|
KOMPAS,
06 Juli 2013
Pemerintah punya jurus ”ajaib” buat
meredam penderitaan rakyat miskin yang dihantam kenaikan harga BBM. Jurus
”ajaib” itu tak lain adalah bantuan langsung sementara masyarakat alias BLSM
yang bisa disingkat ”balsem”.
Masalahnya, balsem hanya bisa
menyembuhkan rakyat miskin yang terkilir. Padahal, mereka sedang digerogoti
”kanker” ekonomi ganas.
Jutaan ”sel-sel kanker” yang
ditimbulkan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok dan jasa semakin meruyak ke
seluruh tubuh rakyat miskin. Mereka yang berpenghasilan Rp 20.000-Rp 50.000 per
hari, misalnya, pastigulung koming. Belum lagi, jika mereka dihantam biaya
kesehatan dan pendidikan yang congkak menertawakan kemiskinan mereka. Sampai di
manakah uang balsem yang cuma Rp 150.000 per bulan dan hanya berlaku empat
bulan?
Latihan
menderita
Bagi rakyat miskin yang nrimo
ing pandum (ikhlas menerima jatah), uang balsem itu pasti disyukuri.
Mereka menilai, pemerintah baik hati, bahkan mereka merasa berutang budi yang
akan dilunasi dalam Pemilu 2014.
Bagi mereka yang kecewa dan marah,
uang balsem dianggap sebagai penghinaan karena terlalu kecil jumlahnya, tetapi
tidak mampu ditolak demi membungkam tangis keluarga. Tetap mengutuk atau
setidaknya menggerundel. Mereka pun akhirnya pasrah: daripada tidak kecipratan
apa-apa. Dalil optimisme fatalistik pun berlaku di sini.
Sementara bagi mereka yang
menyikapi penderitaan secara jenaka dan cerdas, pemberian uang balsem itu
dianggap semacam metodologi pemerintah melatih dan mendidik rakyat miskin supaya
tetap tahan banting dihajar penderitaan yang nggegirisi.
Ya, hitung-hitung pemerintah
mengajari rakyat miskin untuk lebih gigih meningkatkan dosis asketisme meskipun
mereka sudah sangat paham bahwa day
to day rakyat sangat terlatih menghindari godaan material dan
hedonisme karena memang tidak pernah menjumpainya. Rakyat miskin diam-diam
tertawa melihat pemerintah berkhotbah tentang pentingnya hidup prihatin di
tengah orang-orang yang sudah mencapai keprihatinan paripurna.
Terkait uang balsem, sangat mungkin
rakyat tidak punya prasangka politik terkait dengan perebutan kekuasaan. Bagi
mereka, tidak ada gunanya lagi membahas perilaku para penyelenggara negara dan
pemerintahan yang lebih sering mengecewakan daripada melegakan.
Diam-diam, sambil mendongkol di
hati, mereka pun menyimpulkan bahwa para penyelenggara negara/pemerintahan itu
harus ”kejam” kepada rakyatnya sendiri demi menggembleng karakter. Semakin
canggih ”kekejaman” itu, rakyat miskin semakin ”memiliki” karakter kuat
(sebagai orang susah). Jadi, untuk hidup susah pun ternyata rakyat miskin harus
dididik! Sebagian rakyat yang lain pun tersenyum masam sambil berucap, ”Edan,
tega nian!”
Logika
kartun
Kelas menengah, baik yang berada
dalam lingkaran kekuasaan maupun yang pro-ekonomi liberal dan diuntungkan
kebijakan penguasa, pasti menganggap pemerintah telah menempuh langkah jitu
dengan mencabut subsidi BBM. Membicarakan penderitaan rakyat miskin dianggap
tidak relevan berdasarkan hitungan matematika ekonomi liberal.
Sementara rakyat miskin lebih menuntut
pemerintah untuk sembodo, konsekuen, dan mampu mengatasi melambungnya
harga-harga kebutuhan bahan pokok dan jasa akibat kenaikan harga BBM.
Selama ini, sikap sembodo nyaris
tidak muncul dalam kebijakan pemerintah. Harga-harga kebutuhan bahan pokok dibiarkan
liar di pasar. Rakyat miskinlah yang akhirnya berada di garda depan
penderitaan.
Dalam setting buram itu,
ternyata masih ada komedi pahit yang dimunculkan seorang menteri. Dengan wajah
polos dan gaya naif, ia tega berfatwa, ”Memang untuk sementara masyarakat pasti shocked akibat
kenaikan harga kebutuhan pokok, tetapi lama-lama juga akan biasa dan menganggap
semuanya normal-normal saja. Masyarakat akan bisa menyesuaikan diri dengan
keadaan.”
Pak menteri yang ”bijak bestari”
itu mungkin menganggap rakyat miskin tak lebih dari manusia kartun dalam komik
atau film animasi yang selalu tahan banting dan tak bisa mati meskipun
terbanting-banting.
Logika ”kartun” ala pak menteri itu
rupanya juga dimiliki para wakil rakyat yang pro rezim dan kalangan eksekutif
yang memang sudah berlari jauh dalam trek ekonomi liberal. Dalam benak mereka,
yang ada hanyalah kemegahan pasar bebas dan sikap pembiaran nasib buram bangsa
yang ditaklukkan menjadi konsumen. Tanpa sadar mereka pun telah bermetamorfosis
menjadi lurah pasar, carik pasar, satpam pasar,
atau mungkin malah ada yang
jadi makelar.
Mereka lupa, ketika negara berubah
menjadi pasar bebas, yang ada hanyalah kemenangan kekuatan besar menerkam
kekuatan kecil. Nasib kekuatan kecil ini akan lebih buruk lagi. Mereka sudah
hancur masih disalahkan: salahnya kalian lemah.
Rakyat kecil pun menjerit, ”Di mana
negara, di mana pimpinan? Kalian ngumpet di mana?!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar