Peta
Jalan Ketimpangan
Sugeng Bahagijo ; Direktur International NGO Forum on
Indonesian Development (INFID)
|
KOMPAS, 04 Maret 2017
Bahwa
masalah ketimpangan perlu diatasi, kiranya sudah ada kesepakatan luas di
Indonesia dan bahkan di seluruh dunia. PBB dalam dokumen Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) tahun 2015 menyepakati
penurunan ketimpangan menjadi satu dari 17 tujuan utama SDG. Demikian juga
dengan berbagai keputusan dan laporan dari lembaga-lembaga internasional
G-20, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dan Forum
Ekonomi Dunia (WEF).
Di
Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menetapkan bahwa menurunkan rasio gini
menjadi prioritas pemerintah dalam jangka menengah. Dalam berbagai rapat
kabinet, Presiden juga telah memberi arahan agar penurunan ketimpangan
menjadi ukuran keberhasilan pembangunan, bukan hanya penurunan kemiskinan dan
pengangguran. Yang menjadi soal dan bahan diskusi hari ini bukan lagi soal
perlu tidaknya mengatasi ketimpangan, melainkan lebih kepada bagaimana cara
menurunkan ketimpangan.
Pertanyaan-pertanyaan
mengemuka: (i) apa yang harus dilakukan untuk memperkuat perolehan pajak agar
sesuai dengan potensi ekonomi dan jumlah kelompok superkaya; (ii) apa yang harus
diubah untuk memperkuat sumber daya manusia (SDM) dan angkatan kerja
Indonesia agar daya saing ekonomi nasional dan perluasan kelas menengah dapat
dipercepat; (iii) apa yang harus dilaksanakan untuk memastikan kesetaraan
jender agar potensi sosial ekonom kesetaraan jender dapat diraih dalam waktu
tidak terlalu lama.
Minggu
lalu, INFID-Oxfam telah melansir laporan penelitian tentang ketimpangan di
Indonesia. Laporan itu pada intinya berupaya menjawab soal-soal tersebut.
Laporan berjudul ”Menuju Indonesia Setara (MIS)” mengajak pemerintah untuk
melaksanakan dua langkah utama: (i) memperbaiki dan memutakhirkan kebijakan
pajak; (ii) memberi prioritas tinggi kepada kualitas SDM dan angkatan
kerja—bagaimana meningkatkan kompetensi 60 persen angkatan kerja berpendidikan
SD-SMP.
Pajak
ketinggalan zaman
Laporan
ini juga menyediakan data-data dan analisis perbandingan yang strategis bagi
Pemerintah Indonesia untuk melaksanakannya dan mengembangkan.
Tanpa
mengecilkan kinerja pemerintah dalam program amnesti pajak, laporan MIS
menegaskan perlunya Indonesia terus-menerus memperbaiki dan memutakhirkan
kebijakan pajak sehingga dapat mencapai potensinya hingga 20-21 persen dari
produk domestik bruto (PDB) sebagaimana dihitung oleh Dana Moneter
Internasional (IMF, 2011). Meski Indonesia anggota G-20 dengan kue ekonomi
terbesar ke-20 dunia dan menjadi negara observer dalam OECD, kinerja pajak
Indonesia masih jauh di bawah rerata negara berpendapatan menengah (middle
income), yakni 25 persen dan jauh di bawah negara-negara maju 35 persen.
Perolehan pajak Indonesia baru 12-13 persen dari PDB. Presiden Jokowi telah
menargetkan kenaikan pajak hingga 16 persen PDB pada tahun 2019.
UU
Pajak yang berlaku hingga hari ini terlalu usang, kuno, dan ketinggalan zaman
karena tidak mencerminkan perkembangan dan realitas besaran ekonomi dan
kemampuan membayar, terutama besaran kelompok superkaya Indonesia. Sementara
UU pajak mematok batas tertinggi pajak penghasilan orang pribadi bukan
karyawan (PPh) sebesar Rp 500 juta per tahun, kini Indonesia telah memiliki
ratusan atau ribuan orang dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun.
Artinya,
ketentuan golongan dan tarif pajak penghasilan orang pribadi bukan karyawan
perlu diperbaiki sesuai dengan praktik wajar di dunia internasional.
Misalnya, pengenaan tarif 40 persen bagi pendapatan di atas Rp 10 miliar per
tahun dan 45 persen untuk penghasilan di atas Rp 20 miliar per tahun.
Indonesia
hari ini adalah negara karyawan karena perolehan pajak penghasilan lebih
ditopang oleh pajak karyawan-pekerja ketimbang pajak para pemilik perusahaan
dan manajer perusahaan. Ini merupakan keanehan yang tidak baik (outliers).
Profil pajak negara-negara menengah dan negara maju menunjukkan bahwa
komposisi pajak terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi
termasuk pemilik perusahaan dan manajer perusahaan disusul pajak perusahaan
(pajak badan), dan selanjutnya pajak pembelian barang (PPn)
Pelatihan
kerja
Laporan
Bank Dunia tentang Ketimpangan Indonesia, Indonesia’s Rising Divide (2015), menyebut
salah satu sumber penyebab ketimpangan adalah ketimpangan pasar kerja.
Laporan MIS (2017) meyakinkan pengambil kebijakan Indonesia untuk menaikkan
alokasi anggaran pelatihan kerja/pelatihan vokasi oleh perusahaan dan BLK
(10-20 persen dari dana pendidikan di APBN atau 10-20 persen dari Rp 400
triliun).
Mengapa?
Karena, pelatihan vokasi kerja selama ini masih menjadi ”anak tiri"
ketimbang ”anak kandung”. Dua indikator utama adalah: terlalu minimnya
alokasi anggaran untuk pelatihan kerja, sementara 60 persen angkatan kerja
berpendidikan SD dan SMP. Selain itu, terlalu minimnya peran industri dalam
pelatihan kerja.
Mari
kita lihat angkanya. Dari dana pendidikan APBN Rp 400 triliun, alokasi
pelatihan kerja (bukan SMK dan pendidikan kedinasan seperti STAN, Akademi
Imigrasi) hanya di bawah Rp 2 triliun-Rp 3 triliun yang dikelola oleh dua
atau tiga kementerian (Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian
Perindustrian, dan kementerian lainnya).
Peran
industri di Indonesia dalam pelatihan kerja juga masih marjinal. Industri
belum ikut serta secara aktif dalam pembentukan kurikulum BLK dan SMK agar
lulusannya relevan dan cocok dengan kebutuhan pasar kerja. HRD berbagai
perusahaan belum membentuk asosiasi yang khusus memajukan dan memperluas
pelatihan vokasi. Hasilnya, sejak krisis ekonomi 1997 hingga hari ini, atau
20 tahun, industri Indonesia lebih sering kesulitan mencari tenaga kerja yang
pas dan akhirnya lebih memilih membajak talenta dari industri lain ketimbang
memproduksi talenta-talentanya sendiri.
Industri-perusahaan
Karena
itu, laporan MIS mengajak berbagai perusahaan untuk ikut serta dalam
menurunkan ketimpangan. Bagaimana caranya? Setidaknya ada empat cara: (i)
patuh membayar pajak, baik pemilik maupun perusahaannya, (ii) ikut serta
menyelenggarakan pelatihan kerja, baik untuk pekerjanya sendiri maupun untuk
calon pekerja atau pencari kerja; (iv) membayar upah pekerjanya sesuai upah
layak, dan (iv) mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
untuk memperluas akses dan mutu pelatihan kerja, baik yang diselenggarakan
sendiri dan atau bersama dengan BLK dan lembaga-lembaga pelatihan
Pengalaman
negara lain layak kiranya dipelajari, khususnya negara-negara yang berhasil
naik kelas dari level menengah menjadi negara maju. Di Korea dan Malaysia,
misalnya, terdapat undang-undang yang mewajibkan industri-perusahaan
menyisihkan dana untuk pelatihan kerja, dihitung dari total persentase gaji
yang dibayarkan.
Di
Jerman, semua pelatihan vokasi yang diselenggarakan didanai oleh industri
dalam sistem pendidikan ganda (dual system). Separuh waktu siswa SMP-SMA
belajar di sekolah (didanai oleh pemerintah) dan separuh waktu untuk praktik
kerja dan belajar keahlian spesifik di industri (didanai oleh
industri-perusahaan)
Pemerintah
dan Kadin-Apindo sebaiknya segera merumuskan langkah menemukan cara
meningkatkan peran industri dalam memperluas akses dan mutu pelatihan vokasi.
Pemerintah perlu membuka ruang dan menyediakan insentif. Sementara
Kadin-Apindo perlu meyakinkan anggotanya, terutama industri besar dan
menengah, untuk ikut serta membangun keterampilan dan kompetensi angkatan
kerja kita. Untuk kebaikan mereka sendiri dan untuk Indonesia masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar