Sabtu, 01 Desember 2012

Irman Gusman dan Survei Calon Presiden


Irman Gusman dan Survei Calon Presiden
Asvi Warman Adam ; Peneliti Senior LIPI
KORAN TEMPO, 30 November 2012


Hasil survei di atas menggembirakan, antara lain agar wajah-wajah yang muncul dalam bursa calon presiden bukan "4L" (lu lagi, lu lagi). Pada gilirannya, ini berpotensi meningkatkan kualitas demokrasi.
Koran Tempo 29 November 2012 mengangkat berita utama "Calon Presiden Alternatif Mahfud-Kalla Singkirkan Pilihan Partai". Judul tersebut didasari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi, sebagai figur favorit calon presiden. Mahfud unggul pada empat dari lima indikator penilaian, yaitu bisa dipercaya, tak melakukan korupsi, tak terlibat kriminalitas atau pelanggaran HAM berat, dan berdiri di atas semua golongan. Indikator kelima, kemampuan memimpin negara dan pemerintahan, tentunya direbut tokoh yang berpengalaman sebagai presiden dan wakil presiden, yaitu Megawati dan Jusuf Kalla.
Survei ini dilakukan pada paruh pertama 2012 dan melibatkan 223 orang responden yang terdiri atas akademisi, pemimpin media, pengusaha, dan purnawirawan, seperti Ketua NU Said Agil Siraj, Rektor UIN Komarudin Hidayat, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif, dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno. Urutan berikutnya di bawah Mahfud Md. adalah Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Hidayat Nur Wahid, dan Sri Mulyani. Indikator yang digunakan, selain dari tidak terlibat pelanggaran HAM, adalah tidak memiliki masalah yang muncul di tengah masyarakat. Faktor inilah yang menyebabkan Prabowo Subianto, yang tersangkut kasus penculikan aktivis sebelum tahun 1998; dan Aburizal Bakrie, yang tidak lepas dari kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terhalang masuk lima besar. Survei ini dilakukan sebelum pilkada Gubernur DKI. Bilamana diadakan sesudahnya, mungkin Hidayat Nur Wahid tidak termasuk urutan teratas karena, pada tingkat DKI, ia sudah menjadi pecundang.
Hasil survei di atas menggembirakan, antara lain agar wajah-wajah yang muncul dalam bursa calon presiden bukan "4L" (lu lagi, lu lagi). Pada gilirannya, ini berpotensi meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, di sisi lain, perlu juga dibahas metodologi survei dan pengaturan lembaga ini. Kita mengetahui betapa maraknya pemunculan biro survei politik sejak era reformasi yang disertai peningkatan kepercayaan pengurus partai terhadap hasil survei dalam menentukan calon yang akan diusung dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan, menurut saya, kesuksesan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2004 tidak terlepas dari "dukungan" lembaga survei.
Saya sendiri pada Juli 2012 dihubungi Dr Lutfi Assyaukanie dari LSI untuk mengisi kuesioner calon presiden. "Saya minta waktu Anda cuma 10 menit," ujarnya. Saya memang tidak mengisi kuesioner tersebut karena saya mempertanyakan dari mana mendapat 24 nama tokoh yang disodorkan. Daftar tokoh itu dihidangkan dalam survei LSI seperti tabel 1. Menurut dugaan saya, hasilnya mungkin tidak sama bila daftar nama disajikan seperti dalam tabel 2, misalnya yang sengaja saya buat sebagai pembanding. Asumsinya adalah bila dalam pengisian kuesioner dalam waktu singkat, tata letak/susunan (di dekat nama siapa) itu bisa berpengaruh juga.
Yang menyebabkan saya menolak mengisi kuesioner itu adalah karena tidak ada nama Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dalam daftar tersebut. "Kami sudah melakukan survei kecil sehingga memperoleh 24 nama," ujar Lutfi Assyaukanie. Patut dipertanyakan cara dan prosedur survei "kecil" tersebut, apakah hanya dilakukan secara intern oleh staf lembaga survei atau juga ditanyakan kepada responden di daerah? Apakah Gita Wirjawan lebih populer daripada Ketua DPD Irman Gusman? Chairul Tanjung baru dikenal karena menerbitkan biografi laris "Anak Singkong". Tetapi Irman Gusman lebih populer di daerah, karena ia selalu berkeliling ke seluruh wilayah di Indonesia selama dua periode memimpin sebuah lembaga tinggi negara.
Kriteria yang diajukan lembaga survei menyangkut kapabilitas, integritas, akseptabilitas tokoh yang dijabarkan dalam memiliki wawasan luas, tidak pernah KKN dan tidak melanggar HAM, jujur, tidak mempunyai masalah yang muncul di tengah masyarakat, serta berdiri di atas semua golongan. Saya melihat kriteria ini dipenuhi Irman Gusman, alumnus Fakultas Ekonomi UKI Jakarta, setelah beberapa kali menjadi panelis seminar bersama-sama beliau, antara lain dalam seminar pendidikan nasional di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pengusulan tiga tokoh Muhammadiyah sebagai pahlawan nasional di Jakarta. Saya hanya bisa menduga-duga nama Irman Gusman tidak dimasukkan dalam daftar 24 tokoh ini karena "kelupaan" periset lembaga survei.
Saya bersaksi bahwa faktor kelupaan bisa fatal juga. Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, dalam pelajaran sejarah tidak diajarkan "Timor Timur". Saya tanyakan langsung dalam sebuah diskusi kepada staf kurikulum yang bertanggung jawab atas masalah itu. Ia berterus terang, pada 2005 kami diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, pada pelajaran sejarah, istilah G30S disebut tanpa PKI. Kejaksaan Agung menginterogasi siapa yang menghilangkan kata PKI tersebut. Karena repot dan takut mengenai kasus 1965, "Kami kelupaan memasukkan butir Timor Timur dalam kurikulum sejarah." ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar