Sabtu, 01 Desember 2012

Ahok dan Videonya


Ahok dan Videonya
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi, Dosen di Universitas Paramadina, Salah seorang Ketua BPP Perhumas
INILAH.COM, 29 November 2012


Fenomena Jokowi dan Ahok memang menarik. Belum 100 hari menjabat, Pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI, itu sudah menunjukkan banyak gebrakan. Keduanya aktif turun ke lapangan; hal yang jarang dilakukan pemimpin kita. Jokowi masuk keluar perkampungan dan berdialog dengan penduduk di daerah rawan banjir dan lokasi kumuh. Ahok mengadakan rapat-rapat dengan berbagai kepala dinas dan kecamatan di ibukota yang pengap.

Uniknya, banyak video rapat Ahok diunggah Humas Pemerintah Provinsi DKI ke Youtube. Salah satu video yang menarik adalah saat sang wakil gubernur itu sedang ‘mengajar’ karyawan Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI di Ruang Rapat Bappeda DKI.

Dalam video berdurasi 46 menit yang diunggah pada 8 November lalu itu Ahok minta agar anggaran Dinas PU (untuk belanja 2013) yang terlalu tinggi dipotong 25%.

Maka ia pun menawarkan dua cara seperti yang ditandaskannya kepada Dinas Perhubungan DKI. “Anda potong anggarannya. Atau cara kedua, saya hapus proyek itu. Tidak ada jembatan itu, (dan kemudian) saya bangun pakai uang operasional saya untuk membangun jembatan itu,” kata Ahok.

Di bagian lain, ia bahkan menyebut-nyebut ‘kalau tidak suka dengan cara yang ditawarkannya, maka ia akan mengganti pejabat Dinas PU sampai eselon tiga’.
Berkat penampilan Ahok yang lugas dan langsung ‘menohok’ di video itu, orang jadi terhibur. Bak penonton pertunjukan dangdut ketika Rhoma Irama masih ngetop dulu, sejak diunggah pada 8 November hingga Selasa 13 November saja video itu sudah dilihat 148.744 kali.

Tapi itu belum seberapa. Rupanya, segera setelah diunggah, orang makin ramai memperbincangkan video itu di Facebook dan Twitter. Berkat riuhnya pembicaraan di kedua media sosial itu, makin hari makin banyak yang melihatnya, sehingga pada Kamis 29 November pagi, jumlah viewers-nya melejit hingga 1,3 juta orang. Inilah barangkali video paling laris di antara 153 video yang diunggah Pemprov DKI di Youtube.

Ahok, yang lengkapnya bernama Basuki Tjahaja Purnama, rupanya sadar akan makin pentingnya media sosial seperti blog (ahok.org),Youtube dan Twitter. Akun Twitternya lumayan aktif, mengingat kesibukan pejabat seperti dirinya.

Meski tidak selalu menjawab tegur sapa warga di Twittersphere, lelaki kelahiran 29 Juni 1966 itu mengakui bahwa ia memperhatikan suara kicauan mereka.
“Selamat malam, semua saran dan kritik akan ditampung disini walaupun tdk dibalas tp tetap dibaca. Terima kasih,” tulis Ahok di Twitter-nya 10 Oktober lalu.
Meski follower Ahok (80.669) jauh di bawah Jokowi yang punya 324.112 pengikut, tapi Ahok tergolong rajin mempromosikan banyak hal, termasuk kartu Jakarta sehat, menanggapi soal penggusuran di Muara Angke, dan mengumumkan tersedianya peta Rencana Detil Tata Ruang Jakarta secara online (yang sayangnya masih belum digarap secara maksimal).

Semuanya menunjukkan bahwa Ahok paham fungsi media baru itu, yang mau tidak mau, memaksa siapa pun untuk berlaku transparan. Lewat jejaring sosial, dan demokratisasi content, media sosial tidak saja memberi peluang bagi ‘brand’ seperti Ahok untuk memanfaatkan saran warga (audience)-nya, karena siapa pun sekarang ini bisa bersuara secara merdeka tanpa ‘penjaga gawang’ yang menghalangi. Melainkan lebih dari itu, brand Ahok sebenarnya bisa lebih memanfaatkan media itu untuk menjadi megafon guna menyebarluaskan pesan-pesannya. Tetapi ia harus terus berdialog secara dua-arah, sebagaimana pernah disarankan pakar branding Amalia Maulana.

Ingat saat mencuatnya kasus KPK versus Polri Oktober lalu, ketika para pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia saling mendukung gerakan anti pelemahan KPK? Lewat tanda pagar #SaveKPK dan sebagainya, ratusan ribu pengguna Twitter saling berkicau dan bersahutan sehingga muncul berbagai demo di Jakarta dan aksi lain, yang akhirnya membuat Presiden SBY turun tangan. Menurut data, hashtag #SaveKPK saja pada Oktober lalu berhasil di-tweet atau retweet sembilan jutaan pengguna Internet.

Penguatan Publik

Itu karena media sosial memberi kekuatan kepada warganya. Sebuah kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya, sehingga bahkan para diplomat di dunia pun sekarang ini memanfaatkannya.

Para diplomat kini menggunakan Twitter, Facebook, Youtube dan media sosial lokal seperti situs mikroblogging Sina Weibo di China. Bila dulu pemerintah berbagai negara mengarahkan para diplomat bicara secara sangat hati-hati dan di balik pintu, kini sudah tiba saatnya mereka masuk ke dunia e-diplomacy.

Kebanyakan aktivitas online ini memang berfungsi sebagai ‘diplomasi publik’, ketika pemerintah saling berkomunikasi dengan warga negara lain. Tetapi, e-diplomacy merupakan alat yang mudah dan murah untuk berbagai tujuan lain seperti, menanggapi bencana alam, mengumpulkan informasi dan mengelola hubungan baik.

Sebagian diplomat juga memanfaatkan Twitter untuk berkomunikasi dengan rekan sesama diplomat.

Bisa diduga Amerika Serikat memimpin dalam urusan seperti ini. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS di bawah Hillary Clinton, misalnya, sudah sejak tiga tahun silam menelurkan 194 akun Twitter dan 200 Facebook page yang diikuti jutaan pelanggan.

Meminjam istilah Fergus Hanson dari Brookings Institution (sebuah think-tank di Washington, DC) yang dikutip majalah The Economist 22 September lalu, sesungguhnya Kemlu AS itu tengah mengoperasikan “empirium media dunia”.

Di antara tokoh dunia lain yang memanfaatkan jejaring sosial adalah Perdana Menteri Inggris David Cameron beserta Menteri Luar Negerinya, William Hague, Presiden Brazil Dilma Rousseff, pemimpin Venezuela Hugo Chavez (dengan 3,7 juta follower), dan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev (1,5 juta follower).
Kemlu Rusia juga aktif di media baru itu, sementara China -- meski menyensor media sosial di dalam negeri – juga tertarik untuk menggunakannya sebagai alat di luar negeri.

Di Amerika, e-diplomat paling penting adalah President Barack Obama. Meski jarang nge-tweet sendiri – yang ‘ditandatangani’-nya dengan inisial ‘bo’ -- akun Twitter Obama hampir meraih 24 juta follower.

Kenyataan menunjukkan bila pemerintah tidak berpartisipasi dalam Media Sosial, hal itu bisa membawa kerugian bagi negaranya. Pada 2010, setelah munculnya kecurigaan bahwa tindakan kriminal terhadap mahasiswa India di Melbourne dipicu motif rasial, jumlah pendaftaran mahasiswa dari India melorot, sehingga mengurangi pendapatan Australia secara signifikan, karena India merupakan warga asing terbanyak kedua yang bersekolah di Australia.

Mungkin belajar dari pengalaman itu, bulan April lalu, ketika dua mahasiswa China dipukuli di Australia, mantan PM Australia Kevin Rudd segera masuk ke jaringan sosial China, Sina Weibo, dan menjanjikan untuk menyelidiki kasus kekerasan tersebut. Sejak itu, situasi pun menjadi reda.

Di samping kritik yang ada, banyak yang berpendapat bahwa Media Sosial berjasa membenahi aktivitas diplomasi. Kemlu AS, misalnya, memonitor media sosial dunia dalam lima bahasa dan menandai hal-hal yang penting lewat ‘flags’, misalnya yang datang dari tokoh-tokoh berpengaruh di negara di mana perwakilannya perlu dijadikan teman.

Lewat sejumlah informasi sejenis itu, para diplomat jadi lebih mudah memprediksi berbagai kejadian penting dan berreaksi terhadapnya. “Barangkali saja kita lebih siap terhadap munculnya Arab Spring, kalau saja kita menengarai semua tanda-pagar #tahrir lebih awal,” kata Duta Besar Inggris di Lebanon (dan seorang ‘twiplomat’) Tom Fletcher.

Akhirnya, selamat datang di media baru yang ‘membebaskan’. Setiap orang, termasuk pejabat seperti Ahok dan Jokowi, tidak saja perlu mem-broadcast                        pesan-pesan melalui semua kanal dan jejaring, atau memonitor pembicaraan orang di berbagai komunitas online, tetapi harus selalu mendengarkan dan berpartisipasi. Sebab, kini zamannya demokratisasi media dan publik.

Tokoh seperti Ahok mesti terus terlibat, menyelesaikan problem dan menjawab pertanyaan. Di jaman penguatan publik ini, Anda juga harus mendengar, melakukan prioritas-prioritas dan tumbuh dalam berbagai komunitas yang berpengaruh pada pengembangan, reputasi dan hubungan baik Anda sebagai seorang pribadi dan seorang profesional. Lebih-lebih bila Anda pejabat publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar