Rabu, 05 Agustus 2015

NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika

NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika

Yudi Latif ;   Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                       KOMPAS, 04 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berlangsung di tengah kemarau etika-spiritual yang melanda kehidupan bernegara. Kebebasan demokratis selama 15 tahun terakhir mempercanggih politik sebagai teknik, tetapi memundurkan politik sebagai etik. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa, seperti keadaban, responsibilitas, keadilan, dan integritas, runtuh.

Semua mata menunggu dengan harap-harap cemas bagaimana muktamar kedua ormas keagamaan terbesar itu berjalan. Masih adakah sumur keteladanan yang tersisa di tengah dahaga jutaan rakyat yang menanti tetes-tetes air harapan?

Tidak berlebihan jika kita berharap banyak dari NU-Muhammadiyah. Keduanya dapat dikatakan sebagai reservoir etika republik. Keduanya berinvestasi banyak dalam menyemai benih kehidupan etis sebelum republik berdiri. Keduanya juga menempatkan wakilnya dalam perumusan dasar negara dan konstitusi negara pertama.

Wakil dari kedua ormas dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan gigih memperjuangkan prinsip ketuhanan sebagai salah satu sila yang harus diutamakan dalam dasar negara. Tentu jadi pertanyaan, mengapa untuk urusan negara modern, prinsip ketuhanan yang bersifat meta-rasional perlu dilibatkan dalam urusan publik yang semestinya bersifat rasional?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menoleh ke buku A Study of History karya sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Lewat buku ini, ia melacak faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20 peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara (dan peradaban) tanpa landasan etika-spiritual ibarat bangunan istana pasir.

Studi Toynbee itu mengisyaratkan ada hubungan erat nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban. Samuel Huntington dalam Who Are We? menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan Uni Soviet. Di AS, urainya, ”Agama telah dan masih menjadi sesuatu yang sentral dan barangkali identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006), geografi peradaban yang mampu bertahan adalah yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam (2006) mewakili ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam memengaruhi demokrasi.

Ada faktor budaya yang dipengaruhi agama yang jadi rintangan bagi kemajuan. Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan, faktor keyakinan memberi kontribusi penting dalam proses demokrasi. Banyak faktor yang ikut memengaruhi sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana menjadi pendorong kemajuan jadi hal yang harus dipertimbangkan.

Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup yang berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan dan menghancurkan. Kata sacred (Latin, sacer) itu bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual dan moralitas, keberagamaan jadi mandul, kering, dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif. Tanpa penghayatan etika-spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman ke luar.

Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaan saat agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, keluhuran budi pekerti, kasih sayang, dan perawatan justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan, keserakahan, dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, pragmatisme, permusuhan, dan intoleransi.

Pada titik ini, Muktamar NU-Muhammadiyah merupakan pertaruhan besar tentang jangkar kehidupan etis di negara ini. Kebanggaan tentang wajah Islam Nusantara yang ramah, etis, dan estetis harus dibuktikan agar tidak berhenti sebagai pepesan kosong dan agar bangsa ini masih bisa menanti datangnya hujan di tengah krisis kemarau etika yang berkepanjangan.

Untuk keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional, tetapi juga transformasi etika-spiritual. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita percaya, tetapi pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas dan spiritualitas dalam kehidupan agama dan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar