Minggu, 21 Juli 2013

Kembali ke Para Perempuan

Kembali ke Para Perempuan
R Valentina Sagala  ;   Feminis, Aktivis, Pendiri Institut Perempuan
KOMPAS, 03 Juli 2013


Dalam dunia kepenulisan, tak sulit mencari literatur mengenai almarhum Veven Sp Wardhana. Tulisannya, baik risalah, cerita pendek, maupun skenario, tersebar. Pun sebagai feminis dan aktivis, dalam keseharian saya di gerakkan, penelusuran feminis laki-laki atau tulisan berperspektif feminis yang ditulis laki-laki, salah satunya merujuk pada namanya.
Demikianlah Budaya Massa, Agama, Wanita: Risalah Budaya Veven Sp Wardhana (Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), buku terbaru yang diluncurkan tepat di 40 hari berpulangnya almarhum ke rumah Tuhan, sekali lagi meneguhkan hal tersebut.
”Mencari Perempuan”
Buku berisi 18 risalah ini kaya data dan fakta. Kekayaan berikutnya adalah analisis feminis yang digunakan, sebagaimana ditulis: ...feminis laki-laki atau laki-laki feminis. Saya rasa, pemberian sebutan itu pulalah yang melambari spririt penulisan risalah-risalah dalam buku ini juga dalam berderet tulisan saya lainnya (Hlm xvi).
Sebagai pengantar, Veven menulis catatan awal menggelitik berjudul ”Mencari Perempuan”. Ia menggambarkan dua peristiwa tentang lelaki yang cari perempuan, untuk menyasar pada Wanita Tuna Susila. Dengan awalan demikian, dilanjutkan membaca buku ini, menurut saya, dalam mencari-nya, Veven menemukan muara kemiskinan. Kemiskinan sebagai patahnya daya kritis masyarakat, yang mengeksploitasi tubuh perempuan, mengekang, menstigma, dan berujung pada ketidakadilan pada perempuan. Menariknya, dengan tubuh sebagai lokus analisis, Veven tidak sungkan menyentuh hukum.
Para feminis melihat hukum sebagai sistem, yang terdiri atas: substansi berupa aturan dan norma; struktur berupa institusi hukum seperti polisi, jaksa, hakim; dan budaya sebagai ide, sikap, dan pandangan tentang hukum. Sekilas, risalah Veven bergerak di wilayah budaya hukum. Ia membongkar ide, sikap ihwal hukum perkawinan, kelahiran, kematian, adopsi, pengakuan anak, perceraian, yang dipandangnya missing di televisi, film, dan media massa.
Berhentikah di situ? Tidak. Ia berupaya bergerak untuk perubahan substansi hukum yang lebih adil. Hampir semua tulisan Veven bersifat menggerakkan perubahan. Sebut saja, ia membahas Undang-Undang (UU) Perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga, poligini (ia menegaskan istilah ini semestinya digunakan merujuk poligami yang sering digunakan), Rancangan UU Terapan Peradilan Agama, dan moral rights. Ia juga memberikan perhatian pada struktur hukum, mulai dari Komisi Penyiaran Indonesia, uji material UU Perfilman, hingga insan perfilman yang enggan menempuh pengadilan meski kasusnya lebih tepat dimejahijaukan.
Reflektif
Dalam refleksinya, Veven tak lupa menuturkan pertanyaan orang terhadapnya tentang ia sebagai laki-laki yang memaparkan tentang perempuan (Lelaki atau perempuan yang harus memperjuangkan kesetaraan jender. Pertanyaan ini terasa kekanak-kanakan dan terlampau simplistik, ... (hal 8).
Ia juga memaparkan temuannya tentang bagaimana perempuan terlibat menindas perempuan lain (sesuatu yang kemungkinan besar juga dilihat para feminis perempuan, tetapi disangkal). Sebagai laki-laki yang tidak pernah berpengalaman melahirkan anak (biologis), Veven berhasil menukik ke perbedaan cara memandang anak kandung, anak tiri, anak angkat, dan sebagainya, sesuatu yang seringkali disimplistikkan.
Veven bergelisah sebagaimana para feminis. Mungkin ini argumentasinya: Karena peminggiran kelas sosial-perempuan itu adalah kesalahan sejarah bersama, maka kemerdekaan atasnya merupakan persoalan semesta... (hal 22). Karena itu, pandangan Veven dalam buku ini jelas patut dibaca setiap orang yang peduli pada kemerdekaan. Bahwa peminggiran perempuan menjadi panggilan Veven, ia membuktikan, dengan pendidikan atau pekerjaan apa pun yang kita geluti, semua terkait dengan peminggiran dan kemerdekaan, khususnya peminggiran perempuan. Apakah ia seorang penulis, budayawan, sutradara, jurnalis, ibu rumah tangga, laki- laki, perempuan, trans-jender, beragama Islam, Kristen, Hindu, dan sebagainya...kita sesungguhnya menyaksikan peminggiran itu. Lalu kita memiliki pilihan: tidak menindas atau menjadi penindas; menjadi korban atau membangun kesadaran dan mengubah situasi.
Terakhir, tetapi ini mungkin justru yang paling penting. Paling awal, Veven menulis, kepada/para perempuan perkasa/siti fathonah, ibunya ibu saya/supiani, ibu mertua istri saya/tereshkova ko, ibu para putri saya//juga kepada/ste ayesha, sheridan olenka, shalimar cariska/ para putri yang mengembangkan keperkasaan yang memang dibekalkan tuhan.

Inilah suara laki-laki yang semasa hidupnya sadar mencemplungkan diri dalam getir ketidakadilan perempuan, dan memilih meyakini bahwa perubahan harus diperjuangkan. Dalam refleksi feminis, gerak mendasarkan pada pengalaman dan upaya pencarian keadilan dan penegakan hak manusia yang utuh. Dengan kata lain, ia ditujukan kembali kepada para perempuan. Dari mencari perempuan, Veven menelusuri ketidakadilan, lalu kembali kepada para perempuan-nya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar