Sabtu, 01 Desember 2012

Menjadi Orang Media


Menjadi Orang Media
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 30 November 2012


LEBIH dari seperempat abad yang lalu, budayawan dan wartawan senior Goenawan Mohammad menyatakan pertimbangan bisnis bisa membuat orang lupa diri. “Maklum, di mana-mana kita melihat mentalitas bayaran; orang-orang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu dan wartawan. Apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya rasa tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak, tapi tak punya kesempatan mempersoalkan benar atau tidaknya mentalitas bayaran itu....“
Setelah berlalu sekian lama, ternyata konsep Goenawan itu masih berlaku sampai sekarang; terbukti dengan ramainya wacana tentang pelanggaran etika profesi dan kewenangan yang menyangkut dana.
Baru-baru ini, menjelang ulang tahun Metro TV, ada ungkapan yang menggetirkan perasaan wartawan, yakni tentang kemungkinan bahwa pikiran orang media pun bisa digiring untuk menyampaikan sesuatu kepada publik sesuai keinginan pihak yang menggiringnya. Tidak disebutkan soal mentalitas bayaran, tetapi tersirat dalam ungkapan itu bahwa pikiran wartawan bisa goyah sesuai situasi dan kondisi. Itu berarti, wartawan umumnya, termasuk yang berkarya di televisi, bisa dipuji karena kemurnian pikiran mereka, tetapi sebaliknya bisa juga tercela karena kinerja mereka dicurigai atau dianggap menyalahi kepekaan nurani maupun nilai-nilai moral dan kesopanan sehingga mengganggu rasa percaya publik terhadap karya-karya mereka.
Retrospeksi Wartawan
Sejauh apa wartawan bisa larut menjadi anak zaman? Sejauh apa pertimbangan bisnis membuatnya lupa diri? Sebaiknya dipertimbangkan juga, orang media tidak homogen. Konsep kami bisa saja berbeda mengenai apa peran orang media, sekalipun pada dasarnya kami sadar akan tugas utama kami: menyampaikan gambaran tentang keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang ada. Namun, karena kami masing-masing memperoleh pendidikan, pembelajaran, dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, wajar bila ada beda-sekalipun hanya nuansanya-dalam telaah atau penilaian kami mengenai banyak hal.
Namun, sesuai pengakuan banyak orang media, tugas kewartawanan menggairahkan. Mencatat sejarah pada saat kejadian sungguh memesona.
Bukan tidak mungkin secara tidak sadar dan tidak langsung wartawan pun berpartisipasi dalam pembentukan sejarah. Mungkin saja ini hanya angan-angan besar. Namun, justru karena angan-angan itu, orang media merasa dituntut berpengetahuan luas, dituntut objektif, dan dituntut cepat menyusun hasil penilaian dan pemikiran. Kami sadar pula, apa yang kami tulis atau beritakan bisa berdampak pada kehidupan ribuan atau bahkan jutaan manusia. Bukankah itu berarti ikut berpartisipasi dalam menentukan sejarah kehidupan masyarakat? Kedengarannya mahabesar. Karena itu, kami merasa tidak saja dituntut berpendidikan dan memiliki keterampilan, tetapi harus pula mampu membawa diri dengan penuh rasa tanggung jawab dan etika. Dalam menjalankan profesi kami, kami pun wajib menjadi pelindung asas demokrasi. Dalam hal kita, demokrasi Pancasila.
Juga menjadi tanggung jawab orang media untuk memberitakan bila masyarakat dihadang bahaya, apakah karena perkembangan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Di luar itu ada tanggung jawab atas dasar harapan masyarakat: wartawan dianggap serbatahu dan bisa dipercaya. Karena itu, dia diharapkan mampu menjadi penyaring dan pengolah informasi yang mumpuni.
Ujian Dalam Mencerdaskan Bangsa
Pada satu setengah windu ulang tahunnya, Metro TV menegaskan lagi misi mencerdaskan dan mencerahkan bangsa. Ini dilakukan dengan kesadaran bahwa masyarakat menafsirkan informasi sesuai keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya, dan bahwa informasi tidak gampang menyentuh perhatian mereka yang berpengetahuan terbatas, apalagi dalam bentuk berita.

Menurut ahli social marketing, Dr Philip Kotler, masyarakat cenderung menyambut baik informasi yang menyenangkan dan sesuai kebutuhan pikiran dan perasaannya. Wajar bahwa mayoritas penonton Indonesia menyukai siaran-siaran hiburan ringan.
Sebelum Metro TV mengudara 12 tahun yang lalu, seorang ahli pertelevisian Indonesia sempat mempertanyakan, apakah televisi berita memiliki daya tarik di Indonesia? Sulit bagi dia membayangkannya. Namun, terbukti Metro TV mampu menjalankan misinya selama 12 tahun ini. Kami mensyukuri. Untuk masyarakat yang sedang bergerak maju dengan spirit membangun, televisi menjadi sarana penting untuk kemajuan karena pada dasarnya manusia ada lah makhluk sosial yang tidak mampu berdiri sendiri. No man is an island. Semakin maju pendidikan orang, semakin besar kebutuhannya akan sarana komunikasi yang memadai bagi pengembangan perasaan dan pikirannya. Mengingat peningkatan pendidikan masyarakat pada umumnya, dapat dipastikan dibutuhkan siaran-siaran berita untuk mengetahui dan mengenali kemajuan zaman.
Bagaimana hakikat peran orang media? Seperti yang lazim kita ketahui, orang media sudah biasa menjadi sasaran kecurigaan, buron kecaman, dan dikambinghitamkan. Kecuali di negara komunis, yang medianya menjadi seruling yang berkuasa, kami harus siap menerima itu semua. David Broder, wartawan Washington Post lulusan Universitas Chicago dan pemenang Hadiah Pulitzer, mengatakan dalam buku Berita di Balik Berita (SH, 1992): `kebanyakan orang yang berakal sehat tidak akan memilih kewartawanan sebagai karier.... Kami harus bisa tetap berdisiplin dan tetap tegar tanpa perasaan, padahal naluri kemanusiaan mendesak kami untuk menyerah kepada kegembiraan atau kepedihan'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar