|
KOMPAS,
01 Juli 2013
“Gembira
disebut goblok, sukacita kalau dihina”, begitu kata KGPAA Mangkunegoro IV,
raja dan sekaligus penyair (1809-1881).
Baris puisi
terebut terdapat dalam bukunya yang amat terkenal di abad ke-19 dan abad
ke-20, Wedatama, pengetahuan hidup utama, yang aslinya dalam bahasa Jawa
adalah bungah ingaranan
cubluk, sukeng tyas yen den ina. Inilah kearifan spiritual kaum sufi.
Itu pulalah yang dialami dan dijalani para nabi, manusia-manusia utama. Untuk
manusia biasa macam kita ini bunyinya menjadi terbalik, ”marah besar disebut
goblok, mengamuk kalau dihina.”
Dunia kita
sekarang memang terbalik secara diametral dengan nenek moyang kita di masa
silam. Dahulu, hal-hal spiritual, kerohanian, menguasai kehidupan sehari-hari.
Sekarang, hal-hal material duniawi menguasai kehidupan bersama kita.
Serba dunia
materi dengan serba rohani memang merupakan pasangan oposisioner. Kalau manusia
memilih sisi dunianya, maka sisi rohaniahnya ditinggalkan. Kalau manusia
memilih sisi rohaniahnya, maka sisi duniawi yang dinegasikan. Anda merasa pahit
dan getirnya dihina karena Anda sedang menikmati sukacitanya dipuja-puja orang.
Coba kalau Anda sudah siap sedia dihina, ”sukacita kalau dihina”, maka baik
pujaan maupun hinaan tidak akan mempan mengubah perasaan Anda.
Posisi Anda
paling aman di dunia ini adalah memasang diri Anda di tempat paling bawah.
Pandai tetap merasa bodoh. Kaya tetap merasa tidak punya apa-apa. Berkuasa
tetap merasa sebagai bawahan. Cakep tetap merasa dirinya ada cacat.
Dunia yang terbalik
Kita dididik
dan dibesarkan dalam pandangan dunia yang terbalik dari zaman Pangeran
Mangkunegoro IV. Kata-kata mukjizat tiap hari adalah ”sukses”, ”maju”, ”super”.
Kita semua hanya disiapkan untuk ”menang”, ”unggul”, ”kelas wahid”. Akibatnya,
kegagalan tak pernah siap kita hadapi. Kegagalan adalah sebuah dunia gelap tak
dikenal. Kita bingung ketika terjerumus ke dalamnya, bahkan ada yang begitu tak
bermaknanya ”tidak naik kelas” atau ”tidak lulus” sekolah lantas bunuh diri.
Ruang
pengadilan dipenuhi perkara ”perbuatan tidak menyenangkan”. Sedikit-sedikit
merasa dihina, direndahkan, dicemarkan nama baiknya. Televisi
membikin blow up perseteruan, pertengkaran, penghinaan, makian,
antara para selebritas, dalam porsi jauh lebih banyak dan jauh lebih sering
daripada tangis kelaparan anak-anak miskin di Indonesia bagian timur.
Pikiran kita
dipenuhi oleh gambaran ”maju”, ”baru”, ”unggul”, ”menang”, ”juara”, ”nomor
satu”, ”super”. Apa gunanya semua ini kalau setiap negara yang mencapai status
unggul, juara, dan nomor satu tadi hanya berujung pada penciptaan perang?
Kemajuan dan keunggulan dalam sejarah hanya dapat dihentikan oleh kalah perang.
Bacalah kembali sejarah kesombongan tentang keunggulan ini.
Mau super atau
hidup damai tenteram? Ya, mau maju dong, Pak? Masa mau melarat terus? Ya,
boleh-boleh saja, cuma ingat sisi pasangan negasinya. Jangan cuma kenal
suksesnya belaka. Kalau sudah kaya jangan merasa paling kaya, tetapi ingatlah
sebagai tidak punya apa-apa. Kalau sudah berkuasa jangan merasa paling kuasa,
tetapi juga tidak berkuasa apa pun. Kalau sudah maha-guru, ya, harus merasa
menjadi maha-siswa.
Guru-besar itu
sebenarnya cuma murid-kecil. Kalau sudah ambivalen semacam itu, maka kaya dan
miskin sama saja. Goblok dan pintar sama saja. Berkuasa dan pesuruh sama saja.
Kawula dan gusti itu sama saja. Gusti itu ya kawula, kawula itu juga gusti.
Kalau kamu dikatakan goblok, gembiralah. Kalau kamu dihina, sukacitalah. Karena
seperti itulah manusia utama di mana pun dan kapan pun.
Sesuatu yang
metafisik dan rohaniah adanya bukan di dunia ini. Namun kalau kamu mau
menjadikan dunia ini seperti surga, ya cuma cara itulah yang harus kamu jalani.
Nah, itu orang Indonesia menamainya Pancasila.
Pancasila
dalam dunia sepak bola itu dilakukan oleh tim sepak bola Brasil. Kalah dan
menang itu bukan tujuan utama. Mereka mengutamakan permainan yang cantik dan
punya style, artinya menyenangkan orang lain, penontonnya. Kalau mereka
menang pun tidak sorak gembira membanggakan diri sebagai juara. Kalau kalah pun
tidak akan menderita. Kalah dan menang itu biasa. Akan tetapi kalau Anda
ternyata kalah, Anda tidak apa-apa karena siap kalah. Coba bandingkan dengan
Pancasila Indonesia, kalau tim pujaannya kalah, penontonnya mengamuk, merusak
toko-toko dan membakari mobil lewat. Menang itu pujaan, kalah adalah kehinaan.
Sekarang ini
yang sejenis itu terjadi di mana-mana di Indonesia. Dunia Indonesia sudah
terbalik sejak pertengahan abad ke-20. Kearifan primordial dibuang jauh-jauh,
digantikan pikiran modernitas yang berprinsip menang atau kalah, maju atau
mundur, mulur atau mungkret, dipuja atau dihina, sukses atau gagal.
Sementara itu kearifan lokal nenek moyang kita adalah ya menang ya kalah, ya
maju ya mundur, mulur-mungkret.
Adalah William
Shakespeare yang dalam lakon Hamlet bertanya dalam filsafatnya: to be or not to be, ada atau tiada,
itulah persoalan pokoknya. Kalau orang Indonesia mempunyai Shakespeare mungkin
akan menjawab: ada dan tiada itu sama saja, itulah jawabannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar