Rabu, 03 Juli 2013

Munarman, FPI, Islam Ramah

Munarman, FPI, Islam Ramah
M Bambang Pranowo ;  Guru Besar UIN Ciputat/Rektor
Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
KORAN SINDO, 02 Juli 2013



Munarman dalam beberapa hari terakhir menjadi trending topic di Twitter danFacebook. Jutaan orang mengecamnya karena kasus penyiraman air teh ke muka sosiolog UI, Prof Thamrin Amal Thomagola, saat acara Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi di TVOne, Jumat, 28 Juni 2013. 

Kaum netizen pada bertanya: seburuk itukah kelakuan Munarman, jubir Front Pembela Islam (FPI) itu? Ketika Munarman menyatakan bahwa saya tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah (setelah menyiram segelas teh manis ke wajah Prof Thamrin), seorang netizen di Facebook langsung berkomentar: jelas saja Munarman takut kepada Allah karena Allah membencinya. Tapi ada juga yang membela Munarman, yaitu Habib Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI). 

Ia membelanya karena Munarman adalah juru bicara FPI. Kata Habib, apa pun yang terjadi, FPI selalu di belakang Munarman. Itulah tradisi FPI. Ia akan membela kelakuan anggotanya, terlepas benar atau salah. Prinsip pembelaannya mengikuti gaya Machiaveli: right or wrong is my country. Padahal Nabi Muhammad pernah bersabda, “Demi Allah, jika putriku Fatimah terbukti mencuri, ia pun akan saya potong tangannya.” Akhir Juni ini—menjelang bulan Ramadan—ternyata bukan hanya “gaya” Munarman yang menjadi perbincangan ramai di Facebook. 

Al-Chaidar, pengamat terorisme, juga mengunggah rekaman video dari Youtube di akun Facebook-nya yang memperlihatkan seorang pemimpin Pondok Pesantren Al-Ashriyah Nurul Iman, di Desa Parung, Bogor yang marah dan menampar salah seorang guru di depan murid-muridnya ketika sedang apel. Tak hanya itu. Sang pimpinan pondok pesantren yang habib ini juga mengeluarkan kata-kata kotor seperti anjing dan pelacur ketika memarahi anak buahnya itu. 

Rasul yang Lembut 

Dua peristiwa di atas mempertunjukkan kepada netizen (yang bisa berkomunikasi dan tukar informasi tanpa batas wilayah), sebuah “fragmen” kehidupan orang-orang yang mengaku pembela Islam dan mengaku masih menjadi keturunan biologis Rasul. Bila perlakuan Munarman kepada Thamrin mendapat dukungan Habib Rizieq–lalu, apa latar belakang dukungannya itu? Masihkan dukungannya bersifat Machiavelian atau dukungan terhadap kebenaran dan akhlak Rasul? 

Lalu, sebesar apakah kesalahan seorang guru sehingga ditampar “sang habib” di depan santri-santrinya itu? Orang luar (non-Islam) yang melihat Youtube, baik kasus Munarman maupun kasus Ponpes Al-Ashriyah mungkin berkomentar: itulah watak keras Islam. Demi mempertahankan “Islam” para pembela agama Allah sepertinya harus bersikap keras kepada orang-orang yang tak sepaham dengannya. Salahkah jika “orang luar” mempunyai anggapan seperti itu? 

Nabi Muhammad, teladan umat Islam, dikenal sebagai orang yang amat pemaaf. Ketika beliau berdakwah di Thaif, misalnya, Nabi Muhammad dilempar batu dan kotoran unta oleh penduduk setempat. Apa yang dilakukan Rasul bukanlah menghardik, memarahi, atau menyumpahi penduduk Thaif tersebut. Nabi Muhammad malahan berdoa kepada Allah agar mereka yang menyakiti dan menghinanya mendapat ampunan. 

Mereka melakukan semua itu Ya Allah, ungkap Rasul, karena ketidaktahuan mereka. Peristiwa yang sama terjadi ketika rasul dicaci-maki seorang Yahudi buta, padahal beliau selalu memberinya makanan. Nabi Muhammad tetap memberinya makanan, meski perlakukan orang Yahudi tersebut, mungkin bagi kita, sangat menyakitkan. Hasil dari kedua peristiwa di atas: penduduk Thaif akhirnya masuk Islam dan menjadi pendukung dakwah Rasul. Begitu juga orang Yahudi buta tadi, akhirnya masuk Islam dan menjadi pembelanya di hadapan orangorang Yahudi yang benci Rasul. 

Selalu saja, bila kejahatan dibalas dengan kebaikan, hasilnya berupa limpahan kebaikan yang tiada tara. Itulah hukum Tuhan, hukum yang diajarkan semua utusan Allah. Bukanlah kebaikan jika orang membalas kebaikan dengan kebaikan. Kebaikan adalah jika orang membalas kejahatan dengan kebaikan. Dalam hal berdakwah dan berdiskusi, Islam telah mengatur etikanya. 

Dalam surah An- Nahl ayat 125 Allah berfirman, “Ajaklah kepada Jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari Jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk-Nya. Dalam berdakwah atau berdebat Alquran menyuruh pendekatan persuasif, bukan pendekatan anarkistis. Metodologi dakwah dan diskusi dengan pendekatan yang lembut atau persuasif, menurut Ibn Katsir dan Al- Maraghi, tercermin pada perintah Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika menghadapi Firaun yang kejam. 

Melalui firman-Nya, Surat Thaha 44, Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk bersopan santun kepada Firaun yang akan ditemuinya. ”Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” Bila kepada Firaun saja dua orang nabi diminta berbicara yang lembut, apalagi seorang manusia biasa berbicara kepada manusia biasa lainnya. Lebihlebih manusia biasa tadi bukan seorang penguasa lalim dan mengaku Tuhan seperti Firaun. 

Prof Thamrin adalah seorang pendidik dan muslim, sedangkan Munarman adalah seorang muslim yang usianya jauh lebih muda. Setidaknya, ada etika universal, bahwa orang muda harus menghormati orang tua. Jika pernyataan Thamrin menyakiti Munarman, misalnya, Alquran mengajarkan, Munarman tetap harus bersikap santun dan berdiskusi dengan cara yang baik. 

Nabi Muhammad dalam kehidupannya telah mengajarkan bagaimana sikap beliau menghadapi cacian dan kejahatan orang lain seperti kisah Thaif dan orang Yahudi buta di atas. Kasus Munarman, juga kasus pimpinan Ponpes Al- Ashriyah jelas telah mencoreng wajah Islam. Di hari-hari menjelang Ramadan, seharusnya Islam menampilkan wajah yang ramah, wajah yang memahami “penderitaan” orang-orang yang lapar dan mengharap keridaan-Nya. 

Bukan wajah yang sangar yang tidak takut kepada manusia seperti dikatakan Munarman. Sayidina Ali, keponakan Rasul, pernah berbicara: kemarahan Allah tercermin dari kemarahan manusia. Kasih Allah juga tercermin dari kasih manusia. Bila hampir semua netizen marah atas tindakan Munarman terhadap Prof Thamrin, bisa diduga bagaimana sikap Allah. Logis, komentar seorang netter tadi, bahwa Munarman memang takut kepada Allah karena Allah membencinya. 

Mudah-mudahan komentar netter itu hanya guyonan belaka, bukan kejadian sebenarnya. Sebab, sikap Munarman kepada Prof Thamrin adalah sebuah petunjuk bahwa Munarman memang harus dikasihani! Bukan dicaci. Ia jubir FPI dan masih lapar sabda Ilahi. Latar belakang inilah yang tampaknya menyebabkan Prof Thamrin tidak melaporkan tindakan Munarman ke ranah hukum, tapi memaafkannya demi memperbaiki citra Islam. Yaitu Islam yang bukan pemarah, tapi Islam yang ramah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar