|
KOMPAS,
02 Juli 2013
Spirit yang mengobarkan
semangat publik, yang gigih, tanpa lelah, dan pantang menyerah menolak RUU
Organisasi Kemasyarakatan, paling mendasar adalah memori terhadap represi
penguasa masa lalu yang melumpuhkan masyarakat sipil (civil society) dengan me-negara-kan mereka. Masyarakat kehilangan
ruang publik yang seharusnya jadi ranah untuk mengembangkan kekuatan masyarakat
yang demokratis berhadapan dengan (vis a
vis) negara.
Salah satu instrumen negara yang
mengubur kekuatan masyarakat, antara lain, penerbitan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Melalui UU inilah, kebebasan
publik untuk mengorganisasi diri secara sukarela dan independen dibelenggu
meskipun upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Kedigdayaan masyarakat
ternyata tidak dapat dipadamkan dengan mudah. Hal itu terbukti dengan suburnya
lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang ”bergerak di bawah tanah” pada rezim
otoriter yang sangat berkuasa.
Perilaku otoritas politik yang
memonopoli kekuasaan dan kebenaran telah mengakibatkan luka batin yang mendalam
serta trauma politik yang terekam kuat dalam kenangan publik. Memori semacam
itu, secara teknis disebut memori statik. Ia adalah ingatan bermuatan kesumat
dan siap meledak, baik dalam bentuk perlawanan maupun pembangkangan politik.
Padahal, kenangan yang sarat dengan penderitaan masa lalu selalu dapat
ditransformasikan menjadi ingatan memuliakan kehidupan. Dengan syarat, ingatan
tersebut menjanjikan harapan kehidupan yang lebih baik.
Kenangan itu bersifat dinamis,
biasa disebut memoria passionis. Berbagai peristiwa dalam sejarah umat
manusia dipadati kenangan pahit penuh dendam, tetapi selalu dapat menjadi
tuntunan ke depan yang menjanjikan peradaban. Ingatan semacam itu mempunyai
kekuatan menggerakkan (dinamis) menuju ke tataran peradaban yang lebih tinggi.
Sebab, hanya memori yang memberikan optimisme yang pantas dikenang. Penderitaan
yang berpengharapan dapat membangun modal sosial yang menjadi perekat dan ruh
bagi bangsa dan negara.
RUU Ormas yang disajikan negara
dewasa ini seharusnya dapat mengelola kenangan traumatis kolektif masa lalu
menjadi kekuatan yang membangkitkan harapan masyarakat. Ironisnya, negara yang
di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengaku reformis dan mengalami bagaimana
getirnya kelaliman rezim masa lalu seakan ingin memaksakan RUU yang
dikhawatirkan publik menjadi bibit pemasungan kebebasan berserikat menjadi
regulasi.
Pemaksaan terhadap RUU yang
ditentang habis-habisan puluhan organisasi masyarakat, termasuk NU dan
Muhammadiyah, hanya akan mengingatkan publik kepada memori statik yang
berpotensi memantik dendam menjadi bara api yang sulit dipadamkan. Memaksakan
putusan politik yang merusak memoria passionis adalah tahap awal cara
negara menundukkan masyarakat secara absolut. Karena itu, penataan ormas
seharusnya mengandung ruh yang menggairahkan publik menatap masa depan. Semakin
negara ngotot memaksakan RUU Ormas, semakin keras kuat dugaan publik
bahwa negara mempunyai agenda tersembunyi untuk menjadikan ormas sekadar
aksesori demokrasi.
Sikap persisten otoritas politik
yang ditunjukkan negara memberi kesan pengelola kekuasaan mengalami demensia
kolektif. Akibatnya, negara menampakkan diri sebagai sosok yang kehilangan
kompetensi kognitif serta gagap mengelola keterampilan dan kecerdasan sosial
untuk melakukan negosiasi konstruktif yang membangkitkan ekspektasi dan
dukungan publik. Indeks kecerdasan sosial mereka untuk berempati juga sangat
rendah sehingga kukuh memaksakan regulasi yang dapat menggerogoti modal sosial
yang dengan susah payah dibangun selama ini. RUU Ormas telah menjebak elite
politik, selain masuk dalam wilayah sentimen publik, juga nyaris kehilangan
kepercayaan kepada negara.
Tidak mengherankan kalau terjadi
kerancuan RUU Ormas yang mencampuradukkan semua jenis organisasi, baik yang
berbadan hukum, seperti yayasan (badan hukum tanpa anggota) dan perkumpulan (badan
hukum berdasarkan keanggotaan), dengan organisasi yang tidak berbadan hukum
(paguyuban, asosiasi profesi, dan sebagainya) ke dalam pengertian ormas. RUU
Ormas pun mengakibatkan kekacauan kerangka hukum.
Seharusnya, RUU Ormas merupakan
kesempatan yang sangat baik untuk meluruskan keteledoran dan tumpang tindih
pengaturan yang telah berlangsung puluhan tahun. Elemen-elemen negara harus
menggali lebih jauh sejarah agar tidak membangkitkan lagi memori yang
membangkitkan kemarahan publik. Pengaturan RUU Ormas harus memperkukuh posisi
masyarakat warga sebagai kekuatan demokratis yang menjadi penyeimbang dari
kekuatan negara. Alasan untuk menertibkan ormas yang dianggap melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan aturan publik tidak perlu diatur secara khusus dalam
RUU Ormas. Sejumlah UU telah lebih dari cukup untuk memberikan sanksi kepada
mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar