Kamis, 04 Juli 2013

Awal dari Kesulitan yang Lebih Besar (3)

Awal dari Kesulitan yang Lebih Besar (3)
Rhenald Kasali ;   Ketua Program MM UI
KORAN SINDO, 04 Juli 2013



Dari jendela kamar saya di lantai 11, pukul 7 pagi yang masih gelap di Takapuna, saya melihat rombongan orang kulit putih sudah sibuk bekerja memperbaiki sebuah rumah. 

Semuanya datang dengan mobil kerja, truk sedan station wagon yang di belakangnya mengangkut segala jenis barang dan peralatan. Mereka mengenakan seragam tukang, berwarna oranye terang dan segera menutup kaki lima dengan sign yang ditata rapi. Keadaan itu berbeda benar dengan nasib rata-rata tukang atau buruh bangunan di negeri kita. Jangankan rumah atau mobil, seragam kerja saja tidak ada. Makan siangnya dilakukan di celah-celah balok kayu dan besi, dengan waktu istirahat yang terbatas. 

Tak banyak majikan yang memberikan jaminan keselamatan kerja dan kalau mengalami kecelakaan atau tewas, mereka hanya diberi biaya pemakaman ala kadarnya. Saya tak merasa heran kalau semakin hari semakin sulit kita mendapatkan tenaga mereka. Setelah kita kesulitan mendapatkan tenaga pembantu rumah tangga, Indonesia akan kesulitan mendapatkan buruh bangunan, tenaga pembatik, petani, dan seterusnya. 

Jadi sudah tak banyak lagi orang kampung yang mau menjadi tukang bangunan. Padahal, sektor konstruksi, bangunan, dan perumahan tak bisa bergerak bila tanpa dukungan mereka. PT Wijaya Karya saja beberapa tahun belakangan ini mendapatkan kontrak kerja di banyak negara diTimur Tengah. Kelak kalau buruh saja sulit didapat, semua ini hanya tinggal kenangan belaka. Menjadi pertanyaan, mengapa semua ini bisa terjadi dan apa hubungannya dengan dua masalah besar yang saya ulas minggu lalu? 

Masalah Pendidikan 

Sebaliknya, di negara-negara industri banyak remaja sekolah yang bercita-cita menjadi tukang seperti itu. Selain terdidik dan memiliki keterampilan menggunakan teknologi modern, upah dan kesejahteraan mereka pun relatif tinggi dijaga oleh negara. Produktivitas mereka tinggi, mampu menghasilkan jasa yang nilainya lebih besar dalam waktu yang relatif pendek. Sebagian besar anak-anak Selandia Baru memilih tidak melanjutkan ke universitas. 

Hal serupa juga saya temui di Amerika Serikat, Jerman, China, negara-negara Skandinavia. Universitas semakin hari semakin dipenuhi anak-anak Asia dan Afrika belaka. Orang-orang Asia perantauan ini umumnya sangat terdorong untuk menjadi ilmuwan, tetapi sebagian besar justru menetap di Barat. Waktu saya tanya remaja-remaja setempat, mereka umumnya menjawab jujur sambil tertawa: “Lebih baik mati daripada berpikir yang sulit-sulit.

”Mereka merasa sudah cukup menjadi tukang, sementara tenaga ahli dibuka dari berbagai bangsa. Mereka benar, kuliah di perguruan tinggi itu sesungguhnya bukan hal mudah. Tugasnya banyak, berpikirnya berat, harus fokus. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan di sini. Hampir semua anak SMK atau STM Indonesia sangat bergairah melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, seakan-akan menjadi sarjana mudah. 

Tapi (kenyataan sesungguhnya itu) baru terungkap dalam diskusi informal. Rata-rata calon sarjana Indonesia mengungkapkan, “Sekolah saya mandek saat menulis skripsi.” Dan meskipun sarjana, mereka tetap sulit bekerja. Orang tua mereka punya pikiran lain. Para petani di sekitar Klaten dan Lembang menjual rumah dan sawahnya agar anak-anak bisa dikuliahkan dan tak menjadi petani lagi. 

Sewaktu saya tanya, mereka semua mengatakan: “Jadi petani itu semakin hari semakin sulit, tak cukup untuk hidup layak.” Hal serupa juga dijawab para pembatik. Itu sebabnya tak ada lagi pasokan segar tenaga terampil pembatik meski kita sudah berjanji kepada UNESCO untuk melestarikan seni membuat batik di sini. Mengapa anak-anak yang tak terpanggil berpikir berat memaksakan diri menjadi sarjana? Mengapa banyak sarjana menganggur, sementara Indonesia mulai kekurangan pekerja-pekerja terampil? 

Jawabannya adalah karena sekolah untuk buruh-buruh terampil itu tidak ada sehingga mereka merasa cukup SD saja dan setelah itu upahnya pun terperangkap di bawah UMR. Sekalipun bersekolah di SMK, banyak dari mereka tak diajari keterampilan yang memadai untuk menjadi tukang yang andal dalam menggunakan teknologi, tak diajari berpikir kritis, membangun etos kerja, bahkan kedisiplinan dan kreativitas. Karena itulah upah mereka pun sulit ditarik ke atas.

Angka Partisipasi Sekolah 

Akhirnya, perangkap ini bisa dianalisis dari data statistik. Tengoklah angka partisipasi sekolah (APS) yang tertinggi ada pada usia SD, lalu makin menurun ke tingkat di atasnya. APS tahun 2011, untuk usia 7–12 tahun (SD) telah mencapai 97,5%, untuk usia 13–15 tahun (SMP) 87,6%, lalu usia 16–18 tahun tinggal 57,6%. Jadi separuh dari anak-anak Indonesia yang tamat SD tidak dapat melanjutkan ke jenjang SLTA. 

Kalaupun menjadi tukang bangunan, rata-rata tidak tamat SD. Adapun yang kualitas dan etos kerjanya lebih baik memilih untuk menjadi buruh migran di luar negeri. Di mana letak masalahnya? Data APS menunjukkan hanya 24,42% dari seluruh anak usia 3–5 tahun yang disekolahkan di TK, PAUD ataupun taman bermain sejenis. Pengamatan di lapangan menunjukkan hampir semua anak di daerah perkampungan (termasuk di sekitar Ibu Kota) dikirim orang tua ke sekolah dasar tanpa melalui pendidikan prasekolah. 

Harap dicatat, rata-rata biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk mengikuti pendidikan prasekolah dewasa ini adalah antara Rp500.000 hingga Rp2 juta per bulan, yang berarti merupakan barang mewah yang hanya sanggup dibeli kalangan kelas menengah. Pengamatan dan wawancara di lapangan juga menemukan, hampir semua buruh kasar dan buruh bangunan, pekerja dan pelaku usaha di sektor informal, umumnya memasuki sekolah dasar tanpa melalui taman kanak-kanak dan sebaliknya semua mahasiswa perguruan tinggi sempat mengecap indahnya taman kanak-kanak. 

Apa Artinya Semua Fakta Itu? 

Pertama, usia prasekolah merupakan golden age, fondasi bagi pembentukan kemampuan nalar, kreativitas, dan kecerdasan di masa depan. Ibarat bangunan pencakar langit, tak akan bisa menjulang tinggi tanpa fondasi yang kuat. Keterlibatan pemerintah dalam pendidikan prasekolah harus terus ditingkatkan dan diperbarui. Kedua, tidak adanya ruang bagi pengembangan keterampilan pekerja kerah biru telah mengakibatkan terjadinya labor shortage pada sektor-sektor yang justru sangat dibutuhkan. 

Pilihannya, hanya berhenti di tingkat SD atau terus ke universitas. Ketiga, jaminan upah yang tak memadai bagi pekerjapekerja kasar telah mengakibatkan mereka beralih ke sektor informal. Keempat, meningkatnya minat lulusan SLTA ke universitas didasarkan pada gambaran yang keliru bahwa menjadi sarjana memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik. Jadi, pilihannya serbasalah: keatassalah, kebawahjuga bermasalah. Artinya, perencanaan pendidikan tenaga kerja yang terintegrasi belum menjadi prioritas pembangunan. 

Jangan sampai Indonesia mengalami sindrom Gunnar Myrdal yang pada 1950 meramalkan bahwa dua negara Asia ini (Burma dan Filipina) akan menjadi macan Asia. Nyatanya, keduanya justru menjadi macan paling ompong di antara tetangga-tetangganya. Indonesia saat ini juga diramalkan banyak lembaga dunia akan menjadi kekuatan 6 besar pada tahun 2030. 

Akankah ini menjadi kenyataan? Akankah pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan menjadikan hidup kita lebih mudah atau malah sebaliknya? Semua akan berbalik bila perencanaan pendidikan dan tenaga kerja tidak sejalan sehingga pekerjaan-pekerjaan produktif gagal ditangani bangsa sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar