apa pertimbangannya, potensi masalah yang ditemukan
BPK itu tidak didalami lebih lanjut. Proyek ini dinyatakan clear untuk
kemudian dilanjutkan. Ketiga, setelah dinyatakan rampung, proyek ini ternyata
tidak menuntaskan sistem administrasi kependudukan nasional, sebagaimana dijanjikan
sebelumnya. Banyak warga di berbagai daerah belum bisa menggenggam e-KTP.
Satu-satunya keluhan dan alasan yang dikemukakan kantor
lurah kepada warga adalah habis atau tidak ada stok blangko e-KTP. Karena
masalah kekosongan blangko e- KTP berlarut-larut, Kementerian Dalam Negeri
pada Desember 2016 terpaksa mengirimkan surat edaran ke setiap daerah
mengenai penggunaan surat keterangan (suket) pengganti e-KTP. Tujuannya,
mengatasi masalah habisnya blangko. Fungsi suket itu sederajat dengan KTP elektronik.
Artinya, bisa digunakan untuk ragam keperluan. Masalah
kekosongan blangko e-KTP di berbagai daerah itu otomatis mengonfirmasi bahwa
proyek bernilai hampir Rp6 triliun ini memang menyimpan masalah. Lebih dari
itu, proyek ini juga memang belum atau tidak selesai. Bahkan, melenceng
sangat jauh sebab proyek e-KTP pernah ditargetkan rampung pada 2011.
Pekerjaan dalam proyek e-KTP meliputi perekaman sidik
jari, retina mata (iris), dan database kependudukan tunggal. Oleh karena
proyek ini tidak selesai dan menghadirkan masalah di semua daerah, para pihak
yang terlibat dalam proyek ini harus dimintai pertanggungjawabannya.
Penyelidikan, penyidikan, hingga langkah KPK membawa kasus ini ke Pengadilan
Tipikor adalah pilihan cara yang harus ditempuh negara guna mendapatkan
pertanggungjawaban itu.
Sambil menunggu proses peradilan kasus ini, masyarakat
tentu hanya bisa prihatin. Sebab, lagi-lagi, kasus ini menjadi bukti bahwa
perang melawan korupsi belum mencatatkan progres yang meyakinkan. Banyak
oknum masih tidak takut atau malu-malu menunjukkan perilaku korup. Dan, di
Jakarta maupun daerah lain, korupsi berjamaah masih marak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar