Sabtu, 01 Agustus 2015

Meja Hijau

Meja Hijau

Adi Andojo Soetjipto ;  Mantan Ketua Muda MA
                                                           KOMPAS, 31 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masihkah pembaca ingat istilah "meja hijau" dan "dimejahijaukan"?

Istilah itu untuk menamai pengadilan waktu dulu. Dinamai demikian karena meja di ruang pengadilan ditutup laken berwarna hijau. Dengan berjalannya waktu, ketika banyak muncul hakim "nakal", muncul pula ungkapan "sekarang meja itu tidak berwarna hijau lagi".

Memang, kini meja di ruang sidang tak lagi berwarna hijau. Semua diganti meja kayu ukir yang mahal. Ruang sidang juga disulap menjadi ruang yang megah, dilengkapi perabot yang megah pula. Hakim-hakimnya dibusanai jubah hitam dengan warna merah mengilap di bagian depan. Pokoknya semua yang ada di ruang sidang disulap menjadi serba megah. Namun, di kemegahan itu, "aura"-nya hampa, menandakan wibawa yang lenyap.

Kita pasti akan bertanya mengapa bisa demikian? Salah siapa ini? Apakah karena ulah para hakimnya?

Menurut saya jelas "iya", itulah sebab utamanya. Karena ada hakim yang memutus perkara berbau kontroversial, ada pula yang menafsirkan hukum tanpa mengindahkan rambu-rambu sehingga putusannya membingungkan dan terkesan tak adil.

Jika masih ingin bukti lebih akurat, lihat kejadian di ruang sidang. Ruang yang dulu dianggap sakral itu kini bisa dimasuki demonstran hingga ratusan orang. Mereka berteriak-teri"hakim tak adil", lalu menyerangnya sehingga hakim lari tunggang langgang.
Memikirkan hal ini saya jadi sedih. Apakah sejelek itu keadaan pengadilan kita sekarang? Belum lagi kalau kita ingat tidak adanya sopan santun antarhakim. Ada hakim bawahan yang melaporkan mantan atasannya yang jauh lebih senior kepada polisi atas dakwaan telah melakukan pencemaran nama baik. Padahal, maksud mantan atasannya itu baik, yakni memberi nasihat serta petunjuk bagaimana menjadi hakim yang baik. Bukankah perbuatan itu sudah keterlaluan, menandakan mereka sudah tak punya tata karma sehingga timbul penilaian akan hilangnya wibawa pengadilan?

Tak usah mencari jauh-jauh penyebab hilangnya wibawa pengadilan, seperti perkembangan ekonomi dan sebagainya yang menyebabkan tunggakan perkara menumpuk. Apa yang ada di depan mata seperti contoh di atas sudah cukup jelas. Namun, yang di depan mata ini sulit sekali diberantas! Kita masih membutuhkan orang "suci" yang berani dan mampu mengembalikan wibawa pengadilan seperti yang diharapkan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar