Penumpang
Gelap Demokrasi Digital
Agus Sudibyo ;
Pendiri
Indonesia New Media Watch;
Pengajar Teori Komunikasi di ATVI
Jakarta
|
KOMPAS, 01 Maret 2017
Jika dapat diterapkan di luar konteks ekonomi, istilah
freerider barangkali tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam demokrasi
digital di Indonesia. Demokrasi kita hari ini, tak pelak lagi, mengarah pada
demokrasi digital.
Ruang publik dunia maya telah jadi arena baru bagi proses
diskusi, deliberasi, dan pertarungan politik. Media sosial (medsos) secara
cepat telah menggoyahkan posisi media konvensional sebagai lokus utama bagi
proses komunikasi dan interaksi politik. Masyarakat pun semakin terpola untuk
menggunakan internet bukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan informasi,
melainkan juga sarana untuk menyatakan pendapat dan sikap politik.
Bermotif komodifikasi
Dalam momentum transisi lanskap komunikasi-informasi yang
bergejolak dan konfliktual, muncul pihak-pihak yang mengambil kesempatan
dalam kesempitan. Mereka memanfaatkan keadaan transisional itu untuk mengejar
kepentingan sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik. Tiba-tiba saja
berita bohong (hoaks), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian
menghunjam ruang publik, mengusik kehidupan bermasyarakat, tanpa kita tahu
pasti bagaimana mengatasinya dan siapa yang bertanggung jawab mengatasinya.
Di sini kita berhadapan dengan orang-orang yang tampaknya
mengetahui benar bahwa menyebarkan hoaks dapat dilakukan secara anonim untuk
menghindari konsekuensi hukum. Kita juga berhadapan dengan orang-orang yang
mengetahui benar masyarakat kita belum dididik untuk menghadapi hoaks dengan
kepala dingin sehingga mudah dipengaruhi dan pemerintah masih dalam tahap
coba-coba dalam menanggulangi hoaks.
Pengetahuan itu tak membuat mereka bijak, hati-hati, dan
mengendalikan diri. Sebaliknya, justru mendorong mereka secara tak acuh
menggunakan medsos guna menyebarkan dusta dan kebencian. Mereka tidak peduli
tindakan itu dapat memecah-belah masyarakat. Mereka hanya berpikir medsos
adalah kemungkinan baru untuk mengejar kepentingan politik atau ekonomi
secara jalan pintas, tetapi tepat sasaran. Di tangan para freerider ini,
medsos jadi begitu identik dengan hoaks dan fake news.
Namun, menariknya, bagaimana perusahaan penyedia aplikasi
medsos menghadapi masalah hoaks dan fake news juga menunjukkan ciri-ciri
freerider. Perlu digarisbawahi, kontroversi yang terjadi di medsos
meningkatkan akses dan keterlibatan sosial (social engagement) di medsos.
Semakin banyak status, unggahan foto, komentar, like di sebuah medsos,
semakin meningkat popularitas perusahaan penyedia aplikasi medsos itu.
Popularitas ini kemudian memiliki signifikansi terhadap harga saham dan
pendapatan iklan perusahaan. Dengan kata lain, operasionalisasi medsos secara
global sesungguhnya digerakkan oleh institusi ekonomi yang motif dasarnya
adalah komodifikasi.
Jika media konvensional hidup dari oplah, rating, dan
iklan, medsos hidup dari traffic, social engagement, dan iklan. Tontotan di
televisi tidak diberikan secara cuma-cuma kepada khalayak karena stasiun
televisi pada saat yang sama memanfaatkan khalayak sebagai obyek rating dan
iklan. Paralel dengan itu, medsos yang kita nikmati juga tak sepenuhnya
gratis karena perusahaan medsos sesungguhnya menghimpun data perilaku kita
dan memanfaatkannya untuk aktivitas periklanan digital yang menembus ruang
pribadi setiap orang.
Dalam konteks ini, secara moral menjadi problematis jika
perusahaan medsos seperti Facebook menyatakan "isi di luar tanggung
jawab kami, kami hanya menyediakan platform" ketika muncul kontroversi
tentang penyebaran hoaks melalui medsos. Tingginya animo masyarakat terhadap
hoaks berkorelasi langsung dengan popularitas medsos, juga dengan pengaruh
korporasi yang mengoperasikan medsos itu. Oleh karena itu, sudah semestinya
jika mereka hadir dan turut bertanggung jawab menangani hoaks.
"Big power, big money, big responsibility!"
Inilah yang sedang jadi tuntutan publik di Eropa dan AS hari ini terkait
keberadaan Facebook, Youtube, dan lain-lain. Medsos memiliki kekuatan besar
untuk mengarahkan perhatian masyarakat. Dengan kemampuan tersebut, perusahaan
medsos seperti Facebook menjadi kekuatan bisnis berskala global.
Muncul anggapan mereka terlalu bersemangat dalam
mengeksploitasi momentum revolusi digital, tetapi kurang memperhatikan
dampaknya. Mereka berjasa dalam melahirkan inovasiinovasi teknologi yang
menopang dan terus mengembangkan lanskap digital global. Meskipun demikian,
bukan berarti mereka dapat lepas tangan dari berbagai residu yang muncul.
Sebagai penemu dan pengembang medsos, secara teoretis mereka yang paling
memahami bagaimana cara mengendalikan hoaks. Mereka juga mengetahui literasi
media seperti apa yang dibutuhkan agar masyarakat tidak gagap menghadapi
revolusi digital. Persoalannya, apakah mereka sudah mengambil langkah-langkah
nyata untuk membantu masyarakat menangani dampak-dampak media sosial atau
revolusi digital?
Jadikan obyek hukum
Lebih jauh lagi mereka juga bermasalah dengan kedaulatan
fiskal sejumlah negara. Menurut eMarketer, perusahaan medsos dan mesin
pencari mencatatkan transaksi iklan digital Rp 8,4 triliun di Indonesia tahun
2016. Transaksi sebesar ini belum menjadi obyek pajak sama sekali. Betapa
besar potensi pendapatan negara yang hilang di sini. Betapa timpang iklim
persaingan usaha yang tercipta. Media-media konvensional harus membayar
berbagai pajak, sedangkan media asing dengan kekuatan lebih besar dan
penetrasi lebih luas justru terbebas dari pajak.
Perusahaan media sosial dan mesin pencari jelas harus jadi
obyek hukum Indonesia. Mereka berhak berbisnis di Indonesia, tetapi dengan
kewajiban yang jelas: membayar pajak, mendidik masyarakat tentang media baru,
turut bertanggung jawab dalam pengendalian hoaks, dan lain-lain. Perang
melawan hoaks, sekali lagi, sangat ditentukan oleh kontribusi perusahaan yang
menciptakan medsos sebagai medium utama persebaran hoax.
Menjadikan Facebook dan lain-lain jadi obyek hukum
Indonesia tentu tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini peran pemerintah
akan berpengaruh banyak terhadap keberhasilan penanggulangan hoaks. Tindakan
tegas terhadap para pembuat hoaks dan menutup situs radikal memang perlu.
Namun, tindakan itu semestinya tak mengalihkan perhatian dari pokok
persoalan: bagaimana mengatur status dan tanggung jawab perusahaan media
sosial di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar