Cukup adalah
Cukup
AM Hendropriyono ; Jenderal (Purn);
Mantan
Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas
|
KOMPAS,
06 Desember 2012
Belum lama ini
seorang peneliti mengingatkan para purnawirawan TNI agar tidak terjebak dalam
skenario dinosaurus yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kepunahan nilai
keprajuritannya (Kompas, 22/10/2012).
Peringatan itu
terkait dengan para jenderal purnawirawan tua, yang kini berlomba
memopulerkan diri untuk menjadi presiden RI mulai 2014. Perlombaan yang
disebut rakyat sebagai ”Perang Bintang” itu dilakukan oleh mereka yang
sewaktu muda dulu hafal luar kepala tujuh ayat di dalam Sapta Marga.
Ayat pertama Sapta
Marga berbunyi sebagai berikut: ”Kami warga negara Republik Indonesia, yang
bersendikan Pancasila”. Di samping itu, setiap anggota TNI juga diwajibkan
mengangkat Sumpah Prajurit, yang harus diucapkan setiap upacara bendera
seminggu sekali. Ayat pertama berbunyi: ”Setia kepada pemerintah dan tunduk
kepada undang-undang dan ideologi negara”. Baik Sapta Marga maupun Sumpah
Prajurit merupakan derivasi dari filsafat Pancasila, yang digali dari
kebudayaan bangsa kita sendiri.
Terbalik
Nilai kebudayaan
kita yang luhur di bidang keprajuritan secara praktik dalam sejarah Indonesia
telah diteladani oleh Gadjah Mada tujuh abad lalu. Sampai kini Gadjah Mada
tetap merupakan simbol keprajuritan, yang dibanggakan oleh TNI, bahkan juga
Polri. Sang pemersatu Kerajaan Majapahit itu, walaupun namanya besar karena
jasa-jasanya yang luar biasa bagi negara, tidak ingin menjadi raja.
Sekarang dalam
kebudayaan modern kita dewasa ini, keteladanan Gadjah Mada justru diikuti
secara terbalik. Para purnawirawan tua membesarkan namanya lewat media massa
justru karena ingin jadi presiden RI. Melalui kepiawaian konsultan iklan,
perwira yang sewaktu muda dulu konduitenya buruk sekalipun kini dapat
demikian populer di mata rakyat. Kepopuleran mereka membuat para perwira muda
usia tercengang dan seolah dibuat paham bahwa medan laga untuk menjadi
presiden RI merupakan monopoli para bekas tentara yang sudah tua dan
berpangkat perwira tinggi.
Padahal, sepanjang
sejarah Indonesia yang mereka baca, dinamika kehidupan bangsa kita sejak dulu
penuh diwarnai oleh peran para perwira menengah TNI yang masih muda. Artinya,
jika mereka ingin berkiprah di bidang politik, sebenarnya tidak usah menunggu
kariernya khatam dulu di dunia militer dan harus menunggu tanpa kepastian
sampai berpangkat jenderal. Mereka tidak menyadari seperti juga halnya rakyat
kita pada umumnya bahwa pikiran mereka telah tersesat oleh advertensi palsu.
Rakyat kita
sejatinya pernah memberikan kesempatan kepada para perwira militer kita
generasi awal, yang telah berjasa dan mengukir nama besar di era revolusi
kemerdekaan. Perwira yang mempunyai nama besar itu adalah Soeharto sehingga
dapat berada di depan dalam memimpin bangsa sebagai presiden RI.
Kesempatan dari
rakyat kita juga diberikan lagi kepada generasi militer berikutnya, yaitu
SBY, sehingga berada di depan untuk memimpin rakyat sebagai kepala negara.
Mereka masing-masing memimpin rakyat, sesuai dengan semboyan Ing Ngarsa Sung
Tulada (Di Depan Menjadi Teladan). Dengan teladan kepemimpinan militer yang
diharapkan penuh dengan disiplin, rakyat sebenarnya mendambakan segera tegaknya
disiplin nasional. Rakyat Indonesia juga berharap kepemimpinan yang tegas
agar ide liberal tentang kebebasan tidak terus bergulir ke arah anarkisme.
Rakyat berharap
pula kepemimpinan nasional yang berani agar perkembangan individualisme dalam
lingkungan strategis kita tidak semakin menjurus ke arah konsumerisme
hedonistik. Waktu yang telah diberikan rakyat sudah cukup dan kini saatnya
bagi mereka untuk menilai, apakah harapan-harapan itu dapat terealisasikan
atau tidak. Kesempatan bagi para purnawirawan tua untuk memimpin bangsa kita
dengan berada di depan dirasakan telah cukup.
Giliran
yang Muda
Cukup adalah cukup,
tanpa tawar-menawar lagi. Sekarang The
Old Soldiers sudah harus mendukung kepemimpinan nasional dari belakang,
yang di antara delapan asas kepemimpinan ABRI disebut Tut Wuri Handayani.
Para pemuda dari kalangan sipil
kini juga harus didorong agar berani dan mampu tampil di depan untuk
membangun negara Pancasila dalam bingkai demokrasi yang beretika.
Kaum muda militer
harus menyadari dan membantu agar demokrasi modern segera dapat membawa
Indonesia benar-benar berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri di
bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Fenomena Joko Widodo
dalam memenangi kursi gubernur DKI periode 2012-2017 merupakan pelajaran yang
berharga bagi kita, bahwa Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah
baru yang merakyat dalam belantika pemilihan presiden RI yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar