Kamis, 04 Juli 2013

Situasi Bangsa di Tahun Politik

Situasi Bangsa di Tahun Politik
Sudjito ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan 
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, 04 Juli 2013



Saya memang bukan politikus dan juga bukan ahli politik. Jadi, pada tataran praksis maupun teoretis, ilmu maupun pengalaman perpolitikan tergolong minim. Barangkali lebih tepat kalau saya menempatkan diri sebagai ”orang pinggiran”. 

Dalam posisi demikian, saya yakin banyak orang atau teman mengalami atau setidaknya merasakan kepedihan yang sama, ketika melihat begitu liar dan vulgarnya perilaku aktor-aktor politik di negeri ini. Situasi kehidupan berbangsa terasa semakin rumit, sulit dan mencemaskan. Adakah situasi ini tanda-tanda akhir sejarah kehidupan bangsa? Benarkah the end of history yang dikemukakan Francis Fukuyama terjadi pada bangsa kita? Entahlah. 

Satu hal yang pasti bahwa wawasan kebangsaan telah luntur. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan lembaga pendidikan, tidak membuat komponen bangsa semakin cinta Tanah Air, tetapi justru saling bersaing untuk memperebutkan jabatan, harta dan popularitas, tanpa peduli nasib bangsa secara utuh dan menyeluruh. Persaingan antar sesama komponen bangsa berlangsung sengit, keras dan keji, melalui gaya preman. 

Setiaphari korban-korban kekerasan akibat persaingan hidup ditayangkan media cetak dan elektronik, seolah santapan jiwa yang mesti dihidangkan kepada publik. Bagi awam yang polos, lugu, dan innocent, situasi kehidupan yang kompleks dan rumit sering ditanggapi dengan sikap pasrah. Di tengah kecemasannya, terlintas harapan ada keajaiban datang tak terduga karena pertolongan ”tangan Tuhan”. 

Walau secara rasional harapan seperti itu seolah menunggu godot, harapan itu sendiri merupakan bagian dari kebahagiaan. Masih mending punya harapan daripada putus asa, kemudian nelangsa, dan akhirnya bunuh diri. Barangkali itulah perbandingannya. Kita hormati apa pun pilihan sikap dan perilaku awam. 

Bukankah keajaiban yang paling ajaib dapat hadir pada manusia yang memiliki hati bersih, pasrah, dan tawakal, setelah ikhtiar sekuat tenaga dilakukan? Tak banyak pilihan bagi awam, karena otoritas dan kekuatannya tidak sebanding rekayasa dan tipu daya para politikus ambisius. Pascareformasi, perencanaan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang utuh dan terpadu sulit diwujudkan. 

Reformasi merupakan inkubator bagi rezim politik liberal untuk mempromosikan hakhak universal dan ekual. Atas dasar kebebasan itu, para politikus menemukan energi gerak untuk mendapatkan hak-hak politiknya sampai pada titik kulminasi. Ironisnya, demokrasi dijalankan secara reduktif. Rakyat disanjung, disubyo-subyo, diuwongke, hanya ketika energi suaranya diperlukan untuk pemenangan pemilu atau pilkada. Ketika kemenangan dan jabatan telah diraih, segala kendali kekuasaan dipegang erat oleh para politikus. 

Mereka sibuk melakukan konsolidasi agar ”kembali modal” dan sibuk saling berbagi jatah kekayaan antar lembaga atau partai dengan dalih check and balance. Rakyat secara langsung ataupun melalui aparat penegak hukum, tidak mampu menghentikan praktik-praktik politik busuk itu, kecuali hanya mengumpat, mencaci, dan memaki. Apa pun kritik dan keberatan rakyat, jarang didengar, apalagi mampu mengubah kebijakan politik dan ekonomi yang pro kapitalis. 

Melalui permainan politik rasional dan teknologis, rakyat dicekoki data-data kuantitatif sebagai dasar pembenar (justifikasi) atas kebijakan politiknya. Konvergensi partai politik melalui koalisi yang dilandasi tekad memenuhi janji-janji kampanye, awalnya dapat diharapkan mampu mengarahkan penggunaan energi partai untuk kemaslahatan bangsa. Nyatanya koalisi itu sendiri rapuh dan mendekati konfrontasi terbuka. 

Pada situasi demikian, harapan dan tantangan awam semakin tak menentu. Secara personal, bisa saja dengan kearifannya masing-masing—utamanya yang cerdas dan ulet—menjadi semakin kaya dan makmur. Akan tetapi pada awam, kebanyakan cenderung terseret pada arus deras rekayasa politik ambisius. Pada situasi demikian, sebagai bangsa, kita tidak memiliki harapan-harapan realistik yang mampu diraih melalui program-program pemerintah. 

Ambil contoh, sehebat Jokowi dalam memimpin Provinsi DKI, hambatan birokrasi, administrasi, dan tradisi politik masih selalu dijumpai ketika tokoh itu mempromosikan Kartu Jakarta Sehat. Beberapa rumah sakit, lantang dan blak-blakan menolak kebijakan gubernur itu. Lembaga pelayan kesehatan itu minta agar gubernur melakukan hitung-hitungan ekonomis dan menjamin keuntungan finansial yang stabil bagi rumah sakit dan kesejahteraan yang meningkat bagi para tenaga kesehatan. 

Untung, Jokowi cerdas dan tegar dengan moralitas politik humanis, sehingga politik kapitalis takluk. Hemat saya, kepiawaian Jokowi itu lebih unggul dibandingkan kepemimpinan Presiden Clinton ketika mempromosikan reformasi pemeliharaan kesehatan bagi rakyat Amerika tahun 1994. Saat itu, rakyat sangat skeptis dan sulit dibangkitkan kepercayaannya atas kinerja pemerintah untuk urusan-urusan penting berskala nasional. Tahun politik 2013-2014 merupakan momentum bagus untuk melepaskan diri dari situasi buruk karena rekayasa politikus ambisius. 

Kita mesti sadar, bahwa vitalitas partai-partai politik sangat tergantung dari sikap dan keberanian publik untuk mendiktekan apa yang terbaik bagi bangsa. Publik, sebagai masyarakat sipil yang terbentuk dari kebinekaan etnis, suku, budaya, agama, adat-istiadat, perlu bangkit dan bersatu padu, sepadan dengan semangat ”Soempah Pemoeda 1928”, hanya memilih calon legislator dan Presiden yang jujur, cakap, dan merakyat. Mungkinkah? Kenapa tidak! Wallahu’alam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar