Membubarkan
Parpol Penerima Suap
Yusril Ihza Mahendra ; Praktisi Hukum;
Mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan
|
JAWA
POS, 11
Maret 2017
DARI dakwaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan KTP
elektronik (e-KTP) yang kini mulai disidangkan, diduga bukan hanya terdakwa
mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto yang terlibat, tetapi juga
politisi terkemuka dari berbagai parpol. Terdakwa Irman bahkan menyebut
beberapa parpol, termasuk parpol yang sedang berkuasa sekarang, turut menikmati
uang suap proyek e-KTP yang diduga merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun
dari nilai proyek Rp 5,9 triliun itu. Besarnya nilai uang yang digunakan
untuk menyuap menunjukkan bahwa kasus tersebut merupakan kasus besar yang
mempermalukan bangsa dan negara. Karena itu, kasus tersebut harus diungkap
sampai tuntas.
KPK tentu tidak akan berhenti mengungkap kasus ini hanya
pada Irman dan Sugiharto serta sejumlah politikus, tetapi juga wajib menyidik
keterlibatan parpol dalam perkara tindak pidana korupsi ini. Parpol adalah
instrumen politik yang sangat penting dalam sistem politik dan demokrasi kita
di bawah UUD 1945. Tanpa parpol, takkan ada pemilu legislatif dan pilkada.
Bahkan, tanpa parpol, mustahil ada pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sebab, hanya parpol yang dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden.
Karena parpol merupakan instrumen politik yang sangat
penting, adanya parpol yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN seperti yang
digagas pada awal reformasi merupakan suatu keniscayaan. Tanpa itu, negara
ini akan tenggelam dalam kesuraman. Ekonomi akan runtuh, demokrasi akan
terkubur, dan integrasi bangsa akan menjadi pertaruhan. Di sinilah peran
penting KPK sebagai lembaga antikorupsi. KPK tidak hanya harus membersihkan
penyelenggara negara dari korusi, tetapi juga wajib menindak kejahatan
korporasi yang melibatkan partai dalam tindak pidana korupsi.
Dalam beberapa hari belakangan ini, banyak wartawan yang
bertanya kepada saya tentang apakah Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membubarkan
parpol yang diduga terlibat suap kasus e-KTP. Jawaban saya, masalah ini cukup
panjang dan berliku. Saya selaku pihak yang mewakili presiden dalam
mengajukan dan membahas RUU Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor dan
membahas RUU MK dengan DPR sampai selesai menyadari betapa rumitnya penegakan
hukum terkait dengan masalah ini. UU Tipikor memberikan kewenangan kepada
penegak hukum, termasuk KPK, untuk menyidik kejahatan korporasi. Parpol
termasuk kategori korporasi, yang jika terlibat dalam kejahatan, pimpinannya
dapat dituntut, diadili, dan dihukum.
Sesuai dengan pasal 68 UU No 24 Tahun 2003, MK berwenang
untuk memutus kasus pembubaran parpol. Parpol bisa dibubarkan jika asas dan
ideologi serta kegiatan-kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.
Memang menjadi pertanyaan, apakah jika partai terlibat korupsi, parpol
tersebut dapat dibubarkan MK dengan alasan perilakunya tersebut bertentangan
dengan UUD 1945?
Kalau dilihat dari perspektif hukum pidana, terkait dengan
kejahatan korporasi, jika korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan,
yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya. Korporasinya tidak otomatis bubar.
Begitu juga halnya jika parpol terbukti melakukan korupsi, yang dijatuhi
hukuman adalah pimpinannya, sedangkan partainya sendiri tidak otomatis bubar.
Sebab, yang berwenang memutus parpol bubar atau tidak bukanlah pengadilan
negeri sampai Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pidana, tetapi MK dalam
perkara tersendiri, yakni perkara pembubaran parpol.
MK hanya dapat menyidangkan perkara pembubaran parpol jika
ada permohonan yang diajukan pemerintah. Sesuai dengan pasal 68 UU No 24
Tahun 2003 tentang MK, hanya pemerintah yang memiliki legal standing untuk
mengajukan perkara pembubaran parpol. Karena itu, apakah mungkin pemerintahan
Presiden Joko Widodo sekarang ini akan berinisiatif mengajukan permohonan
pembubaran parpol, termasuk membubarkan partainya sendiri, PDIP, yang disebut
terdakwa Irman turut menikmati uang suap perkara e-KTP?
Secara politik, boleh dikatakan mustahil ada presiden dari
suatu partai akan mengajukan perkara pembubaran partainya sendiri ke MK.
Presiden mana pun hanya mungkin melakukan itu jika, pertama, ada putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan partainya
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan korupsi (kejahatan korporasi)
dan pimpinannya dijatuhi hukuman. Kedua, jika ada desakan publik dan desakan
politik yang begitu keras yang mendesak presiden untuk mengambil langkah
mengajukan perkara pembubaran partai yang telah terbukti melakukan korupsi ke
MK.
Karena itu, kita menunggu langkah KPK yang sekarang tengah
mendakwa Irman dan Sugiharto ke pengadilan tipikor untuk juga menyidik dan
menuntut politisi maupun parpol yang diduga ikut menikmati uang suap kasus
e-KTP. Jika mereka semua, baik pribadi maupun korporasi, dalam hal ini parpol
yang terlibat, terbukti bersalah, itulah saatnya presiden, entah Jokowi atau
bukan nantinya, untuk mengajukan perkara pembubaran parpol tersebut ke MK.
Langkah pembubaran itu sangat penting tidak saja untuk
pembelajaran politik dan demokrasi, tetapi juga untuk membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik pada masa datang. MK memang sangat
perlu untuk memutus bahwa parpol yang melakukan korupsi adalah partai yang
melakukan perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Atas dasar itulah, MK menyatakan bahwa perbuatan parpol
tersebut bertentangan dengan UUD 45 dan karena itu cukup alasan
konstitusional untuk membubarkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar