Sabtu, 01 Desember 2012

Impeachment dan Khitah Demokrasi


Impeachment dan Khitah Demokrasi
Abdul Wahid ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya
MEDIA INDONESIA, 30 November 2012


PUBLIK terus menuntut supaya Boediono (sekarang wakil presiden) dimintai pertanggungjawaban atas kasus Century. Kasus itu berangkat dari otoritas yang dimiliki Boediono ketika ia menjabat Gubernur Bank Indonesia. Tidak akan sampai terjadi pengucuran dana besar-besaran pada suatu bank yang hanya beromzet Rp1 miliar kalau tidak karena adanya `kebijakan khusus'. Kebijakan istimewa itu berelasi dengan kewenangan Boediono.
Pertanggungjawaban yang diminta publik antara lain bermodel impeachment. `Pengadilan politik' itu diajukan sebagai opsi oleh masyarakat guna membuktikan bahwa Indonesia memang benar-benar negara hukum (rechstaat) atau negara yang berpijak pada prinsip supremasi konstitusi. Impeachment dijadikan konstitusi sebagai opsi mempertanggungjawabkan segala perbuatan presiden atau wakil presiden yang layak digolongkan sebagai modus perbuatan inkonstitusional.
Mohammad Ali Syafaat (2011) memandang adanya ketentuan tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya seperti diregulasi dalam UUD 1945 pascaperubahan memunculkan istilah baru dalam bidang hukum tata negara, yaitu impeachment dan pemakzulan.
Pemakzulan merupakan proses pemberhentian seorang pejabat publik dalam masa jabatannya, atau sebelum masa jabatan tersebut berakhir, atau disebut dengan istilah removal from office. Dalam proses pemakzulan tersebut terdapat mekanisme impeachment, yakni pendakwaan atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan pemberhentian.
Dalam ranah konstitusi, jelas impeachment barulah sebagai tahap (makna) pendakwaan atau permintaan pertanggungjawaban terhadap pejabat publik yang dinilai melakukan pelanggaran norma (tatanan). Kriteria pelanggaran itu sudah diatur dalam konstitusi. Masalahnya kemudian, apakah peluang yang diberikan konstitusi itu bisa diimplementasikan? Atau, mampukah konstitusi Indonesia itu menjadi payung cukup kuat terhadap para pencari keadilan yang mendambakan terlaksananya pertanggungjawaban kepala atau wakil kepala negara?
Bunyi Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 (sebelum diamendemen) menyatakan, `Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat', yang kemudian ketika itu, garis konstitusi tersebut menyimpulkan yang punya hak lisensi konstitusional untuk memulai impeachment hingga memakzulkan (menjatuhkan) presiden dan/atau wakil presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Kekuatan Politik
Sebelum amendemen UUD 1945, sebagian sejarawan menyebut MPR telah memakzulkan dua presiden RI, yakni Ir Soekarno berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/ MPRS/1967 dan KH Abdurrahman Wahid berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Keduanya bisa di-impeachment dan dimakzulkan MPR karena posisi mereka secara politik lemah.
Hasibuan Umar (2009), misalnya, menyebut jatuhnya Soekarno dan Gus Dur di tangan `pengadilan politik' bukan disebabkan kesalahan atau pelanggaran hukum yang bersifat fundamental yang bisa dibuktikan melalui proses peradilan yang benar. Mereka terjungkal akibat arus besar kekuatan politik yang tidak menginginkan keduanya bertahan menjadi presiden.
Lain halnya sekarang, setelah amendemen konstitusi, alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945).
Meskipun alasannya limitatif, proses mempertanggungjawabkan perbuatan presiden atau wakil presiden tidaklah segampang membalik telapak tangan. Arus besar atau kecil dari kekuatan politik di Indonesia sangat menentukan, apakah presiden atau wakil presiden bisa dibawa ke dalam aras impeachment hingga ke pemakzulan.
Boediono pun demikian. Keterkaitannya dengan kasus Century tidak serta-merta dapat membuatnya diimpeachment. Beberapa alasan yang terumus dalam konstitusi memang sudah jelas, yakni pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, dan perbuatan tercela. Namun, mekanisme impeachment-nya membuat Boediono tetap sulit tersentuh sehingga hasrat publik untuk melihat perhelatan politik impeachment hanyalah harapan kosong.
Kerumitan birokrasi Istilah `warga negara istimewa' yang digunakan Ketua KPK Abraham Samad saat menyebut posisi Boediono sebenarnya bukanlah hal berlebihan ketika dikaitkan dengan mekanisme impeachment yang rumit atau tampilan birokrasi politik yang menganakemaskan atau tak mudahnya kekuatan aparat penegak hukum reguler mampu menyentuhnya.
Rumitnya birokrasi impeachment itu tak lepas dari sistem politik dan ketatanegaraan di negara ini. Harjono (hakim Mahkamah Konstitusi) menyebut realitas demokrasi dan sistem ketatanegaraan memberikan peranan yang sangat penting kepada partai politik (parpol). Sebuah negara yang menjamin kehidupan parpol mempunyai derajat tinggi dalam praktik berdemokrasi.
`Derajat tinggi' yang disampaikan Harjono itu setidaknya dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil presiden seperti yang ditempati Boediono sekarang ini merupakan posisi yang tidak gampang diusik. Ia mendapatkan perlindungan istimewa yang tidak didapatkan setiap warga negara. Ia tidak mudah didekati meski terindikasi melakukan pelanggaran hukum.
Itu artinya parpol dan sistem ketatanegaraan di negeri ini secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi proses impeachment. Impeachment memang bisa dijalankan, bukan mutlak tertutup. Namun untuk membuatnya berjalan, ada sistem politik yang menjadikannya nyaris mustahil terwujud.
Mesin utama proses impeachment itu terletak di tangan dewan (DPR). Padahal, keberadaan DPR di ranah kekuasaan mereka merupakan kepanjangan tangan parpol. Meski berkali-kali mencuat kritik keras bahwa ketika seseorang sudah jadi menteri, wakil presiden, hingga presiden, ia harus melepaskan diri dari `rezim parpolnya'. Namun faktanya, kritik tersebut hanya angin lalu. Mereka yang jadi eksekutif tetap saja menduduki jabatan strategis di parpol.
Ketika mesin kekuatan politik di Senayan (DPR) itu membangun kolaborasi, keputusan pun akhirnya menjadi produk kompromi. Kelompok yang berseberangan, yang jumlahnya tidak memenuhi kuota, hanya tinggal gigit jari. Mereka bisa saja mempunyai bukti memadai seperti rekaman rapat Boediono dengan Sri Mulyani dan pihak-pihak lain, tetapi kuota kekuatan politik merupakan hukum tertinggi yang menentukan perlu-tidaknya penegakan peradilan politik yang berisi `pendakwaan' Boediono.
Kekuatan politik Partai Demokrat di DPR saja, misalnya, sudah berjumlah 138 orang. Kekuatan itu menjadi semakin besar jika ditambah dengan anggota koalisi mereka seperti PKB dan PPP. Dengan persyaratan impeachment harus didukung 2/3 anggota DPR (373 anggota), mustahil impeachment pada Boediono akan bisa dimenangi kekuatan pengusul, kecuali anggota DPR Partai Demokrat mendapat restu dari SBY untuk ramai-ramai mengadili Boediono.
Yang bisa dilakukan sekarang ini tentu saja selain mengharapkan perlunya dilakukan amendemen konstitusi secara berkelanjutan yang bersubstansi pematangan impeachment, juga mengingatkan setiap anggota DPR supaya menegakkan khitah demokrasi atau vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Suara rakyat sudah dipercayakan kepadanya untuk ditegakkan dengan segala risiko, bukan dengan segala keuntungan yang bisa diperoleh.
Kesejatian pejuang demokrasi bukan ditentukan kemampuan memikirkan `induk semangnya' (parpol), tetapi lewat kinerjanya dalam memberikan yang terbaik kepada rakyat.
Keberadaannya sekarang dengan segala fasilitas eksklusifnya berasal dari rakyat, bukan dari parpol. Parpol hanya memberi jalan lewat bagi dirinya untuk menjadi dewan, sedangkan yang menentukan secara kuantitatif dirinya bisa menjadi dewan adalah rakyat. Tanpa rakyat, dirinya manusia biasa yang tidak mempunyai apa-apa. Rakyat mengidealisasikan kejujuran, kepastian, dan keadilan yuridis melalui proses peradilan yang tidak mengeliminasi egalitarianisme, di samping untuk membuktikan bahwa di negeri ini tidak ada yang namanya `raja yang salah'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar