Orang di Balik Layar
James Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
04 Agustus 2015
Tepat 48 tahun lalu, 4 Agustus
1969, berita ”Rakyat Irian Barat Tetap Memilih Indonesia” muncul sebagai
berita utama di halaman pertama harian Kompas. Dua hari sebelumnya, 2 Agustus
1969, rakyat Irian Barat (kini Papua), melalui Penentuan Pendapat Rakyat yang
dilaksanakan di bawah pengawasan PBB, memilih untuk bergabung dengan
Indonesia ketimbang Belanda.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
merupakan pelaksanaan dari Kesepakatan New York (New York Agreement) antara Indonesia dan Belanda di PBB, 15
Agustus 1969.
Keputusan rakyat Irian Barat untuk
bergabung dengan Indonesia itu tidak datang tiba-tiba, tetapi melalui
perjuangan panjang yang melibatkan banyak orang, termasuk putra-putra daerah
Irian Barat. Mereka, antara lain, adalah Ketua Organisasi Pembebasan Irian
Barat Johannes Abraham Dimara dan rekan-rekan, Frans Kaisiepo (Gubernur Irian
Barat), Dirk Ajamiseba (DPRD-GR), dan Lucas Jouwe (anggota DPR-GR asal Irian
Barat).
Sementara di dunia diplomasi
muncul juga sejumlah nama, seperti Menteri Luar Negeri Sunarjo, Menlu
Soebandrio, Menlu Adam Malik, dan Pembantu Khusus Menlu Urusan Irian Barat
Sudjarwo Tjondronegoro serta A Sani dan Roeslan Abdulgani.
Dan, di dalam pertempuran Operasi
Trikora untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia, yang dicanangkan
oleh Presiden Soekarno di Alun-alun Utara Yogyakarta, 19 Desember 1961,
muncul juga beberapa nama, seperti Benny Moerdani, Ben Mboi, Soeharto, Leo Wattimena,
Yos Sudarso, dan Sudomo.
Tidak
mudah
Keberhasilan Indonesia mendapatkan
Irian Barat dari tangan Belanda itu sungguh tidak mudah. Diperlukan waktu 24
tahun. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945. Saat itu,
Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk Irian Barat,
sebagai wilayahnya. Namun, Belanda tak mau mengakui klaim itu dan berupaya
untuk kembali menguasai Indonesia melalui Aksi Polisionil I (21 Juli-5
Agustus 1947) dan Aksi Polisionil II (19 Desember 1948-5 Januari 1949).
Setelah melalui Perjanjian
Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), Perjanjian Roem-Royen (1949),
serta kecaman PBB atas aksi polisionil Belanda itu, akhirnya Indonesia
bertemu dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 22
Agustus 1949-2 November 1949.
Dalam Konferensi Meja Bundar itu,
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, tetapi khusus mengenai Irian Barat
disepakati untuk menunda pembahasannya selama satu tahun. Namun, karena
Belanda terus menunda pembahasan tentang Irian Barat, akhirnya pada 1954,
Perwakilan Tetap Indonesia di PBB memasukkan masalah Irian Barat ke dalam
Agenda PBB.
Tak adanya tanggapan yang memadai
dari Belanda membuat Presiden Soekarno mencanangkan Operasi Trikora (Tri
Komando Rakyat). Operasi itu berakhir pada 15 Agustus 1962 saat Indonesia dan
Belanda menandatangani Kesepakatan New York yang isinya Belanda menyerahkan
Irian Barat kepada PBB, dalam hal ini United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Kesepakatan itu menetapkan, sebelum
akhir tahun 1969 akan diselenggarakan Pepera. Utusan Khusus Sekjen PBB Ortiz
Sanz sempat meributkan kecurangan yang dilakukan Indonesia dalam pelaksanaan
Pepera. Namun, atas tekanan Amerika Serikat, akhirnya Sidang Majelis Umum
PBB, 19 November 1969, menyetujui hasil Pepera dan Irian Barat tergabung
dalam Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar