Selasa, 02 Juli 2013

Romansa “Pak Polisi Bangjo”

Romansa “Pak Polisi Bangjo”
Tri Marhaeni PA ;  Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi & Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes, Dosen Akademi Kepolisian Semarang
SUARA MERDEKA, 01 Juli 2013


"Entah, saya merindukan  romansa kecerdasan komplet  dari sosok polisi di tengah  perempatan di kota saya"

TIAP hari saya berangkat dan pulang sekolah melewati “perempatan bangjo” satu-satunya di kota saya di Grobogan, pada dekade 1970-an. Di tengah perempatan itu tergantung lampu bangjo yang bisa dilihat dari empat sisi jalan. Di bawah bangjo diletakkan tong bekas aspal yang dipotong dan setengahnya diisi semen. Pada jam-jam sibuk, saya selalu melihat seorang polisi lengkap dengan seragam versi lama —cokelat susu dan ikat pinggang putih— serta peluit yang siap di mulutnya.

Belakangan saya tahu, uniform itu seragam polisi lalu lintas. Pak polisi dengan sigap mengatur lalu lintas, yang pada tahun-tahun itu masih semrawut, Motor, mobil, bus, truk, becak, sepeda, dokar, juga sepeda bermuatan bronjong untuk bakulan, semua melewati perempatan itu. Meskipun sudah ada bangjo menggantung di atas perempatan, rupanya masyarakat masih sulit menerjemahkan maknanya, mana yang  harus jalan terlebih dalu. Yang sudah paham pun bingung ketika mereka patuh, tetapi semua orang jalan bersamaan, dan akhirnya semrawut.

Pak polisi berdiri di atas bekas tong aspal di tengah perempatan itu. Dengan tegas, luwes, dan cermat, ia mengatur: menggerakkan tangan, meniup peluit, memutar badan ke empat penjuru mata angin untuk melihat situasi kepadatan arus lalu lintas. Tak lekang oleh panas, tak lapuk kena hujan. Masihkah kenangan tentang integritas sosok polisi itu mewujud dalam realitas masa kini?

Kecerdasan Komplet

Saya menyebut kecerdasan komplet, karena polisi pengatur lalu lintas itu tentu harus mengerahkan seluruh kecerdasan. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional. kecerdasan sosial, sekaligus kecerdasan spiritual.

Dia harus pada kondisi prima, baik fisik maupun pikiran; selalu menyinkronkan pikiran dan tindakan. Antara gerakan tangan tiupan peluit dan perintah pikirannya, semua harus sinergis, konsisten, dan tepat agar tidak terjadi kesalahan perintah dan gerakan yang berakibat fatal bagi pengendara. Kecerdasan komplet itu menimbulkan sikap segan dan hormat dari masyarakat. Pada waktu itu saya melihat dengan “kasihan dan kagum”: betapa mulia tugas polisi, di tengah panas dan hujan setia berdiri di tengah perempatan mengatur lalu lintas. Setiap hari, selama bertahun-tahun!

Kecerdasan komplet itulah yang bagi saya menjadi romansa blue print tentang tugas polisi. Dia rela berpanas-panas dan berhujan-hujan demi keterciptaan keteraturan berkendara. Betapa seorang polisi mempunyai ketangguhan fisik dan intelektual luar biasa. Bagaimana dia menjaga konsistensi gerak pikiran dan perintah pada anggota tubuhnya.

Era Digital

Tentu sekarang saya tidak berharap ada Pak polisi yang selalu berdiri di tengah perempatan sambil mengatur lalu lintas dengan kecerdasannya. Pada era digital, lalu lintas di sejumlah daerah dapat dipantau melalui CCTV yang dipasang di tiap sudut perempatan dan jalan.

Lantas di mana Pak polisi cerdas nan konsisten yang masih selalu lekat di benak saya tiap melewati keramaian?

Belakangan saya tahu, Pak polisi masih setia memantau keramaian jalan, kepadatan lalu lintas, bahkan bisa memantau seluruh daerah kota-kota besar sambil duduk dikitari alat-alat canggih, monitor-monitor besar yang merekam gambar di berbagai tempat. Di sebagian sudut kota yang lain saya juga melihat polisi mengatur kendaraan di tempat-tempat rawan dan sibuk pada jam berangkat-pulang kerja serta jam sekolah.

Ada sesuatu yang hilang dari relung hati dan ingatan saya. Entah mengapa saya merindukan romansa kecerdasan komplet dari sosok polisi di tengah perempatan di kota saya. Saya ingin kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual itu muncul lagi pada era digital ini.

Tentu kita tak menginginkan Pak polisi kembali ke era jadul dan primitif. Kita harus bangga dengan kemajuan peralatan dan sarana yang dimiliki saat ini, yang serbacanggih, serbamodern, serbaberbau teknologi tinggi untuk membantu tugas-tugas Polri. Melacak tersangka yang tidak dikenal sekalipun bisa lewat sinyal telepon seluler.

Kecerdasan Pak polisi pun seharusnya makin terasah. Namun entah kenapa saya kehilangan romansa kecerdasan komplet itu. Yang berkembang justru jargon-jargon aneh di seputar masyarakat. Misalnya, “Polisi tidur saja membuat masalah, apalagi yang tidak tidur”. Atau, “Yang masih jujur tinggal patung polisi”.
Masyarakat seolah-olah kehilangan rasa sungkan dan hormat. Begitu anomalinya pemahaman masyarakat tentang sosok polisi, sampai polisi perlu membuat patung polisi di sudut-sudut  jalan untuk “membuat segan” masyarakat. Lalu ke mana sosok polisi yang memiliki kecerdasan komplet itu? Bukankah kemajuan teknologi seharusnya makin melengkapinya?

Rasa hormat seperti yang tumbuh di hati masyarakat seperti pada masa kecil saya, seharusnyalah menjadi penyemangat bagi institusi Polri untuk serius mereformasi mental. Berbagai sorotan kepada polisi sekarang —kompleksitas perilaku dan berbagai kasus korupsi— jelas jauh dari impian tentang sosok Pak polisi komplet yang dedikatif itu.

Dan, untuk menjadi cerdas, tentu tidak harus jadul dan berdiri di tengah perempatan di atas tong aspal bukan? Dirgahayu Polisi Republik Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar