|
KOMPAS,
03 Juli 2013
Dalam dunia kepenulisan, tak sulit
mencari literatur mengenai almarhum Veven Sp Wardhana. Tulisannya, baik
risalah, cerita pendek, maupun skenario, tersebar. Pun sebagai feminis dan
aktivis, dalam keseharian saya di gerakkan, penelusuran feminis laki-laki atau
tulisan berperspektif feminis yang ditulis laki-laki, salah satunya merujuk
pada namanya.
Demikianlah Budaya Massa, Agama, Wanita: Risalah Budaya
Veven Sp Wardhana (Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), buku terbaru
yang diluncurkan tepat di 40 hari berpulangnya almarhum ke rumah Tuhan, sekali
lagi meneguhkan hal tersebut.
”Mencari Perempuan”
Buku berisi 18
risalah ini kaya data dan fakta. Kekayaan berikutnya adalah analisis feminis
yang digunakan, sebagaimana ditulis: ...feminis laki-laki atau laki-laki
feminis. Saya rasa, pemberian sebutan itu pulalah yang melambari spririt
penulisan risalah-risalah dalam buku ini juga dalam berderet tulisan saya
lainnya (Hlm xvi).
Sebagai
pengantar, Veven menulis catatan awal menggelitik berjudul ”Mencari Perempuan”.
Ia menggambarkan dua peristiwa tentang lelaki yang cari perempuan, untuk menyasar
pada Wanita Tuna Susila. Dengan awalan demikian, dilanjutkan membaca buku ini,
menurut saya, dalam mencari-nya, Veven menemukan muara kemiskinan. Kemiskinan
sebagai patahnya daya kritis masyarakat, yang mengeksploitasi tubuh perempuan, mengekang,
menstigma, dan berujung pada ketidakadilan pada perempuan. Menariknya, dengan
tubuh sebagai lokus analisis, Veven tidak sungkan menyentuh hukum.
Para feminis
melihat hukum sebagai sistem, yang terdiri atas: substansi berupa aturan dan
norma; struktur berupa institusi hukum seperti polisi, jaksa, hakim; dan budaya
sebagai ide, sikap, dan pandangan tentang hukum. Sekilas, risalah Veven
bergerak di wilayah budaya hukum. Ia membongkar ide, sikap ihwal hukum
perkawinan, kelahiran, kematian, adopsi, pengakuan anak, perceraian, yang
dipandangnya missing di
televisi, film, dan media massa.
Berhentikah di
situ? Tidak. Ia berupaya bergerak untuk perubahan substansi hukum yang lebih
adil. Hampir semua tulisan Veven bersifat menggerakkan perubahan. Sebut saja,
ia membahas Undang-Undang (UU) Perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga,
poligini (ia menegaskan istilah ini semestinya digunakan merujuk poligami yang
sering digunakan), Rancangan UU Terapan Peradilan Agama, dan moral rights.
Ia juga memberikan perhatian pada struktur hukum, mulai dari Komisi Penyiaran
Indonesia, uji material UU Perfilman, hingga insan perfilman yang enggan
menempuh pengadilan meski kasusnya lebih tepat dimejahijaukan.
Reflektif
Dalam
refleksinya, Veven tak lupa menuturkan pertanyaan orang terhadapnya tentang ia
sebagai laki-laki yang memaparkan tentang perempuan (Lelaki atau perempuan yang
harus memperjuangkan kesetaraan jender. Pertanyaan ini terasa kekanak-kanakan
dan terlampau simplistik, ... (hal 8).
Ia juga
memaparkan temuannya tentang bagaimana perempuan terlibat menindas perempuan
lain (sesuatu yang kemungkinan besar juga dilihat para feminis perempuan,
tetapi disangkal). Sebagai laki-laki yang tidak pernah berpengalaman melahirkan
anak (biologis), Veven berhasil menukik ke perbedaan cara memandang anak
kandung, anak tiri, anak angkat, dan sebagainya, sesuatu yang seringkali
disimplistikkan.
Veven
bergelisah sebagaimana para feminis. Mungkin ini argumentasinya: Karena
peminggiran kelas sosial-perempuan itu adalah kesalahan sejarah bersama, maka
kemerdekaan atasnya merupakan persoalan semesta... (hal 22). Karena itu,
pandangan Veven dalam buku ini jelas patut dibaca setiap orang yang peduli pada
kemerdekaan. Bahwa peminggiran perempuan menjadi panggilan Veven, ia
membuktikan, dengan pendidikan atau pekerjaan apa pun yang kita geluti, semua
terkait dengan peminggiran dan kemerdekaan, khususnya peminggiran perempuan.
Apakah ia seorang penulis, budayawan, sutradara, jurnalis, ibu rumah tangga,
laki- laki, perempuan, trans-jender, beragama Islam, Kristen, Hindu, dan
sebagainya...kita sesungguhnya menyaksikan peminggiran itu. Lalu kita memiliki
pilihan: tidak menindas atau menjadi penindas; menjadi korban atau membangun
kesadaran dan mengubah situasi.
Terakhir,
tetapi ini mungkin justru yang paling penting. Paling awal, Veven menulis, kepada/para perempuan perkasa/siti fathonah,
ibunya ibu saya/supiani, ibu mertua istri saya/tereshkova ko, ibu para putri
saya//juga kepada/ste ayesha, sheridan olenka, shalimar cariska/ para putri
yang mengembangkan keperkasaan yang memang dibekalkan tuhan.
Inilah suara
laki-laki yang semasa hidupnya sadar mencemplungkan diri dalam getir
ketidakadilan perempuan, dan memilih meyakini bahwa perubahan harus
diperjuangkan. Dalam refleksi feminis, gerak mendasarkan pada pengalaman dan
upaya pencarian keadilan dan penegakan hak manusia yang utuh. Dengan kata lain,
ia ditujukan kembali kepada para perempuan. Dari mencari perempuan, Veven
menelusuri ketidakadilan, lalu kembali kepada para perempuan-nya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar