Pilkada Tertusuk Duri
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar FH Universitas
Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 05 Agustus 2015
Memilih, bukan mengangkat dan atau
menetapkan pemimpin, yang disepakati oleh sebuah bangsa sebagai cara mengisi
jabatan tunggal presiden, gubernur, bupati, dan wali kota atau jamak anggota
DPR dan lainnya adalah sebuah aksioma konstitusionalisme universal.
Cara itu baik memilih atau
disepakati merupakan buah manis perubahan radikal atas eksistensi setiap
orang. Status otonom merdeka yang semula hanya disematkan kepada segelintir
orang berubah menjadi dimiliki oleh semua orang. Karena itulah, perihal siapa
yang memerintah, bagaimana caranya, berapa lama, bagaimana dan siapa yang
membiayainya muncul menjadi soal fundamental dalam perspektif
konstitusionalisme.
Memilih, bukan mengangkat atau
menetapkan, akhirnya muncul menjadi satu-satunya pilihan paling sesuai dengan
hakikat baru eksistensi semua orang sebagai orang merdeka.
Tertusuk
Pada titik inilah, calon tunggal
pada pemilihan kepala daerah kali ini menarik untuk dikenali. Bukan lantaran
calon tunggal itu sendiri, melainkan mengapa hanya ada calon tunggal di
tengah belantara partai politik. Apakah hal itu dirangsang oleh hasrat partai
politik atau figur-figur kunci dalam partai politik untuk memastikan
cengkeraman partai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Apakah partai politik tak memiliki
jagoannya sendiri? Meminta jawaban pasti dari partai jelas mustahil. Bukan
disebabkan tak ada jawaban yang tersedia, melainkan politisi selalu cerdas
menemukan jawaban imajiner untuk disodorkan. Jawaban-jawaban itu, bila
muncul, bukan tak mungkin tak mengharuskan setiap orang sesekali bingung nan
pusing alang-kepalang.
Bukan tak ada jagoannya sendiri,
melainkan mengapa ramai-ramai dukung satu orang? Tak ada yang salah dengan
calon tunggal sebab hanya dia yang ada di hati pemilih. Tak ada yang salah
dengan calon tunggal. Walau hukum pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota
menyediakan jalan lain, jalan independen, tak ada yang menggunakannya.
Mungkin itulah sekelumit jawaban
yang akan diperoleh dari jagoan-jagoan partai politik atas soal di atas. Di
tengah kerumitan menemukan argumen yang tepat atas soal calon tunggal, sulit
pula menemukan argumen yang tepat atas kandidat yang diusulkan oleh partai
yang sedang bersengketa.
Sungguh pun konstitusionalisme
Indonesia, terutama dalam soal pemilihan, umum atau tidak, terbiasa
mendemonstrasikan argumen fungsional dalam membenarkan setiap kebijakan
penyelesaian sebuah soal, tetap saja soal ini menusuk konstitusionalisme.
Pemilihan kepala daerah, betapa
pun sering dianggap sebagai peristiwa politik, itu sama sekali tak
menghapuskan sifat peristiwa itu sebagai peristiwa hukum tata negara.
Sengketa partai, sejauh ini, tidak lain adalah sengketa keabsahan
kepengurusan. Intinya sengketa tentang kepengurusan yang sah dan kepengurusan
yang tidak sah.
Saat ini sengketa itu belum
selesai karena belum ada putusan hakim terakhir. Dalam hukum berlaku prinsip judicis
posteribus fides est adhibenda; kepercayaan diberikan kepada keputusan yang
paling akhir. Faktanya keputusan akhir itu saat ini belum ada. Politisi di
mana pun sama saja. Mereka berjanji membangun jembatan, bahkan ketika tidak
ada sungai, kata Nikita Khrushchev sebagaimana dikutip KORAN SINDO (25/7/15).
Apakah kata-kata itu menandai
banyak akal sebagai ciri politisi? Entahlah. Tetapi, diam seribu bahasanya
partai politik atas dimungkinkannya partai yang bersengketa mendaftarkan
calonnya dalam pilkada kali ini menarik. Sungguh sulit untuk tak
mempertimbangkan betapa kenyataan itu menandai konstitusionalisme tertusuk
duri tahu sama tahu.
Kardus
Konstitusionalisme atau demokrasi
tak akan ada, mati konyol, kala pemimpin tak lagi dipilih rakyat. Sebagai
antitesis dari ”pengangkatan dan penetapan” yang menjadi ciri dalam monarki
absolut, pemilihan, umum atau tidak, harus diusahakan terus-menerus.
Partai politik, betapa pun sejak
awal pertumbuhannya tidak banyak yang menyukainya, terus dipakai sebagai cara
mengelola konflik, mengonsolidasi kepentingan-kepentingan faksionalis sembari
membalutnya dengan kepentingan umum, harus memastikan bahwa ”memilih” tidak
sama, baik dalam arti fungsional maupun substansial, dengan ”menetapkan.”
Mengangkat atau menetapkan, apa
pun argumen praktisnya, termasuk dan tidak terbatas pada argumen bahwa rakyat
menyukai yang bersangkutan, jelas membelakangi akal sehat. Menemukan jalan
keluar, sebisa mungkin setara dengan akal sehat, terus terang menjadi
tanggung jawab jagoan-jagoan parpol.
Andai jalan keluar paling ternalar
dan pantas saat ini tetap saja dirasa tak cukup, segeralah menemukan jalan
keluar lainnya. Bila jalan keluar lain itu menjadikan kardus air mineral atau
kardus ember sebagai peserta pilkada, jelas menggelikan. Sama menggelikannya
bila kerbau akhirnya ditemukan dan disepakati sebagai jalan keluar dalam
memecahkan problem konstitusional calon tunggal itu.
Bila kardus air mineral dan ember
dijadikan subjek hukum, kerbau pun layak jadi subjek hukum. Kardus air
mineral atau kardus ember atau kardus dodol memang bisa saja dikreasi menjadi
subjek hukum pilkada, tetapi, sekali lagi, kreasi itu tidak memiliki padanan
argumen dengan kreasi menjadikan korporasi atau partai politik sebagai subjek
hukum.
Korporasi jelas bukan manusia,
begitu juga parpol. Tetapi, karena sekumpulan orang, yang tidak lain adalah
subjek hukum-pendukung hak dan kewajiban - dalam lalu lintas hukum, cukup
ternalar mengonstruksi korporasi menjadi subjek hukum. Unsur itulah yang
tidak dimiliki kardus air mineral, ember, dan kerbau.
Tetapi, andai politisi membabi
buta memastikan bekerjanya tesis Churchil yang terkenal dalam panggung konstitusionalisme
Inggris era 30-an yakni kehilangan momentum bukan hanya akan menyebabkan anda
akan berhenti, melainkan akan jatuh sehingga tetap saja menjadikan
kardus-kardus sebagai subjek hukum jelas konyol. Hasilnya adalah manusia lawan
kardus. Itu hanya masuk akal dalam konstitusionalisme kardus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar