PinPinBo
Samuel Mulia ;
Penulis kolom “Parodi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
02 Agustus 2015
Seorang teman lama terbaring di rumah sakit, dengan wajah
yang semringah. Ia kelihatan supersehat, tak ada gambaran kalau ia menderita.
Padahal, kondisi jantungnya mengalami penyempitan di tiga tempat. Maaf. Dua
tempat mengalami penyempitan sebesar 30 persen dan 60 persen, satu tempat
lagi sudah tersumbat 100 persen.
Anda jangan tanya berapa kadar kolesterol dan asam urat di
dalam darahnya. Dan jangan bertanya apakah selama ini ia berolahraga. La wong saya mendengar ceritanya yang
disampaikan dengan wajah sehat walafiat itu tidak merasa iba, tetapi malah
menimbulkan reaksi marah.
Jangan sampai kecewa
Saya itu marah bukan karena ingin marah. Alasan pertama
saya marah karena saya tak ingin ia mengalami yang saya alami, menyia-nyiakan
hidup dengan cara yang tidak disiplin. Alasan berikutnya, saya marah karena
saya tahu dia itu orang pandai, otaknya encer, pengalaman profesionalnya
tokcer, menguasai beberapa bahasa asing, manusia yang suka gawai dengan
segala teknologinya.
Ia bahkan mampu membenarkan komputer rusak dengan
kerumitan permasalahannya, kok yaaa… mengurus komputer bisa, mengurus
badannya enggak bisa. Kok yaaa… gawai disayang-sayang, perusahaan dicintai
setengah mati, kerja pontang-panting, karier dikejar, kok bisa dengan otak
encer itu tidak malah memilih untuk pontang-panting menyayangi dan mencintai
diri sendiri setengah mati. Bukan katanya, siapa lagi yang bisa mencintai
diri sendiri kalau bukan kita sendiri. Ya, kan?
Malam waktu saya menjenguknya, di tengah mulut saya yang
tak berhenti bicara, saya langsung mengatakan kepadanya: ”Kamu itu orang yang
pin-pin bo. Pintar-pintar bodoh.” Pintar-pintar bodoh itu adalah sebuah
perilaku yang dilakukan orang yang pandai, tetapi dengan rela hati memilih
untuk menjadi bodoh dengan menelantarkan tubuhnya sendiri dan menggunakan
sejuta alasan agar kebodohannya bisa dianggap sebagai sebuah kepandaian dan
kebenaran.
Di dalam ruang tempatnya berbaring, saya seperti sedang
mengajar murid yang bandelnya setengah mati. Mengapa saya melakukan ”kuliah
malam” itu? Karena saya itu pernah tidak mengurus kesehatan dengan baik.
Karena saya itu selalu berpikir bahwa saya tak akan pernah sakit. Karena pada
akhirnya saya pernah merasakan yang namanya nyaris meninggal.
Kalau meninggal dalam keadaan sudah melakukan pekerjaan
rumah, itu tak jadi masalah dan tak menimbulkan kekecewaan. Yang menimbulkan
kekecewaan itu adalah kalau harus meninggal dalam keadaan belum sempat mengerjakan
pekerjaan rumah. Dan kemudian menyesal di menit terakhir sambil berucap
lirih. ”Seandainya dari dulu saya itu gini, saya itu gitu, saya itu
ginigitu.”
Jangan sampai tidak mencintai
Maka saya tak ingin teman saya menyia-nyiakan hidupnya
yang masih produktif itu. Apalagi dengan teknologi sekarang, dengan gawai
yang ada 24 jam di genggaman, dan teman saya memiliki dua gawai sekaligus di
tangannya, ia bisa mengetahui sejuta informasi yang berhubungan dengan dunia
kesehatan.
Saya yakin ia lebih banyak menggenggam gawainya daripada
menggenggam tangan orang yang mencintainya Saya itu pernah tersenyum membaca
sebuah pesan. Begini. I wish you look at me like the way you look at
Instagram. Maka pentingnya menjadi sehat itu karena, selain bisa lebih banyak
menggenggam gawai, bisa lebih banyak menggenggam manusia yang mencintai kita.
Karena menjadi sehat itu, kita bisa melihat berjuta kali orang yang kita
cintai seperti kita bisa melihat sejuta posting-an di media sosial.
Karena menjadi sehat itu adalah seperti mengatur kondisi
keuangan. Tak ada di dunia ini ada manusia yang mau miskin dan sengsara.
Hanya saja, waktu menjalani keinginan itu yang dipikirkan lebih banyak
memberi porsi pada ketidakmauan menjadi sengsara secara keuangan, bukan pada
ketidakmauan sengsara secara kesehatan.
Menjadi sehat itu membuat seseorang bisa menjadi manusia
yang produktif. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang
lain. Jadi, secara tak langsung, menjadi tidak sehat itu sungguh perbuatan
yang egois. Karena sebagai makhluk sosial, saya juga harus bisa mempunyai
kegiatan sosial yang artinya melakukan sesuatu untuk orang lain.
Nah, untuk melakukan kegiatan untuk membantu orang lain
dan menjadi tidak egois, tidak bisa bermodalkan kadar asam urat dalam darah
sampai mencapai nilai 13 sehingga jalan saja kesakitan atau malah tidak bisa
jalan sama sekali.
Apalagi buat mereka yang sudah menikah dan memiliki
tanggungan, menjadi tidak sehat itu adalah beban yang Anda berikan di bahu
anak-anak dan pasangan Anda. Itu egois banget namanya meski Anda bisa
membelikan mereka mobil mewah dan tanah sekian hektar.
Menjadi sehat itu mudah sekali, masalahnya bukan soal mau
atau tidak mau, persoalan terbesarnya adalah saya dan Anda harus mengerti
bahwa mencintai diri sendiri terlebih dahulu itu adalah penting sekali. Sehat
itu diawali dari mencintai, bukan dari membaca buku atau mendengar nasihat
orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar