Ahok dan
Videonya
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi, Dosen di Universitas
Paramadina, Salah seorang Ketua BPP Perhumas
|
INILAH.COM,
29 November 2012
Fenomena Jokowi dan Ahok memang
menarik. Belum 100 hari menjabat, Pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI,
itu sudah menunjukkan banyak gebrakan. Keduanya aktif turun ke
lapangan; hal yang jarang dilakukan pemimpin kita. Jokowi masuk keluar
perkampungan dan berdialog dengan penduduk di daerah rawan banjir dan lokasi
kumuh. Ahok mengadakan rapat-rapat dengan berbagai kepala dinas dan kecamatan
di ibukota yang pengap.
Uniknya, banyak video rapat
Ahok diunggah Humas Pemerintah Provinsi DKI ke Youtube. Salah satu video yang
menarik adalah saat sang wakil gubernur itu sedang ‘mengajar’ karyawan Dinas
Pekerjaan Umum (PU) DKI di Ruang Rapat Bappeda DKI.
Dalam video berdurasi 46 menit
yang diunggah pada 8 November lalu itu Ahok minta agar anggaran Dinas PU
(untuk belanja 2013) yang terlalu tinggi dipotong 25%.
Maka ia pun menawarkan dua cara
seperti yang ditandaskannya kepada Dinas Perhubungan DKI. “Anda potong anggarannya. Atau cara kedua,
saya hapus proyek itu. Tidak ada jembatan itu, (dan kemudian) saya bangun
pakai uang operasional saya untuk membangun jembatan itu,” kata Ahok.
Di bagian lain, ia bahkan
menyebut-nyebut ‘kalau tidak suka
dengan cara yang ditawarkannya, maka ia akan mengganti pejabat Dinas PU
sampai eselon tiga’.
Berkat penampilan Ahok yang
lugas dan langsung ‘menohok’ di video itu, orang jadi terhibur. Bak penonton
pertunjukan dangdut ketika Rhoma Irama masih ngetop dulu, sejak diunggah pada
8 November hingga Selasa 13 November saja video itu sudah dilihat 148.744
kali.
Tapi itu belum seberapa.
Rupanya, segera setelah diunggah, orang makin ramai memperbincangkan video
itu di Facebook dan Twitter. Berkat riuhnya pembicaraan di kedua media sosial
itu, makin hari makin banyak yang melihatnya, sehingga pada Kamis 29 November
pagi, jumlah viewers-nya melejit
hingga 1,3 juta orang. Inilah barangkali video paling laris di antara 153
video yang diunggah Pemprov DKI di Youtube.
Ahok, yang lengkapnya bernama
Basuki Tjahaja Purnama, rupanya sadar akan makin pentingnya media sosial
seperti blog (ahok.org),Youtube dan Twitter. Akun Twitternya lumayan aktif,
mengingat kesibukan pejabat seperti dirinya.
Meski tidak selalu menjawab
tegur sapa warga di Twittersphere, lelaki kelahiran 29 Juni 1966 itu mengakui
bahwa ia memperhatikan suara kicauan mereka.
“Selamat malam, semua saran dan kritik akan ditampung disini
walaupun tdk dibalas tp tetap dibaca. Terima kasih,” tulis Ahok di Twitter-nya 10 Oktober lalu.
Meski follower Ahok (80.669) jauh di bawah
Jokowi yang punya 324.112 pengikut, tapi Ahok tergolong rajin mempromosikan
banyak hal, termasuk kartu Jakarta sehat, menanggapi soal penggusuran di
Muara Angke, dan mengumumkan tersedianya peta Rencana Detil Tata Ruang
Jakarta secara online (yang sayangnya masih belum
digarap secara maksimal).
Semuanya menunjukkan bahwa Ahok
paham fungsi media baru itu, yang mau tidak mau, memaksa siapa pun untuk
berlaku transparan. Lewat jejaring sosial, dan demokratisasi content,
media sosial tidak saja memberi peluang bagi ‘brand’ seperti Ahok untuk memanfaatkan saran warga (audience)-nya, karena siapa pun sekarang
ini bisa bersuara secara merdeka tanpa ‘penjaga gawang’ yang menghalangi.
Melainkan lebih dari itu, brand Ahok sebenarnya bisa lebih
memanfaatkan media itu untuk menjadi megafon guna menyebarluaskan
pesan-pesannya. Tetapi ia harus terus berdialog secara dua-arah, sebagaimana
pernah disarankan pakar branding Amalia Maulana.
Ingat saat mencuatnya kasus KPK
versus Polri Oktober lalu, ketika para pengguna Facebook dan Twitter di
Indonesia saling mendukung gerakan anti pelemahan KPK? Lewat tanda pagar
#SaveKPK dan sebagainya, ratusan ribu pengguna Twitter saling berkicau dan
bersahutan sehingga muncul berbagai demo di Jakarta dan aksi lain, yang
akhirnya membuat Presiden SBY turun tangan. Menurut data, hashtag #SaveKPK
saja pada Oktober lalu berhasil di-tweet atau retweet sembilan
jutaan pengguna Internet.
Penguatan Publik
Itu karena media sosial memberi
kekuatan kepada warganya. Sebuah kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya,
sehingga bahkan para diplomat di dunia pun sekarang ini memanfaatkannya.
Para diplomat kini menggunakan
Twitter, Facebook, Youtube dan media sosial lokal seperti situs mikroblogging
Sina Weibo di China. Bila dulu
pemerintah berbagai negara mengarahkan para diplomat bicara secara sangat
hati-hati dan di balik pintu, kini sudah tiba saatnya mereka masuk ke dunia e-diplomacy.
Kebanyakan aktivitas online ini memang berfungsi sebagai
‘diplomasi publik’, ketika pemerintah saling berkomunikasi dengan warga
negara lain. Tetapi, e-diplomacy merupakan alat yang mudah dan
murah untuk berbagai tujuan lain seperti, menanggapi bencana alam,
mengumpulkan informasi dan mengelola hubungan baik.
Sebagian diplomat juga
memanfaatkan Twitter untuk berkomunikasi dengan rekan sesama diplomat.
Bisa diduga Amerika Serikat
memimpin dalam urusan seperti ini. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS di
bawah Hillary Clinton, misalnya, sudah sejak tiga tahun silam menelurkan 194
akun Twitter dan 200 Facebook page yang diikuti jutaan pelanggan.
Meminjam istilah Fergus Hanson
dari Brookings Institution (sebuah think-tank di Washington, DC) yang
dikutip majalah The Economist 22 September lalu, sesungguhnya
Kemlu AS itu tengah mengoperasikan “empirium media dunia”.
Di antara tokoh dunia lain yang
memanfaatkan jejaring sosial adalah Perdana Menteri Inggris David Cameron
beserta Menteri Luar Negerinya, William Hague, Presiden Brazil Dilma
Rousseff, pemimpin Venezuela Hugo Chavez (dengan 3,7 juta follower),
dan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev (1,5 juta follower).
Kemlu Rusia juga aktif di media
baru itu, sementara China -- meski menyensor media sosial di dalam negeri –
juga tertarik untuk menggunakannya sebagai alat di luar negeri.
Di Amerika, e-diplomat paling penting adalah President
Barack Obama. Meski jarang nge-tweet sendiri – yang
‘ditandatangani’-nya dengan inisial ‘bo’ -- akun Twitter Obama hampir meraih
24 juta follower.
Kenyataan menunjukkan bila
pemerintah tidak berpartisipasi dalam Media Sosial, hal itu bisa membawa
kerugian bagi negaranya. Pada 2010, setelah munculnya kecurigaan bahwa
tindakan kriminal terhadap mahasiswa India di Melbourne dipicu motif rasial,
jumlah pendaftaran mahasiswa dari India melorot, sehingga mengurangi
pendapatan Australia secara signifikan, karena India merupakan warga asing
terbanyak kedua yang bersekolah di Australia.
Mungkin belajar dari pengalaman
itu, bulan April lalu, ketika dua mahasiswa China dipukuli di Australia,
mantan PM Australia Kevin Rudd segera masuk ke jaringan sosial China, Sina
Weibo, dan menjanjikan untuk menyelidiki kasus kekerasan tersebut. Sejak itu,
situasi pun menjadi reda.
Di samping kritik yang ada,
banyak yang berpendapat bahwa Media Sosial berjasa membenahi aktivitas
diplomasi. Kemlu AS, misalnya, memonitor media sosial dunia dalam lima bahasa
dan menandai hal-hal yang penting lewat ‘flags’, misalnya yang datang dari
tokoh-tokoh berpengaruh di negara di mana perwakilannya perlu dijadikan
teman.
Lewat sejumlah informasi
sejenis itu, para diplomat jadi lebih mudah memprediksi berbagai kejadian
penting dan berreaksi terhadapnya. “Barangkali saja kita lebih siap terhadap
munculnya Arab Spring, kalau saja kita menengarai semua tanda-pagar #tahrir
lebih awal,” kata Duta Besar Inggris di Lebanon (dan seorang ‘twiplomat’) Tom
Fletcher.
Akhirnya, selamat datang di
media baru yang ‘membebaskan’. Setiap orang, termasuk pejabat seperti Ahok
dan Jokowi, tidak saja perlu mem-broadcast pesan-pesan melalui
semua kanal dan jejaring, atau memonitor pembicaraan orang di berbagai
komunitas online, tetapi harus selalu mendengarkan dan berpartisipasi. Sebab,
kini zamannya demokratisasi media dan publik.
Tokoh seperti Ahok mesti terus
terlibat, menyelesaikan problem dan menjawab pertanyaan. Di jaman penguatan
publik ini, Anda juga harus mendengar, melakukan prioritas-prioritas dan
tumbuh dalam berbagai komunitas yang berpengaruh pada pengembangan, reputasi
dan hubungan baik Anda sebagai seorang pribadi dan seorang profesional.
Lebih-lebih bila Anda pejabat publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar