Perbaikan Kebijakan BBM
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen
FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS,
05 Agustus 2015
Hingga akhir Juli 2015, Pertamina
dikatakan mengalami kerugian hingga Rp 12 triliun dalam penjualan BBM,
khususnya premium dan solar. Kerugian disebabkan Pertamina harus menalangi
selisih harga keekonomian bahan bakar minyak dan harga jual BBM yang
ditetapkan dan diberlakukan pemerintah. Ini yang menyebabkan harga BBM saat
ini tak akan diturunkan—bahkan mungkin dinaikkan—meski harga minyak dunia
saat ini turun menyentuh 47 dollar AS per barrel, yang merupakan level
terendah dalam enam bulan terakhir.
Dalam masalah ini, Pertamina jadi
”korban”, publik jadi bingung karena logika sederhana kemudian menjadi tampak
rumit. Lalu muncul istilah baru, oil fund, dari pemerintah, semacam dana
untuk stabilitas BBM, yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan
mekanismenya. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?
Menurut saya karena dua hal.
Pertama, kebijakan BBM yang parsial. Kedua, inkonsistensi dalam implementasi
kebijakan yang parsial itu.
Disebut parsial karena saat
pemerintahmenurunkan harga BBM pada November 2014, diikuti penurunan pada
bulan selanjutnya, dan tak lagi menyubsidi premium dan menerapkan subsidi
tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, pemerintah tidak melengkapi kebijakan
tersebut dengan menyiapkan bantalan fiskalnya di APBN. Inkonsisten karena
penyesuaian naik-turun harga BBM yang semula dilakukan dalam dua minggu
hingga satu bulan mengikuti pergerakan faktor utama yang memengaruhinya
(harga minyak dunia dan kurs rupiah) tidak lagi dilakukan dengan pola yang
sama, dengan alasan masyarakat belum siap dengan kebijakan itu.
Pada titik itu sebenarnya terlihat
bahwa yang lebih tidak siap adalah pemerintah sendiri, bukan masyarakat.
Pemerintah tak siap dengan bantalan fiskal BBM di APBN sehingga kemudian
Pertamina yang harus menjadi ”bantalan” dan baru belakangan memunculkan
istilah yang tampak baru, oil fund,yang secara esensi tidak lain adalah bantalan
fiskal BBM itu sendiri. Juga tidak siap dalam menakar kondisi
sosial-ekonomi-politik masyarakat dengan baik sehingga dalam menetapkan
periode evaluasi dan penyesuaian harga tidak memiliki pola yang jelas.
Maka, pemerintah yang perlu lebih
jelas dan tegas dalam hal kebijakan BBM. Apakah sebenarnya premium memang
bebas subsidi dan solar disubsidi tetap, ataukah sebenarnya keduanya masih
disubsidi APBN dengan pola yang sama seperti pemerintahan sebelumnya? Jika
yang dipilih adalah terobosan kebijakan seperti yang pertama, setidaknya dua
hal perlu segera diperbaiki.
Pertama, bantalan fiskal BBM
sejumlah tertentu perlu dianggarkan secara jelas di APBN. Ini untuk
mengantisipasi ketika penyesuaian harga karena sesuatu dan lain hal tidak
dapat dilakukan. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban bantalan fiskal di APBN
jelas lebih baik dan memiliki landasan payung hukum yang lebih jelas
dibandingkan menggunakan Pertamina sebagai bantalan atau oil fund yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan
mekanismenya.
Kedua, konsistenlah dalam
menerapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga BBM sehingga dapat
memberikan pola yang lebih mudah diterima dan ditangkap oleh masyarakat
ataupun perekonomian secara keseluruhan. Tiga atau enam bulan, seperti yang
belakangan pemerintah wacanakan, kiranya jauh lebih bijak daripada periode
dua minggu hingga satu bulan yang sebelumnya diterapkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar