Irman Gusman
dan Survei Calon Presiden
Asvi Warman Adam ; Peneliti Senior LIPI
|
KORAN
TEMPO, 30 November 2012
Hasil survei di atas
menggembirakan, antara lain agar wajah-wajah yang muncul dalam bursa calon
presiden bukan "4L" (lu lagi, lu lagi). Pada gilirannya, ini
berpotensi meningkatkan kualitas demokrasi.
Koran Tempo 29 November
2012 mengangkat berita utama "Calon Presiden Alternatif Mahfud-Kalla
Singkirkan Pilihan Partai". Judul tersebut didasari hasil survei Lembaga
Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan Mahfud Md., Ketua Mahkamah
Konstitusi, sebagai figur favorit calon presiden. Mahfud unggul pada empat
dari lima indikator penilaian, yaitu bisa dipercaya, tak melakukan korupsi,
tak terlibat kriminalitas atau pelanggaran HAM berat, dan berdiri di atas
semua golongan. Indikator kelima, kemampuan memimpin negara dan pemerintahan,
tentunya direbut tokoh yang berpengalaman sebagai presiden dan wakil
presiden, yaitu Megawati dan Jusuf Kalla.
Survei ini dilakukan pada
paruh pertama 2012 dan melibatkan 223 orang responden yang terdiri atas
akademisi, pemimpin media, pengusaha, dan purnawirawan, seperti Ketua NU Said
Agil Siraj, Rektor UIN Komarudin Hidayat, mantan Ketua Umum Muhammadiyah
Syafi'i Ma'arif, dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno. Urutan berikutnya di
bawah Mahfud Md. adalah Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Hidayat Nur Wahid, dan Sri
Mulyani. Indikator yang digunakan, selain dari tidak terlibat pelanggaran
HAM, adalah tidak memiliki masalah yang muncul di tengah masyarakat. Faktor
inilah yang menyebabkan Prabowo Subianto, yang tersangkut kasus penculikan
aktivis sebelum tahun 1998; dan Aburizal Bakrie, yang tidak lepas dari kasus
lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terhalang masuk lima besar.
Survei ini dilakukan sebelum pilkada Gubernur DKI. Bilamana diadakan
sesudahnya, mungkin Hidayat Nur Wahid tidak termasuk urutan teratas karena,
pada tingkat DKI, ia sudah menjadi pecundang.
Hasil survei di atas
menggembirakan, antara lain agar wajah-wajah yang muncul dalam bursa calon
presiden bukan "4L" (lu lagi, lu lagi). Pada gilirannya, ini
berpotensi meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, di sisi lain, perlu juga
dibahas metodologi survei dan pengaturan lembaga ini. Kita mengetahui betapa
maraknya pemunculan biro survei politik sejak era reformasi yang disertai
peningkatan kepercayaan pengurus partai terhadap hasil survei dalam
menentukan calon yang akan diusung dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan,
menurut saya, kesuksesan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden
2004 tidak terlepas dari "dukungan" lembaga survei.
Saya sendiri pada Juli 2012 dihubungi Dr
Lutfi Assyaukanie dari LSI untuk mengisi kuesioner calon presiden. "Saya
minta waktu Anda cuma 10 menit," ujarnya. Saya memang tidak mengisi
kuesioner tersebut karena saya mempertanyakan dari mana mendapat 24 nama
tokoh yang disodorkan. Daftar tokoh itu dihidangkan dalam survei LSI seperti
tabel 1. Menurut dugaan saya, hasilnya mungkin tidak sama bila daftar nama
disajikan seperti dalam tabel 2, misalnya yang sengaja saya buat sebagai
pembanding. Asumsinya adalah bila dalam pengisian kuesioner dalam waktu
singkat, tata letak/susunan (di dekat nama siapa) itu bisa berpengaruh juga.
Yang menyebabkan saya
menolak mengisi kuesioner itu adalah karena tidak ada nama Ketua Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dalam daftar tersebut. "Kami sudah
melakukan survei kecil sehingga memperoleh 24 nama," ujar Lutfi
Assyaukanie. Patut dipertanyakan cara dan prosedur survei "kecil"
tersebut, apakah hanya dilakukan secara intern oleh staf lembaga survei atau
juga ditanyakan kepada responden di daerah? Apakah Gita Wirjawan lebih
populer daripada Ketua DPD Irman Gusman? Chairul Tanjung baru dikenal karena
menerbitkan biografi laris "Anak Singkong". Tetapi Irman Gusman
lebih populer di daerah, karena ia selalu berkeliling ke seluruh wilayah di
Indonesia selama dua periode memimpin sebuah lembaga tinggi negara.
Kriteria yang diajukan
lembaga survei menyangkut kapabilitas, integritas, akseptabilitas tokoh yang
dijabarkan dalam memiliki wawasan luas, tidak pernah KKN dan tidak melanggar
HAM, jujur, tidak mempunyai masalah yang muncul di tengah masyarakat, serta
berdiri di atas semua golongan. Saya melihat kriteria ini dipenuhi Irman
Gusman, alumnus Fakultas Ekonomi UKI Jakarta, setelah beberapa kali menjadi
panelis seminar bersama-sama beliau, antara lain dalam seminar pendidikan
nasional di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pengusulan tiga tokoh
Muhammadiyah sebagai pahlawan nasional di Jakarta. Saya hanya bisa
menduga-duga nama Irman Gusman tidak dimasukkan dalam daftar 24 tokoh ini
karena "kelupaan" periset lembaga survei.
Saya bersaksi bahwa faktor kelupaan bisa
fatal juga. Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, dalam pelajaran sejarah
tidak diajarkan "Timor Timur". Saya tanyakan langsung dalam sebuah
diskusi kepada staf kurikulum yang bertanggung jawab atas masalah itu. Ia
berterus terang, pada 2005 kami diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, pada pelajaran sejarah, istilah G30S
disebut tanpa PKI. Kejaksaan Agung menginterogasi siapa yang menghilangkan
kata PKI tersebut. Karena repot dan takut mengenai kasus 1965, "Kami
kelupaan memasukkan butir Timor Timur dalam kurikulum sejarah." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar