Minggu, 09 Agustus 2015

Calon Tunggal versus Bumbung Kosong

Calon Tunggal versus Bumbung Kosong

Titi Anggraini ; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
                                                  KORAN SINDO, 05 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 secara eksplisit mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diikuti sekurang-kurangnya dua pasangan calon (paslon).

Ketentuan inilah yang di kemudian hari menimbulkan diskursus dan perdebatan dalam penyelenggaraan pilkada serentak gelombang pertama pada 2015. Siapa nyana, pilkada serentak yang akan diadakan pada 9 Desember 2015 mendatang menyisakan beberapa daerah yang hanya memiliki calon tunggal atau hanya satu paslon yang mendaftar selama masa pencalonan berlangsung.

Berdasarkan data yang dirilis KPU RI per 3 Agustus 2015, dari 269 daerah (meliputi 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten) yang akan menyelenggarakan Pilkada 2015, ada tujuh daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Tujuh daerah tersebut meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kota Surabaya, Kabupaten Blitar, Kabupaten Pacitan, Kota Mataram, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kota Samarinda.

Jumlah tersebut menyusut dibandingkan jumlah daerah dengan calon tunggal pada tahap pertama masa pendaftaran calon. Tahap pertama masa pendaftaran calon sejatinya berlangsung pada 26-28 Juli 2015. Saat penutupan masa pendaftaran yaitu 28 Juli 2015 pukul 16.00 waktu setempat tercatat ada 12 daerah dengan calon tunggal dan satu daerah yaitu Bolaang Mongondow Timur bahkan tidak ada calon mendaftar sama sekali.

Atas kondisi itu, KPU lalu memperpanjang masa pendaftaran selama tiga hari dengan didahului sosialisasi kepada partai politik mengenai perpanjangan masa pendaftaran. Sayangnya, setelah memperpanjang masa pendaftaran pada 1-3 Agustus 2015, ternyata tetap saja menyisakan tujuh daerah dengan calon tunggal.

Pasal 89 Peraturan KPU No 12 Tahun 2015 mengatur, apabila sampai berakhirnya perpanjangan masa pendaftaran hanya terdapat satu paslon atau tidak ada paslon yang mendaftar, KPU setempat menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan pemilihan diselenggarakan pada pemilihan serentak berikutnya yaitu pada 2017.

Kebijakan KPU menunda pilkada dengan calon tunggal sampai 2017 ini didasari pertimbangan untuk menyesuaikan dengan gelombang atau siklus waktu penyelenggaraan pilkada serentak yang sudah diatur spesifik dalam UU No 8 Tahun 2015.

Pilkada serentak diselenggarakan berkala mulai Desember 2015, Februari 2017, Juni 2018, 2020, 2022, dan 2023, sampai akhirnya pilkada serentak nasional pada 2027 (vide Pasal 201). Logika KPU, kalau daerah ”gagal” menyelenggarakan pilkada serentak pada 2015, daerah tersebut mengikuti siklus pilkada serentak berikutnya yaitu terdekat pada Februari 2017. ***

Menyikapi persoalan calon tunggal ini, dalam pandangan penulis ada beberapa hal yang semestinya dielaborasi dan dijadikan pertimbangan pembuat kebijakan sebelum sertamerta memutuskan untuk menunda seluruh tahapan dan melanjutkan pemilihan ke pilkada serentak berikutnya.

Pertama, prosedur dan aturan main yang ada dalam peraturan perundang-undangan dan praktik penyelenggaraan tahapan pilkada telah membuka ruang pendaftaran kepada semua parpol dan calon secara adil, setara, dan tidak ada yang diperlakukan berbeda atau diskriminatif.

Kedua, pencalonankandidatdalam pilkada merupakan hak partai politik yang pelaksanaannya tidak bisa dipaksa dan merupakan keputusan bebas mereka untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya tersebut.

Ketiga, ketidakmampuan atau ketidakmauan partai politik dalam mengusung calon semestinya bukan menjadi beban konsekuensinya harus ditanggung penyelenggara apalagi masyarakat.

Keempat, hak konstitusional warga negara untuk mengoreksi kepemimpinan lokal dalam siklus lima tahunan pilkada mestinya merupakan sesuatu yang harus dijamin dan dilindungi pembuat kebijakan.

Kelima, hak konstitusional warga negara (sebagai calon) yang siap berkompetisi untuk dipilih dalam pilkada dengan aturan yang adil dan setara tidak boleh dicederai oleh ketidakmampuan atau ketidakmauan parpol lain dalam mengusung kandidat.

Mempertimbangkan hal di atas, dengan mengutamakan agar hak koreksi masyarakat atas kepemimpinan daerah melalui pilkada tetap berjalan, tetap melanjutkan tahapan pilkada merupakan pilihan yang rasional.

Toh, tahapan pilkada sudah berjalan sesuai prosedur, mekanisme dan segala aturan sudah diberlakukan, calon pun tersedia. Tidak ada bencana alam, tidak ada gangguan keamanan, ataupun tidak ada gangguan anggaran sehingga tahapan pilkada harus dihentikan.

Masalahnya cuma satu, calonnya hanya calon tunggal. Bagaimana cara melanjutkan pilkada? Adalah dengan memberi lawan tanding kertas kosong atau yang dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa (pilkades) sering disebut dengan bumbung kosong.

Mengadu calon tunggal dengan lawan tanding bumbung kosong ini bertujuan agar kontestasi tetap berlangsung dan publik tetap punya mekanisme koreksi atas calon yang ada. Selain itu, bumbung kosong ini juga sudah ada presedennya dalam sirkulasi elite lokal kita meski dalam level pilkades.

Sederhananya, ada konvensi atau kebiasaan yang sudah kita terapkan dalam dinamika ketatanegaraan kita meski baru pada tingkat desa. Dengan melawan bumbung kosong, elektabilitas dan legitimasi calon tunggal diuji. Apakah benar pilihan parpol sejalan dengan pilihan publik, apakah calon tunggal terjadi secara alamiah ataukah karena desain dan rekayasa parpol.

Hal itu bisa dijawab dari hasil kontes calon tunggal dengan bumbung kosong. Tentu calon tunggal akan bekerja meyakinkan pemilih bahwa dia adalah pilihan yang tepat bagi pemilih. Dengan begitu, calon tunggal akan tetap dipaksa berkampanye dan menyampaikan visi-misinya meski lawannya bumbung kosong.

Rekam jejak yang amat buruk bagi parpol, gabungan parpol, atau calon jika kalah dari bumbung kosong. Apakah mungkin calon tunggal kalah dari bumbung kosong? Hal ini bisa saja terjadi. Dalam penyelenggaraan pilkades, berkali-kali kejadian ada calon tunggal yang kalah dari bumbung kosong.

Pada 2013 misalnya saja bumbung kosong menang dalam pilkades yang diulang untuk ketiga kalinya di Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Yogyakarta. Bagaimana dengan pilkada? Mekanismenya dibuat sama saja dengan pilkades. Kalau bumbung kosong menang, calon tunggal dinyatakan tidak berhak untuk mengikuti pemilihan selanjutnya.

Tahapan pendaftaran calon dibuka kembali dan memberi ruang kepada pihak lain untuk mendaftar pilkada. Dengan demikian, akan muncul caloncalon baru yang bisa saja saat proses sebelumnya tidak mendapat ruang karena konstelasi parpol yang dikuasai kelompok tertentu, dan yang terpenting pemilih terlibat dalam untuk menentukan proses ini. ***

Karena undang-undang maupun peraturan KPU tidak memberi ruang bagi kehadiran calon tunggal versus bumbung kosong ini, harus disediakan dasar hukum yang bisa menjamin penerapannya dalam pilkada. Dasar hukum tersebut mestinya berbentuk undangundang.

Namun, melakukan revisi undang-undang di tengah kemendesakan waktu untuk menjamin agar semua daerah yang dijadwalkan menyelenggarakan pilkada serentak pada 2015 ini tetap bisa berlangsung sesuai rencana tentu akan sulit untuk dilakukan. Bukan saja karena butuh waktu dan proses, bisa saja nanti pembahasannya malah lari ke mana-mana.

Cara paling mungkin adalah Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu bisa hadir menjawab persoalan ini secara cepat. Perppu ini akan jadi mekanisme proteksi untuk melindungi hak konstitusional pemilih dan calon atas pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.

Perppu juga perlu untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada. Kalaupun pilkada terus ditunda karena ada calon tunggal, saat pendaftaran berikutnya dibuka kembali tak ada jaminan juga bahwa tidak terjadi lagi calon tunggal. Akhirnya calon tunggal versus bumbung kosong bukanlah ironi demokrasi. Dia menjadi mekanisme untuk menguji.

Menguji apakah calon tunggal hadir secara alamiah karena kehendak demokratis partai politik. Ataukah, dia hadir sebagai bagian dari rekayasa politik untuk menjegal calon berkualitas hanya karena parpol tidak siap berkompetisi secara adil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar