”Justice
Collaborator”
Edwin Partogi ; Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK)
|
KOMPAS, 15 Maret 2017
Pada kasus megakorupsi KTP elektronik yang diduga
melibatkan pihak Kementerian Dalam Negeri, pengusaha, dan sejumlah anggota
DPR, telah ditetapkan dua terdakwa, Irman dan Sugiharto. Kedua mantan
petinggi Kementerian Dalam Negeri itu telah mengajukan diri ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi justice collaborator (JC) atau
saksi pelaku yang bekerja sama.
Keuntungan apa yang diperoleh JC? Apa kepentingan penegak
hukum memberikan status JC bagi pelaku?
Peran penting JC dapat ditengok dari perkara mafia
berkuasa di Amerika (1931), god father Al Capone. Kesulitan yang dihadapi
penyidik membuktikan kejahatan Al Capone karena banyak pejabat dan penegak
hukum korup sudah dalam kendali bos mafia itu. Kesulitan berhasil diurai
ketika penyidik berhasil meyakinkan akuntan Al Capone untuk bersaksi dengan
memberikan jaminan keamanan dan pembebasan dari proses hukum kepadanya.
Singkat cerita, Al Capone berhasil dipidana berkat keberadaan JC itu.
Dalam beberapa perkara yang ditangani KPK, terdapat
sejumlah terdakwa yang menyandang status JC. Misal, Damayanti dan Abdul Khoir
pada perkara suap proyek pembangunan jalan di Maluku. Sebagian besar
tersangka pada suap hakim PTUN Medan menyandang status JC, kecuali OC
Kaligis. Salah satu yang menarik, Amir Fauzi, hakim PTUN Medan, menyandang JC
berdasarkan penilaian hakim dalam putusannya. Nazaruddin pun mendapat status
JC pada perkara proyek Hambalang.
Sudah tepatkah pemberian status JC tersebut?
Regulasi JC
Di Indonesia, embrio keberadaan JC bisa ditelusuri dari
Pasal 10 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang diadopsi juga dalam Pasal 79 UU No 18/2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kedua UU tersebut memiliki pasal dengan
frasa yang sama, yaitu seorang saksi yang juga tersangka tidak bisa
dibebaskan dari tuntutan pidana, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan.
Sekalipun istilah JC sudah muncul dalam konvensi PBB anti
korupsi tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006,
ketentuan dalam Pasal 37 Ayat 2 dalam konvensi tersebut masih bersifat
filosofis. Ketentuan serupa ada dalam konvensi PBB Menentang Kejahatan
Transnasional Terorganisasi yang diratifikasi Indonesia dalam UU No 5/2009.
Operasionalisasi status JC baru terfasilitasi dengan
terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, diikuti
terbitnya Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK,
serta LPSK pada tahun yang sama yang mengatur tentang perlindungan bagi
pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama. Selanjutnya,
pengaturan soal JC ini tertuang dalam UU No 31/2014 tentang Perubahan atas UU
No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014 tersebut dapat
menjadi pedomanpenegak hukum dalam menetapkan JC karena dalam UU ini telah
terpapar tentang syarat JC, perlakuan secara hukum kepadanya, dan penghargaan
(reward) yang didapat JC. Masuknya pengaturan tentang JC dalam UU
Perlindungan Saksi dan Korban tidak terlepas dari filosofi bahwa pemenuhan
hak JC merupakan bagian dari perlindungan terhadap JC. Namun, sejauh ini
belum terkonfirmasi apakah pemberian status JC dalam dua tahun terakhir ini
telah merujuk pada UU Perlindungan Saksi dan Korban di atas.
Seorang pelaku dapat dinyatakan sebagai JC jika memiliki
keterangan dan bukti yang sangat signifikan untuk mengungkap tindak pidana,
bukan pelaku utama, mengungkap pelaku-pelaku yang memiliki peran lebih besar
dan bersedia mengembalikan aset dari tindak pidana tersebut.
Kapan status JC diberikan? UU Perlindungan Saksi dan
Korban tahun 2014memberikan ruang kepada aparat penegak hukum memberikan
status JC sejak proses penyidikan. Namun, beberapa pandangan penyidik dan
penuntut umum menghendaki status JC tersebut diberikan setelah calon JC
menyampaikan keterangannya sebagai saksi di persidangan. Pendapat ini
didasarkan pada kekhawatiran bahwa calon JC tidak mengungkap keterangan yang
benar ketika bersaksi di persidangan. Kekhawatiran ini beralasan, tetapi
tidak sepenuhnya benar.
Penulis menilai, pemberian status JC sebaiknya diberikan
sejak penyidikan, jika dalam proses penyidikan pelaku telah menunjukkan
itikad baik, mengingat penanganan secara khusus sebagai bagian dari reward,
telah bisa dinikmatiJC sejak penyidikan. Penanganan khusus itu berupa
pemisahan tempat tahanan dengan tersangka lain. Juga pemisahan pemberkasan
dengan berkas tersangka lain.
Apabila penanganan secara khusus bagi JC ini terlambat
diberikan, dikhawatirkan tujuan pengungkapan perkara yang diharapkan tidak
tercapai. Hal itu karena pelaku lain yang memiliki peran lebih besar tentu
tidak menghendaki adanya saksi yang bisa mengungkap kejahatan mereka. Pelaku
lain itu bisa menggunakan segala cara, baik bujuk tipu rayu maupun kekerasan,
untuk meniadakan saksi yang memberatkan tersebut.
Kekhawatiran pelaku atau calon JC tidak memberikan
keterangan yang benardalam persidangan seharusnya tidak menjadi alasan
menunda pemberian status JC karena putusan aparat penegak hukum dalam
pemberian JC tersebut masih dapat dikoreksi jika ternyata pelaku melanggar
kerja sama dengan aparat penegak hukum ketika bersaksi di persidangan.
Di sisi lain, pelaku utama dalam suatu perkara bisa saja
bermain mata dengan oknum aparat penegak hukum untuk melokalisasi
pertanggungjawaban. Kolusi macam ini dapat menutup peluang saksi pelaku yang
bekerja sama untuk mendapatkan status JC.
Apabila merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 2011, terbuka
ruang bagi pelaku yang bekerja sama yang tidak ditetapkan sebagai JC dalam
tuntutan jaksa memperoleh status JC dari hakim. Alasannya, karena dalam SEMA
tersebut hakim diberi wewenang untuk menetapkan terdakwa sebagai JC jika
dinilai memenuhi syarat sebagai JC.
Antara ”reward” dan siasat
Ada baiknya para pelaku korupsi KTP elektronik atau
perkara korupsi lainnya mempertimbangkan mengajukan diri sebagai JC. Kenapa?
Karena dengan menjadi JC, terdakwa mendapat keringanan penjatuhan pidana.
Keringanan penjatuhan pidana yang dimaksud dengan mencakup pidana percobaan,
pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana paling ringan di antara
terdakwa lainnya.
Bahkan, dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014
ditegaskan bahwa hakim harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh rekomendasi
LPSK bagi terpenuhinya reward terhadap JC itu.
Reward ini juga berlanjut hingga JC menjadi terpidana. Ia
berhak untuk memperoleh remisi tambahan dan hak-hak narapidana lainnya.Hal
ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 99/2012 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mensyaratkan status JC
untuk mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi dan tindak pidana tertentu
lainnya.
Harap diingat, keberadaanJC ini menguntungkan dua belah
pihak, yakni pelaku dan aparat penegak hukum. Pelaku mendapatkan keringanan
hukuman, aparat penegak hukum mendapat bukti untuk menjerat pelaku
lain.Dengan demikian, peran aktif untuk adanyaJC pada kejahatan teroganisasi
dapat lahir dari keinsafan pelaku ataupun tawaran (bargaining) aparat penegak
hukum kepada pelaku.
Karena status JC tidak terlepasdari proses tawar-menawar
(bargaining), maka wajar timbul tanya di publik terkait pemberian status JC
tersebut.Misal, benarkah penerima status JC itu bukan pelaku utama? Dalam
perkara suap pembangunan proyek jalan di Maluku, hakim menilai tidak tepat
pemberian status JC yang disematkan KPK kepada terdakwa Abdul Khoir, Direktur
Utama PT Windu Tunggal Utama. Sebab, hakim berpendapat Abdul adalah pelaku
utama.
Pertanyaan tentang pemberian status JC juga disampaikan
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada Kejaksaan yang
menerbitkan 670 status JC sepanjang 2013 hingga Juli 2016. Pemberian status
JC itu seharusnya disematkan dalam proses penyidikan dan penuntutan atau
dinyatakan hakim dalam putusan. Apabila pemberian status JC itu diberikan
pasca putusan, tentu mengundang tanya.
Guna menguji kelayakan status JC tersebut, sebaiknya ada
lembaga yang melakukan audit hal itu. LPSK sebagai lembaga yang dimandatkan
memberikan perlindungan kepada JC dapat dilibatkan secara aktif untuk
menimbang pemberian status JC itu agar obyektivitas pemberian JC dapat
dipastikan telah sesuai, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan
Korban.
Terlepas dari motif pelaku mengajukan JC sebagai pintu
pertobatan atau strategi meminimalkan hukuman, bagi kepentingan hukum,
sepanjang keterangan pelaku tersebut dapat membuat terang perkara dan
menjerat pelaku utama lainnya, motif pelaku tersebut tidaklah penting.
Namun, patut dipertimbangkan itikad baik pelaku dalam
membongkar kejahatan pelaku lainnya. Itikad baik ini mensyaratkan keterangan
yang diberikan bukan keterangan palsu, sumpah palsu, atau permufakatan jahat.
Soal ini, integritas calon JC penting diuji oleh penegak hukum sebelum
menetapkan status JC.Penyematan status JC juga harus dipastikan bukan lahir
dari proses transaksional atau politisasi hukum yang menargetkan pihak
tertentu lainnya dijadikan pesakitan.
Untuk memetik kemenangan perang melawan korupsi, seleksi
lencana JC pada mereka yang bukan pelaku utama pada perkara KTP elektronik
dapat menjadi pintu masuk untuk mengakhiri peran god father korupsi yang
selama ini sulit disentuh. Perang ini harus dimenangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar