NU, dari Nusantara untuk Dunia
Rumadi Ahmad ;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti
Senior The Wahid Institute
|
KOMPAS,
31 Juli 2015
Tema Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus 2015, di
Jombang adalah "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia". Tema ini menunjukkan adanya kesadaran baru orientasi
keberislaman, bukan hanya inward looking, melainkan juga outward looking. NU
tidak hanya didedikasikan untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia.
Kesadaran ini tentu tidak muncul tiba- tiba, tapi melalui
diskusi panjang dengan memperhatikan perkembangan NU, Islam Indonesia, dan
dunia Islam. Melalui tema ini, NU ingin mengubah orientasi Islam Nusantara,
dari "importir" jadi "eksportir"; dari
"konsumen" jadi "produsen".
Agenda ini bukan hanya penting untuk NU, melainkan juga
untuk Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lain yang menyadari
pentingnya Tanah Air, nasionalisme, dan kebangsaan sebagai pijakan dakwah
Islamiah. Tanah Air itulah tempat berpijak membangun peradaban.
Makna dan isu strategis
Dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, dengan
karakter masing-masing sudah membuktikan relevansinya sebagai penyangga dan
jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Gus Dur -yang
pikiran-pikiran kebangsaannya banyak berpengaruh di NU- menyatakan, apa pun
pengorbanan yang harus dikeluarkan dan berapa pun harga yang harus dibayar,
Pancasila dan NKRI harus dipertahankan.
Muktamar NU kali ini punya beberapa makna strategis.
Pertama, dengan pergantian kepemimpinan nasional yang pemerintahannya belum
sepenuhnya stabil, NU dituntut mengambil peran dan memastikan pemerintahan
baru berjalan di atas rel yang benar. Secara ideologi tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, tapi kebijakan-kebijakan yang diambil harus dipastikan tidak
menyengsarakan rakyat kecil yang sebagian besar warga NU.
Kedua, Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat dalam
melihat dunia Islam sedang berada dalam instabilitas politik yang parah.
Musim Semi Arab yang berembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010
ternyata tak sepenuhnya membawa perubahan mencerahkan. Tak sedikit kawasan
Timur Tengah yang masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh, yang
sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya NIIS juga menjadi
tambahan persoalan.
Ketiga, secara internasional sekarang ini sedang terjadi
pergeseran geopolitik dan peta aliansi dalam merespons berbagai persoalan.
Meski sejumlah kalangan masih ada yang beranggapan Islam sebagai ancaman
terhadap nilai-nilai modernitas, harus diakui-dalam perkembangan global
mutakhir-Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan
dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik
kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam
perkembangan dan penambahan pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi.
Hal yang terakhir ini semakin menarik kalau proyeksi peta
agama dunia yang dirilis lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC)
pada April 2015 itu benar. Riset berjudul The
Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050
tersebut mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan
perpindahan agama, serta populasi delapan kelompok agama mayoritas. Pada
2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam
23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen,
agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti
ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen).
Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi Muslim
menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen
stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama
pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9
persen dan Kristen 33,8 persen. Riset ini juga mencatat, jumlah penganut
ateisme dan agnostik serta kaum tak beragama, meski meningkat di beberapa
negara seperti AS dan Perancis, secara global menurun dari 16,4 persen (pada
2010) menjadi 13,2 persen (pada 2050). Sementara agama lain, seperti Hindu,
Buddha dan Yahudi, tidak banyak mengalami pergeseran hingga empat dekade
mendatang.
Apa makna data tersebut bagi NU dan umat Islam Indonesia?
Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan NU sebagai
organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu
berkepentingan dengan perubahan peta dunia itu. Persoalannya, apakah
peningkatan jumlah Muslim itu akan membawa ketenangan dan perdamaian dunia
atau justru jadi ancaman. Pada konteks inilah, NU seharusnya berkepentingan
memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian.
NU dan persoalan kebangsaan
Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan
relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa
menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU tidak saja telah
meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tetapi juga telah
memberi teladan bagaimana seharusnya jadi Muslim di tengah keragaman bangsa.
Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa
menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.
Jejak-jejak visi kebangsaan NU terlihat jelas dan menjadi
perbincangan dari muktamar ke muktamar. Visi kebangsaan itu dibentuk dan
dihasilkan dari cara pandang keagamaan-tepatnya fikih-yang dihayati dan
dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah
apa pun, termasuk dalam hal politik, selalu disandarkan pada dalil dan
argumentasi keagamaan (fikih). Pada 1938 dalam muktamar di Menes, Banten,
misalnya, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai dar al-Islam, artinya negeri
yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam. Alasan
NU, penduduk Muslim dapat melaksanakan syariat, syariat dijalankan para
pegawai yang juga Muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja
Muslim. Cara pandang ini merupakan khas Sunni dalam mengesahkan dan menerima
sebuah kekuasaan politik sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan
keagamaan.
Dengan prinsip tawasuth
(moderat), tawazun (berimbang), dan
i'tidal (berkeadilan), NU mampu
menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Meski Indonesia 87 persen
dihuni oleh orang Islam dan tak menjadi negara Islam, kecintaan NU pada
negara ini tak sedikit pun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang
memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang
silih berganti. NU membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua
hal yang perlu dipertentangkan, melainkan bisa harmoni dan saling memperkuat.
Hal tersebut bukan semata karena persoalan politik, melainkan paham keagamaan
yang dikembangkan NU memungkinkan keduanya-keislaman dan keindonesiaan-bisa
hidup bersama.
Dengan demikian, ulama pesantren tradisional telah
mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. NU telah mampu
menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. Nilai-nilai perjuangan
NU itu sudah saatnya diadopsi sebagai model keberislaman di berbagai belahan
dunia. Dengan modal itu, sudah saatnya NU bersama seluruh eksponen bangsa
mengubah orientasi keberislaman, tidak hanya bergumul dengan persoalan internal
kebangsaan, tetapi juga bergerak maju untuk memengaruhi pergerakan peradaban
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar