Sabtu, 20 Juli 2013

Pemimpin Jadi-jadian

Pemimpin Jadi-jadian
Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 02 Juli 2013


Masih adakah wahyu kepemimpinan dalam demokrasi uang? Banyak orang meyakini uang telah menjadi kultur baru untuk meretas jalan kekuasaan, sehingga tak dibutuhkan spiritualitas. Namun, kesangsian pun muncul ketika yang lahir dari demokrasi uang bukan para pemimpin autentik, tetapi pemimpin jadi-jadian. Mereka tak lebih dari telur busuk dalam peradaban.

Pemimpin autentik bisa dikenali dengan kesungguhan hati dan pikirannya yang terartikulasi dalam dedikasi. Di sana muncul pijar-pijar komitmen, integritas dan kapabilitas yang memberikan makna pada kehidupan rakyat yang dipimpin.
Kepemimpinan dipahami dan dihayati sebagai tugas kenabian (profetik) yang berorientasi untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan spiritual-material sehingga sejahtera dan bermartabat. Para pemimpin autentik sangat sadar: rakyat adalah pemilik sah kedaulatan. Dalam kapasitasnya sebagai negarawan, mereka pun meletakkan diri pada posisi rendah hati: pelayan rakyat. Ya, pelayan agung!
Faktor kewahyuan pun berperan, yakni inspirasi ilahiyah yang menjadi orientasi nilai untuk menjalani peran kepemimpinan. Wahyu itu tidak otomatis menclok (hinggap dan lindap dalam kesadaran), tetapi diupayakan secara spiritual melalui pembersihan jiwa yang konsisten, kontinu, dan konstan. Asketisme menjadi salah satu jalan kebudayaan.
Adapun pemimpin jadi-jadian tak lebih dari pemimpin semu atau gadungan yang dimunculkan oleh rekayasa kekuasaan, uang dan pasar. Pencitraan dan tipu-muslihat merupakan modusnya untuk menelikung rakyat. Satu-satunya ideologi hanyalah golek bathi (mencari keuntungan).
Loket kekuasaan
Perkawinan kekuasaan politik dan kapital telah melahirkan banyak pemimpin jadi-jadian. Mereka jadi pemimpin bukan karena kerja keras dan investasi sosial, politik dan kultural, tetapi karena mampu membeli ”tiket” di loket-loket partai politik atau melalui calo dengan harga tinggi, dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Obsesi yang terpahat di benak mereka hanyalah kursi kekuasaan dan cita-cita untuk melakukan kapitalisasi untuk mengeruk keuntungan, bukan wajah rakyat yang penuh guratan penderitaan.
Para pemimpin jadi-jadian itu akhirnya tak lebih dari orang yang gembelengan (berlagak dan sombong) di depan rakyatnya yang kelaparan, sambil menyunggi wakul (wadah berisi nasi) demi memamerkan kekenyangan dirinya dan tumpukan uang. Saat ejekan kejam yang dilakukan secara struktural dan sistemik ini berlangsung, doa rakyat hanya satu: semoga wakul itu tumpah dan terkuak dosa-dosa penyelewengan mereka sehingga mengundang pengusutan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pemimpin gembelengan bukan pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kehadiran mereka di negeri ini bukan memberikan penghiburan secara lahir dan batin, melainkan justru jadi badut yang menggelikan atau monster yang menebar teror bagi rakyatnya. Terhadap pemimpin semacam itu, rakyat sudah merasa ”selesai” alias memutus hubungan emosional dan sosial.
Di mata rakyat, manajemen perasaan mereka mengalami eror, hingga tak mampu menangkap berbagai pasemon (sindiran halus) yang berisi penderitaan rakyat, baik melalui bahasa verbal, gestur/ekspresi maupun narasi-narasi kelam yang tersirat.
Rakyat menilai, pemimpin yang tidak mampu menangkap simbol-simbol penderitaan rakyat adalah pemimpin yang kurang berbudaya atau kurang memiliki ketajaman dan kehalusan akal budi.
Ini terkait dengan pemahaman bahwa kebudayaan selalu bicara tiga hal mendasar: etika, logika, dan estetika yang bermuara pada makna (nilai).
Etika merupakan orientasi bagi manusia untuk memiliki moralitas sehingga mampu membedakan nilai baik dan buruk. Logika menuntun manusia untuk memiliki akal sehat dan mampu berpikir obyektif (adil dan benar).
Adapun estetika mengajari manusia untuk memiliki keindahan, sehingga mampu membedakan mana yang pantas dan tidak pantas, mana yang layak dan tidak layak, serta mana yang elok dan tidak elok.
Berbasis pada tiga hal itu, kebudayaan membangun peradaban di mana nilai kebenaran, rasionalitas, dan keindahan memancarkan pijar-pijar yang mencerahkan manusia.
Panggilan jiwa
Rakyat sangat membutuhkan pemimpin yang berbudaya dan menjunjung peradaban. Serapan atas pijar-pijar peradaban mampu membangun passion  (gairah, hasrat, dan panggilan jiwa) dalam diri pemimpin (Ashadi Siregar, 2013).
Dengan passion, kepemimpinan bukan sekadar berfungsi secara teknis, melainkan etis untuk membangun kebudayaan dan peradaban serta martabat manusia/bangsa.
Martabat diukur antara lain dari kualitas budaya ide, budaya perilaku/eskpresi, dan budaya material. Rakyat yang bermartabat adalah rakyat yang mampu melakukan pemaknaan atas segala aktualisasinya, memiliki basis etis dan etos dalam berperilaku dan berkarya yang menyejahterakan dirinya.
Tugas pemimpin yang memiliki passion adalah membangun masyarakat yang bermartabat. Celakanya, cita-cita kultural ini masih kabur dalam dinamika para pemimpin negeri ini. Kebanyakan mereka terserimpung godaan kekuasaan: kaya tanpa martabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar