|
KOMPAS,
02 Juli 2013
Terungkapnya dugaan korupsi di
Korlantas Polri yang dilakukan jenderal polisi dan dugaan korupsi di Polres
Sorong, Papua, yang dilakukan bintara polisi menguatkan premis yang mengatakan
bahwa korupsi mengikuti watak kekuasaan. Makin berwatak tersentral kekuasaan,
makin hebat korupsinya.
Ulah korupsi polisi di negeri ini
telah lama ditengarai. Korupsi oleh polisi itu terjadi karena dalam menjalankan
tugas, polisi menerima pemberian dengan cara tercela atau melawan hukum berupa
uang, barang, jasa, dan koneksi tertentu. Karena itu, benar kata Tubagus Ronny
Nitibaskara (2001), korupsi oleh polisi itu mudah dirasakan dan dilihat, tetapi
sulit dipegang.
Temuan rekening tak wajar polisi
oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ditetapkannya Irjen DS
dan Brigjen (Pol) DP sebagai tersangka simulator SIM, terungkapnya dugaan
korupsi seorang bintara polisi hingga mencapai miliaran rupiah, juga korupsi
yang dilakukan pejabat polisi sebelumnya menunjukkan, perilaku korupsi di
lingkungan Polri perlu mendapat perhatian serius pemimpin Polri dan pemimpin
negara.
Jangan lupa, polisi pada dasarnya
merupakan garda terdepan dalam membangun disiplin warga negara. Penyakit
korupsi konon sudah cukup lama berjangkit di organisasi kepolisian. Korupsi
menjadi parah karena tidak saja terjadi di lingkungan internal Polri, tetapi
mungkin juga terkait dengan instansi di luar kepolisian dalam konteks
fungsional ataupun struktural dan dalam hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme.
Korupsi yang terjadi di lingkungan
Korps Lalu Lintas sesungguhnya juga tidak lepas dari pelaksanaan samsat dalam
konteks jabatan. Terjadi pertukaran antara kekuasaan yang diberikan dan peluang
mendapatkan penghasilan tambahan baik dari luar maupun dari dalam.
Maurice Punch (1985) dalam
bukunya, Police Organization,
menjelaskan, korupsi bisa terjadi karena polisi menerima atau dijanjikan keuntungan
yang signifikan untuk melakukan sesuatu yang ada dalam kewenangannya, melakukan
sesuatu di luar kewenangannya, melakukan diskresi dengan alasan tak patut, dan
menggunakan cara di luar hukum untuk mencapai tujuan. Keuntungan tersebut untuk
kepentingan pribadi polisi dan bisa juga dengan alasan untuk kepentingan
operasional. Dalam hal ini, Punch mengingatkan, korupsi selalu mengiringi
perjalanan kekuasaan dan sebaliknya: kekuasaan merupakan pintu masuk bagi
tindak korupsi.
Korupsi
di lingkungan Polri
Pada tahun 2004, ketika Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dipimpin Irjen Farouk Muhammad, ia mendorong
mahasiswa PTIK Angkatan 39-A melakukan penelitian tentang gejala korupsi di
lingkungan Polri. Hasilnya menunjukkan, ada korelasi antara korupsi dan
kekuasaan dalam suatu jabatan.
Korupsi oleh polisi telah merambah
baik di bidang operasional maupun pembinaan. Ada korupsi internal, ada pula
korupsi eksternal. Korupsi internal dilakukan petugas tanpa melibatkan
masyarakat. Korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku di lingkup kedinasan,
tidak menyentuh langsung kepentingan publik. Contohnya: korupsi jual beli
jabatan, korupsi dalam penerimaan anggota polisi, seleksi masuk pendidikan,
serta korupsi dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan.
Korupsi eksternal merupakan korupsi
yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Masyarakat yang
dimaksud adalah mereka yang terlibat atau berurusan dengan polisi baik sebagai
korban kejahatan, tersangka, saksi, maupun masyarakat yang butuh pelayanan.
Korupsi itu terjadi dalam lingkup
tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pelayanan masyarakat.
Termasuk dalam hal ini adalah setiap bentuk penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat polisi yang melibatkan warga negara yang bukan anggota polisi.
Korupsi ini dapat menyangkut
kepentingan warga negara secara langsung ataupun menyangkut kepentingan polisi
dalam konteks kedinasan. Contohnya, korupsi dalam mendamaikan kasus perdata
yang dianggap pidana, korupsi dalam hal tidak melakukan penyidikan secara
tuntas dengan merekayasa keterangan tersangka dan saksi, serta korupsi dalam
merekayasa barang bukti.
Contoh lain adalah korupsi dalam
hal permohonan pinjam pakai barang bukti oleh pemilik atau korban kejahatan,
korupsi berupa pungutan pada penerbitan berbagai bentuk surat, seperti SIM,
SCTK, STNK, BPKB, surat laporan kehilangan barang, pungutan liar di jalanan
terhadap pelanggar lalu lintas, pungutan liar terhadap truk muatan yang akan
masuk jalur lalu lintas tertentu, serta menerima suap dari kasus perjudian
ataupun tempat hiburan yang diduga tersua usaha ilegal.
Ditemukan pula dua pola perilaku
korup di lingkungan kepolisian. Pertama, pada strata pemimpin. Perilaku korup
cenderung dalam bentuk kejahatan kerah putih, sedangkan pada strata bawahan
cenderung dalam bentuk kejahatan kerah biru. Keduanya merupakan proses pembelajaran
yang berlangsung lama dan dalam hubungan yang komplementer.
Lahirnya perilaku korup dalam
hubungan komplementer antara pemimpin dan anggota dimungkinkan karena kedua belah
pihak tidak berada dalam kehidupan organisasi yang menjamin adanya relasi
personal yang bersifat kritis atas tanggung jawab dan kewajiban yang diemban.
Kebiasaan ”siap-ndan” dalam menerima setiap perintah atau arahan cenderung
mematikan daya korektif.
Reformasi Polri yang telah berjalan
sekitar 12 tahun ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar
pengabdian polisi sesuai dengan Tri Brata. Sesungguhnya, dugaan perilaku korup
di lingkungan Polri sudah cukup lama. Antara lain, penjualan aset perumahan dan
perkantoran dan pembelian alat-alat operasional. Namun, semua itu tidak
terungkap secara tuntas.
Kondisi itu dimungkinkan karena
kontrol di dalam organisasi lemah, penindakan tak tegas, dan sanksi lemah. Di
sisi lain, dalam hal kepemimpinan cenderung belum tampak mengagungagungkan
sifat mulia, seperti kejujuran, kesederhaan, keteladanan, dan ketegasan dalam
hidup sehari-hari. Yang berkembang justru gaya hidup pemuja harta.
Pekerjaan polisi adalah pekerjaan
mulia. Di sisi lain, pekerjaan itu juga paling rentan terhadap godaan. Menurut
Adrianus Meliala (2005), penyebab utama mudahnya pekerjaan polisi diselewengkan
adalah pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, sangat otonom, dan
sewaktu-waktu dapat bertindak atas pertimbangan pribadi (diskresi fungsional).
Dalam hal ini, unsur subyektivitas dan luasnya kekuasaan polisi dalam
menjalankan fungsi sebagai penegak hukum dapat mengondisikan terjadinya
penyimpangan yang dilakukan polisi.
Meski dalam organisasi Polri ada
unsur pengawasan, mekanisme kontrol lewat Irwasum dan Propam menghadapi situasi
dan kondisi dilematis karena pengaruh rasa corps, hubungan senioritas, dan
rasa setia kawan yang berlebihan sehingga lemah dalam pelaksanaannya. Karena
itu, mustahil mengharapkan fungsi kontrol internal di kepolisian dapat berjalan
optimal.
Demikian juga Kompolnas, yang
seharusnya dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dibentuk sebagai
pengawas eksternal, ternyata hanya dirumuskan sebagai ”penasihat” presiden di
bidang kepolisian dan penerima keluhan masyarakat, yang dicederai anggota
Polri.
Mengatasi
korupsi polisi
Kecenderungan perilaku korup di
lingkungan kepolisian tak hanya di Indonesia. Di negara lain, seperti Kanada,
juga terjadi. Pemerintah Kanada sampai dua kali membentuk komisi untuk memeriksa
Royal Canadian Mounted Police:
pertama pada tahun 1997 melalui Komisi Mac
Donald, dan kedua pada tahun 1981 melalui Komisi Keable.
Pemerintah AS pada tahun 1970
pernah membentuk Komisi Knapp untuk
memeriksa kepolisian di Negara Bagian New York karena masalah korupsi. Inggris,
pada tahun 1990, juga pernah mengatasi masalah korupsi di lingkungan
kepolisian.
Di antara negara yang pernah
memeriksa maraknya korupsi di lembaga kepolisian, upaya Kepolisian Inggris
dapat dikatakan cukup menarik. Melalui Scotland Yard’s, mereka membentuk tim
investigasi sebagai unit rahasia dengan nama Bent Coppers untuk mengungkap korupsi di London Metropolitan Police yang meresahkan masyarakat.
Unit rahasia itu diawaki anggota
polisi yang disusupkan ke bagian organisasi kepolisian yang banyak melakukan
korupsi. Anggota unit itu bekerja secara ”ultrarahasia”. Mereka dikenal dengan
nama Ghost Squad dan bertugas
menangkap korupsi yang didalangi polisi, serta punya akses ke petinggi polisi
yang mendapat jatah dari anak buahnya. Ghost
Squad bekerja kooperatif dengan pejabat polisi korup untuk mendapatkan
bukti bahwa mereka benar-benar korupsi.
Di pihak lain, para anggota Ghost Squad harus mampu menahan diri
dari godaan polisi korup untuk korupsi. Selama itu, polisi korup memiliki
kepercayaan tinggi bahwa mereka tidak mungkin tersentuh. Mereka korupsi uang
tunai dan barang, serta menetralisasi barang bukti sehingga tak berlaku di
pengadilan, dan menjual informasi untuk menggagalkan kasus di pengadilan.
Menghadapi hal itu, operasi Ghost Squad
membuat perangkap untuk menangkap basah polisi korup. Dalam operasinya, Ghost Squad berhasil menangkap polisi
korup dan membuat mereka mendekam di penjara. Dengan operasi Ghost Squad itu, korupsi polisi di London Metropolitan Police berkurang dan
model itu terus dilembagakan.
Korupsi polisi di lingkungan Polri
merupakan salah satu bentuk korupsi sistemik sebagaimana hasil penelitian yang
pernah dilakukan di PTIK. Upaya pemberantasan perlu dilakukan secara
konsepsional. Model Ghost Squad dapat
dijadikan acuan dalam pemberantasan korupsi di lingkungan Polri sekaligus untuk
menjawab semboyannya, ”Polisi Anti-KKN”.
Di sini perlu komitmen seluruh
pemimpin kesatuan Polri dari tingkat Mabes Polri hingga kesatuan polsek. Tak
dapat pula dikesampingkan kemauan politik pemimpin negara karena kelembagaan
Polri di bawah presiden. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar