|
SUARA
MERDEKA, 01 Juli 2013
SEWAKTU kecil, akhir 1960-an, saya punya tetangga polisi
bernama Pak Dawut. Posturnya tidak terlalu kukuh, tiap hari berangkat pagi
sekali, dan pulang teramat sore. Ketika libur, ia sering berangkat mbedil
bersama bapak saya, berburu kijang di belantara hutan di Blora. Dia polisi low profile, santun dalam berbicara,
rajin bekerja, dan tangkas dalam menembak.
Ketika sudah besar, bayangan saya tentang polisi tentu tak
jauh dari sosok teman ayah, pakde, paklik, dan sepupu saya yang kebetulan
berprofesi polisi. Tanpa bermaksud memuji mereka, saya menemukan banyak
sosok polisi yang sepenuh hati mengabdikan diri sebagai pengayom masyarakat.
Mereka tetap saja tidak punya apa-apa meski pun pangkat terakhir cukup tinggi.
Pasti rekening mereka tidaklah gendut.
Ilustrasi itu sekadar menjernihkan penglihatan bahwa di
kanan kiri kita masih banyak polisi baik juga terampil. Zaman dulu,
polisi bergaji kecil, wilayah operasinya amat luas, dan perbandingan dengan
jumlah penduduk juga teramat jauh. Pendidikan yang didapat juga tidak terlalu
tinggi, dan tentu berpengaruh terhadap performanya.
Berbeda dari sekarang, tiingkat pendidikan lebih luas dan
tinggi, seiring dengan tantangan pekerjaan yang makin rumit. Tantangan dunia
kriminal, dan keamanan yang diakibatkan perubahan lingkungan mutakhir
juga makin rumit. Cara orang korupsi pun makin aneh sehingga perlu didukung
keterampilan dan kecerdasan yang lebih.
Citra Polisi
Sebagian besar masyarakat kita, sering kali
memperbincangkan pencitraan terhadap performa seseorang dan profesinya. Profesi
yang mampu memenuhi harapan khalayak misalnya, tentu dinilai tinggi. Demikian
pula sebaliknya.
Membicarakan profesi, pertanyaan yang paling adil adalah
profesi apakah di negeri ini yang masih bisa tampil membanggakan? Wartawan,
hakim, jaksa, pengacara, guru, TKI, atau pramugari? Apakah pegiat LSM atau
politikus? Bila kita jujur menjawab, sulit sekali menemukan profesi yang
mendapatkan nilai 10.
Hal yang sama juga menimpa profesi polisi? Jika dilakukan
survei, diyakini citra polisi seperti citra profesi lain, belum terlalu baik.
Kenapa? Dugaan saya, lebih karena besarnya tuntutan masyarakat terhadap peran
polisi sehingga menutup banyak prestasi yang ditorehkan.
Jika kita memperhatikan film-film luar negeri di televisi,
kita dengan mudah menemukan banyak sekali polisi yang dicitrakan kurang baik.
Di Amerika Serikat pun, ada polisi kurang baik. Tetapi jika menyimak bagaimana
polisi kita mengendus teroris, membongkar jaringannya maka meski tidak terucap
dalam hati kita sangat bangga dengan prestasi itu.
Bisa juga mendadak kebanggaan itu surut jika anggota Densus
88 selalu menembak mati terduga teroris. Artinya, antara bangga dan jengkel itu
berjarak sangat tipis. Ada saat kita jengkel karena ditilang polisi lalu
lintas, tetapi sesaat kemudian trenyuh melihat polisi memandu pejalan kaki
yang ringkih. .
Tantangan
Lingkungan
Pada profesi lain kita juga menemukan hal sama. Ada hakim
memutus perkara dengan tidak adil, tetapi banyak yang masih bisa berbuat
adil. Ada beberapa jaksa disogok, tetapi banyak yang masih memiliki hati
nurani.
Perkembangan mutakhir memperlihatkan perubahan besar dalam
banyak hal. Misalnya tata krama di rumah tangga sampai ke tata krama
bermasyarakat dan bernegara. Dulu, masyarakat diajarkan menyingkirkan batu di
jalanan. Kenapa disingkirkan, karena dikhawatirkan mencelakakan orang lewat.
Sekarang? Justru jalanan ditanami pohon pisang.
Dunia kriminal juga mengalami perubahan amat dramatis.
Dulu, ragam narkoba hanyalah sedikit; ganja dan kokain diproduksi jauh dari
lingkungan masyarakat. Sekarang, bahkan tetangga yang produksi pun tidak
diketahui dengan baik.
Perubahan itu pastilah tidak lepas dari pengamatan polisi.
Kurikulum pendidikan di Akademi Kepolisian misalnya, saya yakini sudah
dirancang untuk memenuhi kebutuhan penginderaan masalah yang berkembang.
Persepsi masyarakat terhadap polisi sebenarnya dibentuk
oleh pencitraan jati diri polisi sendiri. Polisi dibayangkan sebagai pengayom,
pelayan, dan pelindung masyarakat. Bila polisi tidak mampu memenuhi kriteria
itu, pasti bukan polisi. Jika bukan polisi, lalu siapa?
Yang menjadi tantangan adalah bagaimana agar tiap profesi
mampu hadir sesuai dengan citra dirinya, dan tidak berubah menjadi siapa
kemudian? Polisi harus hadir sebagai polisi, dan tidak berubah menjadi
perampok, pembunuh, dan sebagainya. Di sinilah tantangan pendidikan profesi
yang harus peka terhadap kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pendidikan polisi harus mampu menghadirkan sosok pekerja
adil karena dia dekat dengan pekerjaan penegakan keadilan. Rasa adil harus
dibangun setiap saat, sejak hari pertama masuk pendidikan sampai akhir profesi
secara khusnul khatimah. Rasa jujur harus dibangun, karena pekerjaannya
menuntut harus memperbaiki orang-orang yang tidak jujur. Membangun rasa ikhlas
karena melayani itu sebenarnya pekerjaan amat sulit, dan melindungi karena
polisi lebih memiliki pendidikan keterampilan dan ketangkasan.
Maka, dalam bayangan masyarakat, ketika melihat polisi
melintas di jalan misalnya, rasa aman itu langsung
muncul. Jadi, melihat polisi
sama dengan merasakan keamanan dan kenyamanan. Mengubah harapan itu menjadi
kenyataan tentu tantangan sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa. Dalam derajat
tertentu polisi sudah berhasil, bahwa ketidakhadirannya di jalan raya cukup
diwakili oleh traffic light, marka jalan, atau rambu pembatasan lainnya.
Artinya, kemampuan menciptakan rasa aman dan patuh hukum sudah ada, meski pun
tidak dengan kehadiran fisiknya.
Jika bukan polisi lalu siapa? Pendidikan polisi pada
tingkatan mana pun harus mampu meniminalkan polisi berubah jadi siapa.
Pendidikan di tempat kerja, para pimpinan di tingkat unit sekecil apa pun harus
menunjukkan diri sebagai pemimpin. Seperti juga guru, profesi polisi tergolong
paling dekat dengan masyarakat. Jika tidak menampilkan diri sesuai dengan citra
maka risiko lingkungan yang diterima amatlah berat.
Berbeda dari guru yang bergerak pada alam kenyamanan, cara
kerja polisi bergerak di luar batas zona nyaman seperti mengurusi mayat
membusuk, menelisik tempat pembuangan kotoran, menyisir perkampungan
prostitusi, pusat-pusat hiburan, sampai di gedung-gedung mewah tempat ìtikusî
bersarang. Cara kerjanya bahkan melebihi porsi malaikat karena dunia
malaikat memiliki beragam spesialisasi. Ada pencatat perbuatan baik, buruk,
penjaga surga, neraka, pencabut nyawa dan sebagainya.
Meski bekerja di luar zona nyaman, itu tentu pekerjaan
mulia. Siapa lagi yang mau mengurus mayat yang sudah membusuk? Membongkar
septic tank? Jika boleh tidak melakukan maka pasti tidak mau melakukan.
Karena itu, polisi tidak perlu berkecil hati saat terus dikritik. Karena
sebenarnya masyarakat akan lebih ngeri lagi jika dunia hadir tanpa ada polisi.
Ilustrasinya sederhana, bayangkan jika suatu hari ada kemacetan di pantura,
lalu polisi tidak satu pun hadir.
Jadi, seberapa pun keras kritik kepada polisi pastilah
bukan untuk meniadakan melainkan lebih untuk mengembangkan. Dalam
imajinasi saya, polisi masa depan adalah polisi cerdas yang bisa melihat tanpa
mata, dan membaca tanpa tulisan. Bahkan, tahu sebelum kejadian.
Imajinasi saya itu tentu sebagai harapan bahwa kemampuan
intelijen jajaran Polri suatu ketika menjadi sangat kuat, akurat, dan
berdimensi luas. Kemampuan penginderaan inilah yang seharusnya diperkuat sejak
hari ini. Dirgahayu Kepolisian Republik
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar