Senin, 03 Agustus 2015

Mencari Titik Nadir Perekonomian

Mencari Titik Nadir Perekonomian

A Prasetyantoko ;   Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
                                                       KOMPAS, 03 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak orang bertanya, kapan perekonomian mencapai titik nadir dan kembali bangkit? Tak mudah menjawabnya. Dinamika pasar modal dan pasar uang menunjukkan kita belum menyentuh dasarnya. Indeks Harga Saham Gabungan pada akhir minggu lalu mulai naik ke level 4.800-an setelah menyentuh level 4.700-an. Namun, tak ada yang bisa memastikan tak akan melorot lagi. Sementara nilai tukar rupiah masih terus terdepresiasi hingga menyentuh Rp 13.500-an per dollar AS pada akhir perdagangan pekan lalu.

Meski dinamika perekonomian masih tak menentu, paling tidak persepsi publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai membaik. Survei berkelanjutan Litbang Kompas yang dimuat secara serial sejak Senin (27/7/2015) menunjukkan adanya ”titik balik” pemerintahan Jokowi yang sempat merosot beberapa waktu lalu. Pada Januari 2015 tingkat kepuasan publik berada pada angka 61,7 persen, merosot menjadi 53 persen pada April dan kembali naik ke 57 persen pada survei bulan Juli.

Citra Presiden juga mengalami pembalikan siklus. Jika pada Januari angkanya 89,9 persen, pada April turun menjadi 65,2 persen, tetapi bulan Juli kembali naik pada 80,5 persen. Dengan begitu, bisa dikatakan, di mata publik, popularitas Jokowi yang sempat terpuruk perlahan mulai naik kembali.

Secara lebih rinci, persepsi positif masyarakat terjadi akibat perbaikan bidang politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial. Sementara masalah hukum dan ekonomi masih menjadi catatan buruk. Dari situ, fokus agenda kerja ke depan sangat jelas arahnya, yaitu membenahi sisi hukum dan ekonomi. Di bidang ekonomi, masalahnya memang kompleks. Selain persoalan depresiasi nilai tukar dan gejolak di pasar modal, persoalan di sektor riil juga semakin merisaukan.

Laporan keuangan semester I-2015, banyak perusahaan mengonfirmasi pelambatan ekonomi. Di antara kelompok bank besar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan penurunan kinerja paling besar dengan penurunan laba 50,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara laba PT Bank Mandiri (BMRI) Tbk hanya naik tipis 3,5 persen dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hanya naik 1,19 persen.

Penjualan motor dan mobil terkoreksi tajam sehingga laba PT Astra Internasional Tbk (ASII) turun 18 persen. Permintaan kebutuhan pangan juga turun sehingga laba PT Indofood Sukses Makmur (INDF) terkoreksi sekitar 25 persen. Bahkan, penjualan rokok pun melambat. Laba PT Gudang Garam Tbk (GGRM) turun sekitar 11 persen.

Penurunan permintaan tak hanya dialami kelompok bawah, tetapi juga menengah atas. PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), pemilik gerai Ranch Market, Farmer Market, dan Ministop, mengalami penurunan laba 34 persen. Jika kelompok atas saja melambat, apalagi permintaan kelompok menengah bawah. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), pemilik gerai Alfamart, mengalami penurunan laba hingga 57 persen. Secara singkat, pelambatan sudah menyentuh jantung perekonomian kita.

Dinamika pasar keuangan telah merembet ke sektor riil. Selain persoalan stabilitas di pasar keuangan, pelambatan pertumbuhan ekonomi juga menjadi tantangan amat serius bagi pemerintah. Seandainya belanja pemerintah bisa didorong secara maksimal sekalipun, belum tentu pertumbuhan akan terangkat tahun ini, mengingat guncangan pada sektor keuangan masih terus terjadi. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi tak akan lebih dari 5 persen tahun ini.

Meski begitu, dalam survei Kompas ditunjukkan betapa pemerintah di bawah Presiden Jokowi dianggap berhasil mengendalikan harga, memeratakan pembangunan antarwilayah, mengembangkan pasar tradisional, mewujudkan swasembada pangan, serta memberdayakan petani dan nelayan. Sementara persoalan besar ada pada pengendalian nilai tukar.

Bahkan, untuk variabel memeratakan pembangunan antarwilayah serta mengembangkan pasar tradisional, angka kepuasannya melampaui angka survei bulan Januari. Angka kepuasan dalam hal mengembangkan pasar tradisional, jika bulan Januari berada pada 62,6 persen, sempat turun sedikit menjadi 62 persen pada April dan melejit menjadi 68,9 persen pada Juli. Artinya, masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap upaya pemerintah dalam program-program kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, ”intervensi” yang dilakukan Jokowi berhasil baik.

Melihat fakta ini, tak berlebihan jika secara umum pemerintahan Jokowi masih menjanjikan. Inilah momentum sangat baik bagi Jokowi untuk mengonsolidasikan pemerintahan agar lebih solid, efektif, dan terus menciptakan kinerja positif. Tantangan jangka pendek kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan terjadi pada September nanti menjadi ujian penting. Jika berhasil dilalui, dan kecemasan pasar mereda, di situlah ruang pelonggaran moneter terbuka. Suku bunga bisa sedikit diturunkan dan pelambatan ekonomi tak berlanjut.

Harapannya, baik persepsi publik maupun pemburukan ekonomi sama-sama telah melewati titik nadir. Sekarang saatnya berbenah menyiapkan momentum 2016 di mana perekonomian bisa lebih ekspansif. Dalam konteks inilah penataan ulang kabinet harus ditempatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar