Kamis, 06 Agustus 2015

Dimensi Puitis dan Kultural Islam Nusantara

Dimensi Puitis dan Kultural Islam Nusantara

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe; Aktivis Muda NU
                                                       KOMPAS, 04 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa itu Islam Nusantara? Secara sederhana ialah proses penghayatan dan pengamalan Islam melalui pengalaman lokalitas umat yang tinggal di Nusantara. Dimensi kultural tentu ikut memengaruhi nilai keislaman tersebut.

Contoh pengalaman saya berpuasa pada 7 Juli lalu. Saya berbuka puasa dengan gulai pliek u, gulai sayur khas Aceh dengan 40 jenis sayuran, bumbu, dan rempah plus kerupuk kulit sapi. Gulai pliek u itu disandingkan dengan telur asin, ikan tongkol sambalado, dan kerupuk emping dari Beureunun, Pidie. Hidangan pembukanya kanji rumbi waled dan lemang cunda yang sangat terkenal di Lhokseumawe.

Saya tidak berbuka dengan kurma karena memang kurang suka manis. Saya juga memilih minum kopi Sidikalang, bukan air zamzam. Di samping harga air zamzam relatif mahal, banyak produk kemasan zamzam dipalsu. Saya pikir kebahagiaan dan spiritualitas saya berbuka dengan makanan itu tak berkurang meskipun tak ada kurma, yoghurt, air zamzam, dan sup susu daging domba yang biasa disajikan kepada jemaah umrah di Madinah.

Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW di tanah Arab abad ke-7 Masehi, adalah kelanjutan dari "agama-agama Ibrahim".  Secara teologis, Islam bukan agama serta-merta, tapi berdialektika dengan keyakinan yang pernah ada sebelumnya. Demikian pula Islam pasca-Nabi Muhammad pun berkembang semakin kompleks setelah jauh tersebar di luar Timur Tengah.

Islam masuk pertama kali ke Nusantara abad ke-9 M (840) di Perlak, Aceh Timur. Namun, baru empat abad kemudian Islam menjadi sebuah peradaban, yaitu melalui kehadiran Kerajaan Samudera Pasai, Aceh Utara (1270), yang awalnya adalah kerajaan Hindu. Raja pertamanya Meurah Silue masuk Islam dan berganti gelar menjadi Malik as-Salih (Raja yang Bijaksana). Populisme Islam-lah yang memikat Meurah Silue untuk menjadikan Islam agama resmi kerajaan.

Dari Aceh, Islam menyebar ke seluruh Nusantara meskipun tak semua jalur berasal dari Aceh. Migrasi Islam ke Nusantara bervariasi, mulai dari India Barat (Gujarat), Yaman, Persia, Tiongkok, dan Champa (Vietnam) (Sumanto al-Qurtuby, 2003). Kronika Islamisasi dilakukan melalui jalan kultural dan tidak melalui penaklukan. Pendekatan akulturasi yang dilakukan Sunan Kalijaga, seperti digambarkan di dalam buku Clifford Geertz, Islam Observed (1968), menunjukkan keunggulan Islam Nusantara dibandingkan Maroko. Islam masuk ke Jawa tidak dengan praktik dogma ketat, tetapi melalui pendekatan simbol-simbol lokal, sinkretisme, dan folklor.

Meskipun pada awal abad ke-20 muncul gerakan politik pemurnian Islam, hal itu tidak sampai mengarah pada revolusi dengan trauma sosial mendalam. Pada beberapa fase sejarah terjadi gesekan antara gerakan Islamis, sosialis, dan nasionalis seperti tahun 1926, 1948, dan 1965. Namun, jika dilihat problem utamanya adalah politik-ekonomi dibandingkan murni agama.

Jika akhirnya muktamar Nahdlatul Ulama 1-5 Agustus mengambil tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia" itu tak lain mengafirmasi aspek historisitas, lokalitas, dan kultural bangsa ini di dalam perjumpaannya dengan Islam. Tema itu juga tepat karena konflik Timur Tengah ikut berdampak ke Indonesia akhir-akhir ini. Ide Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan kekuasaan Islam di dalam satu imperium (khilafah) telah memesona sebagian umat Islam di Indonesia. Lemahnya pendidikan, kemiskinan, dan kefrustrasian sosial menjadi  pemicu. Padahal, keterpukauan itu semacam sakit sejarah karena melupakan asal-usul Islam di Indonesia yang harmoni dalam perbedaan.

Dimensi puitis

Penabalan kata "Nusantara" bukan sekadar penegasan nama tempat atau nomina, melainkan lebih penting, penjelasan adjektiva atau kualitas Islam "di sini" yang berbeda dengan Islam "di sana". Jika dalam rentang satu milenia Islam di Indonesia bisa kokoh secara simbolis, kultural, dan lokal, mengapa pula kita perlu mengorbankan hal-hal besar itu untuk kepentingan politik Islamisasi sesaat? Sejarah Islam Nusantara itu pun ikut memengaruhi peradaban Islam Melayu di Asia Tenggara.

Keberhasilan Islam jadi agama Nusantara yang damai tak dapat dilepaskan dari daya adaptasi dan resiliensi pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan lokal. Kredo teologis yang serba melangit itu bertemu dengan dimensi kultural masyarakat dan beresonansi melalui pengetahuan lokal.

Di Nusantara, keberadaan Islam bukan hanya agama, melainkan juga kebudayaan ketika ia bisa kawin dan menjadi peradaban Melayu tinggi. Kitab-kitab yang ditulis ulama-ulama Aceh masa lalu, seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Ranirry, Syekh Abdurrauf Singkily, dan Syekh Daud al-Rumy, menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa Arab. Kitab-kitab seperti Bustanul Salatin, Mirratuth Thullab, Turjumanul Mustafidh, Masailul Muhtadi, beraksara Jawi, berbahasa Melayu, meskipun berjudul Arab. Modal itu menjadi faktor pendobrak hermeneutis, salah satunya kebolehan perempuan menjadi pemimpin politik, ketika belum ada satu pun pemimpin perempuan di dunia Islam lain hadir (HM Zainuddin, 1966).

Di dalam masyarakat Aceh dan Gayo, misalnya, pesan-pesan Al Quran dan Hadist tidak langsung disampaikan melalui praktik eksegesis yang ketat, tapi gelar kesenian, yaitu saer (syair). Praktik ini berlangsung turun-temurun dan menjadi seni tradisi yang dipertahankan. Di antara para pengembang pendekatan ini adalah Teungku Chik Pante Kulu dan Teungku Mude Kala.

Pendekatan saer ini disukai oleh masyarakat luas. Saer menjadi kendaraan yang bisa mengekspresikan pernyataan-pernyataan religius di kehidupan yang nyatanya tidak normatif. Islam membumi melalui keterampilan saer-saer para ulama dan seniman yang memodifikasi pesan-pesan agama yang sifatnya eskatologis-normatif menjadi kontekstual dan puitis (John Bowen, Sumatran Politics and Poetics: Gayo History 1900-1989, 1991).

Itulah modal Islam Nusantara. Mengingkari itu sama dengan mendustai keunikan dan keanekaragaman peradaban maritim bangsa ini yang telah memeluk Islam selama ratusan tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar