Senin, 03 Agustus 2015

Sumbangsih yang Adil bagi Globalisasi

Sumbangsih yang Adil bagi Globalisasi

René L Pattiradjawane ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 03 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kunjungan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke Tiongkok dan Indonesia pekan lalu menegaskan adanya lingkup geopolitik dan geostrategi baru kekuatan peradaban dunia, dari Selat Bosporus hingga Laut Tiongkok Selatan. Perpaduan peradaban Ottoman, Tiongkok, maupun Nusantara menjadi reduction ad absurdum dalam melihat dinamika geostrategi kawasan Asia Timur dewasa ini.

Penaklukan dunia secara politik dan ekonomi oleh superioritas peradaban Barat yang dikemukakan ilmuwan Barat mulai luntur pada suatu kenyataan ketika kepentingan negara-negara Barat di tengah reposisi kekuatan negara adidaya, khususnya Amerika Serikat, tak lagi jadi sumber penyelesaian persoalan.

Kita sepakat, terorisme adalah ancaman bagi peradaban, seperti tercermin pada berbagai insiden di Timur Tengah dan Afrika. Atau, ketika berhadapan dengan kekuatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sebagai ekstremnya ekstremisme.

NIIS mampu mengacaukan tatanan peradaban Barat berbasis nilai dan norma hukum, tetapi secara bersamaan menarik minat orang-orang di penjuru dunia untuk bergabung.

Ekstremisme di sisi yang paling ekstrem ini mendapat muatan baru setidaknya dari beberapa sisi. Tak hanya menyelesaikan kekejaman terorisme melalui aspek militer saja, yang tak menunjukkan keunggulan apa pun. Namun, ekstremnya ekstremisme ini mendapat peluang dan dukungan dari orang-orang dengan tingkat kecerdasan setara dengan yang berkembang di negara-negara Barat, menghadirkan taktik dan strategi yang berbeda dengan kelompok terorisme sebelumnya.

Dalam konteks ini, peradaban Ottoman, Tiongkok, dan Nusantara menghadirkan perpaduan konsepsi mengikuti logika kedalaman strategi Doktrin Davutogglu, yang dicetuskan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutogglu dalam bukunya, Stratejik Derinlik: Turkiye'nin Uluslararasi Konumu (Strategi Mendalam: Posisi Internasional Turki), tentang pemikiran lokasi strategis dan kedalaman sejarah.

Ketiga peradaban ini memiliki keunikan khas dan menjadi relevan dalam menopang peradaban baru abad ke-21. Peradaban Ottoman berkembang mengikuti dinamika Selat Bosporus, menghubungkan kawasan Eropa dan Asia serta warisan sejarah Kekaisaran Ottoman. Peradaban Tiongkok dengan kedalaman sejarah selama 5.000 tahun dan garis geopolitik Jalan Sutra, kunci dan penghubung ekonomi dan perdagangan Eropa.

Adapun peradaban Nusantara ditopang dua samudra sebagai kunci geopolitik penting masa lalu dan masa kini, mampu menyerap berbagai macam pengaruh serta titik silang penting berbagai interaksi antarbangsa.

Dalam premis perpaduan peradaban ini, kesetimbangan dinamis menjadi kunci penting ketika berbagai peradaban ini tidak bergantung pada kekuatan aktor geopolitik mana pun, menjaga independensi secara optimal, dan meningkatkan pengaruh secara global dan regional.

Aliansi peradaban seperti ini setidaknya menghasilkan beberapa keunggulan seperti pribumisasi melengkapi keterampilan adat dalam konteks modern, domestifikasi pelengkap bagi masyarakat untuk menggunakan institusi dan teknologi asing, diversifikasi pusat-pusat produk pengetahuan dan budaya global, maupun interpenetrasi melalui kemitraan yang mendalam.

Kemampuan persilangan peradaban ini akan menghimpun aliansi globalisasi secara merata antarbangsa, antarkepercayaan, kerja sama yang dinamis dan damai, sehingga tantangan dan persoalan tatanan dunia baru memungkinkan semua negara memiliki skala sumbangsihnya secara adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar